Datang Lagi

8 0 0
                                    

Nadine tertegun menatap layar ponselnya yang masih menyala. Nomor tanpa nama dan foto profil tak bergambar menyita perhatiannya. Mendadak, jantungnya berdebar. Benda pipih itu ikut bergerak mengikuti tangannya yang gemetar, lalu terjatuh ke sofa.

"Nadine," tegur Danita yang sejak tadi mengawasi tingkah putrinya.

"I- iya, Ma," jawab Nadine gugup.
"Ada apa, Nak?" Danita mengerutkan dahinya.

"Emmm, enggak apa-apa kok, Ma. Kayaknya, ada orang salah kirim." jawab Nadine berusaha bersikap biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa, lalu gadis itu meletakkan ponselnya di meja yang ada di depannya. Danita mengamati gerak-gerik putrinya dengan saksama. Nadine yang duduk di sampingnya, tampak sesekali menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan, seakan-akan sedang berusaha menenangkan diri. 

Ponsel bergambar apple yang tergeletak di meja kaca bergetar lagi. Nadine dan mamanya serentak menoleh ke arah benda itu. Tatapan Danita beralih ke wajah Nadine yang tampak cemas. 

"Boleh mama lihat?" 
Nadine hanya mengangguk. Sementara matanya masih melekat pada si pipih. Danita meraih telepon pintar itu, lalu mengusap layarnya yang masih menyala.

[Nad, hello.] Pesan di aplikasi hijau dari no berujung 99, tanpa nama dan foto profil.

Danita memperlihatkan layar ponsel ke Nadine. Nadine bergeming, menatap layar itu beberapa detik kemudian gadis yang mengenakan piyama warna lilac itu memalingkan wajahnya. 

"Mau diblokir aja?" selidik Danita seakan bisa membaca apa yang dipikirkan oleh putrinya. 

"Iya. Eh, e-dimatikan aja, Ma," pinta Nadine kemudian. 

Danita mengangguk dan segera memenuhi permintaan putri semata wayangnya, lalu meletakkan kembali ponsel buatan negeri Paman Sam itu di meja.

"Sayang, mama bangga sekali sama kamu. Kamu hebat, karena sudah berhasil bangkit, dan sekarang kamu jauh lebih kuat dan berani. Mama, Papa, Tante Elvina, Ustazah Abidah, selalu ada buat kamu, kapanpun dan dimanapun. Kamu sangat berharga buat kami." Danita mengusap lembut punggung gadis cantik yang tengah menatapnya. Gadis itu mengangguk, lalu menarik kedua sudut bibirnya ke samping.

***

Senin, pukul 08.30 di minggu kedua bulan April, gudang yang sekaligus tempat produksi mebel CV Jaya Furniture milik Razan, sudah tampak aktivitas para karyawan dengan tugasnya masing-masing. Meskipun, akhir-akhir ini pesanan tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Mungkin ini dampak dari adanya pandemi yang sedang menyerang banyak negara di dunia. Pengaruh pandemi terhadap ekonomi memang sungguh luar biasa.

"Bos, ada tamu yang ingin ketemu, Bos." Seorang lelaki berbadan tidak terlalu tinggi dan dan mengenakan topi, memasuki ruangan Razan yang ada di sudut kanan depan di dalam gudang. 

"Siapa?" tanya Razan tanpa mengalihkan pandangan dari koran pagi yang sedang dibacanya.

"Eggak tau, Bos. Sepertinya, masih bujangan, ganteng. Katanya mau ketemu sama Bos." Danar, salah satu karyawan yang sudah cukup lama menjadi orang kepercayaan Razan, menunjuk keluar gudang menggunakan jempol kanannya.

"Suruh masuk!" perintah Razan. Danar mengangguk cepat, kemudian bergegas dari ruangan berukuran 3 x 3 meter bercat putih itu.

"Pagi, Om," sapa seorang laki-laki berusia kira-kira 23 tahun, bertubuh kurus dengan tinggi badan sekitar 170 cm. Dia mengenakan sweater warna navy yang dipadu celana chinos krem dan sepatu sneaker abu-abu. Lelaki itu berdiri di depan pintu ruangan Razan.
Razan mengangkat wajah, lalu seketika matanya melebar. Koran yang dipegangnya hampir jatuh. Matanya menatap tajam ke arah sosok yang tidak asing baginya. Lelaki muda itu membungkukan badan sambil tersenyum ke arahnya. 

"Evans? Ngapain, kamu? Berani-beraninya kamu ke sini!" Lelaki bertubuh tinggi besar itu berdiri, lalu membanting lembaran kertas berukuran besar yang dipegangnya ke meja. Sementara napasnya sedikit memburu dengan mata menyipit ke arah pemuda itu.

