Kamu tidak harus menjadi orang lain hanya untuk menjadi layak.
Suara nyaring dari benda jatuh yang membentur lantai dikamar papanya, membuat Nadine terkejut. Dia segera meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu bangkit dan bergegas mendatangi sumber suara. Namun, tiba-tiba gadis itu menghentikan langkahnya sebelum memasuki ruangan tersebut.
"Coba kalau anak kita laki-laki, enggak akan serepot ini!" Suara Razan terdengar ketus dari dalam kamarnya.
"Udahlah, Pa. Itu kan, bisa besok lagi. Sekarang, yang penting Papa sehat aja dulu, ya?" Danita menyahut, berusaha menenangkan suaminya."Aku memang butuh anak laki-laki yang kuat dan pemberani, bisa melanjutkan usahaku nantinya. Bukan anak lemah yang hanya butuh belas kasihan orang lain!" Razan malah menanggapi saran istrinya dengan hardikan.
"Pa, udah!" sergah Danita yang khawatir Nadine, anaknya, mendengar percakapan mereka.
"Ada tagihan yang sudah jatuh tempo dan harus segera diambil.” Tampaknya, lelaki berbadan besar itu tidak menghiraukan larangan istrinya.
Sementara di balik pintu kamar Razan yang tidak tertutup rapat, Nadine berdiri terpaku sembari menggigit bibir. Rasa panas menyergap matanya yang memerah dan butiran bening pun hampir jatuh. Gadis bermanik cokelat itu membalikkan badan dan bergegas kembali ke kamarnya.Cahaya matahari pagi menelisik masuk melalui celah jendela yang terbuka. Angin berembus, mengantar aroma mawar dan aster yang menguar bersamaan. Gerimis semalam, tak mampu menjejakkan basah. Meskipun, tanah telah menunggunya untuk mencipta petrichor yang menyambut arunika.
Gadis pemilik alis tebal itu menatap butiran bening yang tertinggal pada pucuk daun berwarna merah kecoklatan. Angin bertiup nakal mengguncang dahan mawar, hingga butiran kecil itu tak bisa mempertahankan diri, lalu jatuh terurai dan tak terlihat lagi. Nadine yang berdiri di depan jendela, menarik napas panjang, kemudian membuangnya pelan. 'Seperti itukah aku di matamu, Pa?' ujarnya dalam hati.
"Apa yang penting bagi kita sebagai perempuan? Menjadi diri kita sendiri dan bersinarlah dengan keunikan kita. Tak penting validasi dari siapa pun, kecuali dari diri kita sendiri. Tak penting membuktikan apa pun pada yang lain, selain diri kita sendiri. Apa pun pencapaiannya, buktikan untuk diri kita sendiri, bukan yang lain." Tiba-tiba, suara Tante Elvina menggema di telinga Nadine, seperti berusaha menghapus pertanyaan yang baru saja melintas dalam benak gadis yang sedang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan yang amat dalam itu.
Suara derit pintu membuyarkan lamunan Nadine. Gadis berambut ikal sebahu bergeming, tetapi aroma rose yang lebih dulu sampai pada indera penciuman, telah memberi tahu dia siapa yang masuk ke kamarnya.
"Nadine," Suara lembut itu yang selalu menjadi penyalur kekuatan untuk Nadine. Si pemilik nama menoleh dengan senyum mengembang yang sedikit dipaksakan.
"Maafkan Papa ya, Nak," pinta Danita dengan tatapan penuh harap. Tangannya mengusap lembut punggung putrinya. Sekali lagi, gadis yang mulai beranjak dewasa itu berusaha menarik kedua sudut bibirnya, lalu memutar tubuh menghadap ke arah perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya dengan penuh perjuangan.
"Mama tenang aja. Aku enggak hanya sekuat kemarin, tapi aku yang sekarang, bahkan udah semakin kuat. Aku, meski enggak mendapat cinta dari Papa, tetapi aku dihujani oleh cinta dari diriku sendiri, Ma." Mata gadis berdarah campuran Jawa dan Palembang itu menatap lekat manik cokelat yang mulai mengembun, di hadapannya.
"Juga dari Mama, Sayang," sahut perempuan yang segera memeluk anak gadisnya dengan erat. Hujan di matanya tak lagi terbendung. Tangan halusnya menyeka pipi saat putri semata wayangnya perlahan berusaha melepaskan pelukannya.
"Ma, aku boleh minta tolong sama Mama?" pinta Nadine.
"Pasti, Nak," jawab Danita mantap.
***
Nadine mendorong beat putih keluar halaman rumahnya. Setelah melewati gerbang besi bercat merah tembaga, dia menaiki motor itu dan menekan tombol starter. Helm standar warna coklat dan sweater abu-abu sudah melekat di kepala dan badannya. Tak lupa, sarung tangan berwarna hitam dan masker juga ikut melengkapi keamanannya berkendara.
Sebelum tangan kirinya melepas tuas rem, gadis berbadan sintal itu menoleh ke arah rumah bercat putih kombinasi abu-abu yang di ambang pintunya tampak perempuan hampir paruh baya berdiri sambil memandang ke arahnya dengan raut wajah khawatir. Nadine melambaikan tangan kanannya kepada wanita itu, lalu melajukan motornya setelah menghela napas dan melafalkan bismillah.
Berbekal nota dan alamat yang didapat dari mamanya, Nadine ingin membuktikan bahwa meskipun dirinya perempuan, tetapi dia memiliki arti dan manfaat dalam keluarganya. Awalnya, Danita bersikeras tidak memberi izin pada putri semata wayangnya, tetapi gadis itu berhasil meyakinkan mamanya bahwa dia pasti bisa melakukannya. Apalagi alamat yang dituju hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah mereka. Nama perumahan yang tidak asing bagi mereka, juga menjadi alasan Danita yang akhirnya mengizinkan Nadine untuk ke sana.
Sekitar tiga puluh menit, Nadine sudah berhasil menemukan alamat tersebut. Tidak terlalu sulit baginya untuk menggantikan tugas papanya karena telah membawa surat kuasa penagihan yang sudah dibubuhi tanda tangan palsu oleh mamanya. Selain memalsukan tanda tangan palsu milik Razan, Nadine juga melampirkan foto kopi KTP Nadine untuk memperkuat. Apalagi, konsumen tersebut ternyata sudah tahu bahwa Nadine adalah putri Razan. Dia masih ingat, pernah melihat Nadine waktu datang ke rumah Razan untuk memesan furniture.
Setelah memberikan kwitansi pelunasan dan mengucapkan banyak terima kasih kepada konsumen papanya, Nadine pamit. Sementara perempuan dan lelaki paruh baya pemilik rumah itu, beberapa kali berpesan kepada Nadine agar hati-hati saat pulang karena membawa uang yang tidak sedikit.
"Uangnya disimpan di dalam jok saja, Nak," saran lelaki berkopiah putih yang dibenarkan oleh istrinya. Nadine pun setuju dengan usul mereka.
Setelah mengucap bismillah, Nadine keluar dari gerbang kayu jati warna coklat tua dan berukir dengan perasaan was-was. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya dia berkendara motor sendiri dengan membawa uang puluhan juta. Jarak yang tadinya tidak terlalu jauh, baginya sekarang seperti terulur beberapa kali lipat.
Baru beberapa meter dia menjalankan motornya, sebuah suara memaksa tangan kirinya mendadak menarik kuat tuas remnya. "Nadine!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NADINE
RomanceNadine adalah salah seorang korban perkosaan pacar. Dia sedang berusaha bangkit dari trauma saat bertemu seseorang yang diharapkan dapat menjadi cinta sejati. Namun, ayahnya berkeras menerima Evans, sang pemerkosa yang juga sadistis. Impian Nadine u...