"Eh, e- sabar, Om. Aku kesini, mau minta maaf, Om. Aku mau bertanggung jawab atas perbuatanku ke Nadine, Om. " Laki-laki berambut lurus itu mengatupkan dua tangan di depan dada, seperti posisi orang menyembah. 

"Maaf, maaf. Enak aja, kamu. Pergi!" usir Razan dengan wajah merah padam. 

"Ta- tapi, Om." Evans bersikeras.

"Tapi apa lagi? Kamu pikir, aku anak kecil yang gampang kau bohongi, ha?" Razan mengangkat dagu, lalu menggebrak meja kayu di depannya kemudian tangannya berkacak di pinggang. Gayanya seperti sedang mengajak seseorang untuk berkelahi.

"E-enggak, Om. Maaf, Om. Ampun, Om," pinta lelaki bernama Evans itu dengan tangan masih menyatu di depan dada, lalu membalikan badan dan bergegas keluar dari gudang. 
Razan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kuat kemudian dia keluar dari ruangannya menuju pintu gudang dan berdiri sambil melihat kesana-kemari, mencari seseorang. Sementara itu, Evans sudah menghilang ke arah jalan. 

"Danar! Danar!" teriak Razan. Namun, yang dipanggil tidak juga datang. Padahal biasanya Danar tidak pernah berada jauh dari ruangan bosnya. 

"Kemana itu anak?" maki lelaki bertubuh tinggi besar itu. dia masih celingukan, tetapi yang dipanggil tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. 

Lelaki berbaju biru itu kembali ke dalam gudang dan menghampiri Rian, salah satu karyawannya yang sedang mengerjakan finishing, untuk menanyakan keberadaan Danar. Akan tetapi, Rian juga tidak tahu dimana laki-laki itu berada. Razan mendecih, kemudian kembali ke ruangannya.

"Bos." Suara yang sangat akrab di telinga Razan, menghentikan langkah lelaki yang baru saja melewati pintu masuk ruangannya itu. Saat menoleh, Danar sudah berdiri di belakangnya. 

"Dari mana saja, kamu?" hardik Razan.

"I- itu, Bos." Danar menunjuk ke arah jalan.

"Itu apa?" Razan mengikuti arah telunjuk Danar, tetapi tidak ada apapun di sana.

"Anu, Bos. Tadi, Mas Evans ngajak saya bicara sebentar." Danar tidak berani membalas tatapan tajam si bos.

"Evans? Mas? Kamu, kenal dia? Tadi, kamu bilang, nggak tahu." Razan menyipitkan matanya.

"Emmm, iya, Bos. Ma-maaf, tadi, saya pangling sama dia. Habisnya, sekarang Mas Evans kurus banget. Kasian, dia." Suara Danar berubah memelas. 

"Kasian? Kenapa mesti kasian sama dia?" Razan menyeringai. Danar hanya menunduk, kemudian, dia menceritakan kepada Razan bahwa selama ini Evans sangat menderita karena dipisahkan dari Nadine. Makanya, tubuhnya jadi kurus seperti sekarang. 

Menurut Evans, selama tiga bulan di penjara, dia sangat menderita. Bahkan, dia pernah mencoba bunuh diri dengan menjerat lehernya menggunakan tali. Kalau saja, waktu itu, Pak Sipir tidak segera menolongnya dan membawa ke rumah sakit, mungkin saja, saat ini dia sudah tinggal nama. Jika hal itu sampai terjadi, pasti orang tua Evans akan gila, karena dia anak satu-satunya yang akan melanjutkan keturunan orang tuanya dan juga kekayaan mereka. Dia anak tunggal seperti Nadine. Kalau sampai Evans meninggal, maka tidak ada yang akan mewarisi usaha orang tuanya. 

Setelah keluar dari penjara, Evans berharap bisa bertanggung jawab dengan cara menikahi Nadine. Namun, dia masih malu untuk datang. Akhirnya, selama dua tahun, dia mengalami depresi. Kuliahnya gagal, masa depannya juga hancur berkeping-keping. 

"Jadi, ternyata, enggak cuma Mba Nadine aja, Bos, yang gagal menjadi sarjana, tetapi Mas Evans juga gagal meraih cita-citanya." Danar menceritakan semua yang dikisahkan Evans kepadanya.

Razan tertegun mendengar cerita Danar. Tiba-tiba, ada perasaan iba terhadap laki-laki yang tadi diusirnya. Selama ini, dia tidak pernah memikirkan nasib Evans. 
'Padahal, bisa saja, perkosaan itu bukan sepenuhnya salah Evans. Bisa jadi, pakaian atau sikap Nadine yang justru mempengaruhi pikiran Evans untuk melakukan perkosaan itu. Dasar, perempuan! Buktinya, Evans juga sangat menderita karena tidak bisa bersama Nadine.' Razan berkata-kata sendiri dalam hatinya.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang