Nay

0 0 0
                                    

Nadine menghambur ke arah Nay, lalu memeluk sahabatnya yang juga sudah berdiri di samping sofa untuk menyambut kedatangannya.

“Alhamdulillah, Nay,” ujar Nadine dengan senyum mengembang.

“Gimana, Nad? Lancarkan, kan?” Nay tampak tidak sabar mendengar kabar dari Nadine. Gadis itu melonjak sambil memegang tangan Nadine yang berdiri di hadapannya.

“Berkat pertolongan kamu, Nay. Makasih, ya.” Mata bulat Nadine berbinar saat menatap Nay yang juga tersenyum lebar karena bahagia.

“Jadi, tinggal nunggu panggilan berikutnya, ya,” ucap Nay penuh harap. Nadine mengangguk untuk mengiyakan pernyataan sahabatnya.

Sesaat setelah merayakan awal keberhasilan Nadine, mereka jalan beriringan meninggalkan lobi hotel. Namun, baru beberapa langkah keduanya berjalan, Nadine dan Nay menghentikan langkahnya karena sebuah suara memanggil. “Nad, tunggu!”

Seorang lelaki bertubuh tinggi mengenakan kaos putih yang
dibalut dengan sweater abu-abu, berjalan dari arah resepsionis
menuju ke tempat mereka berdiri. Keduanya membalikkan badan
ke arah suara.

“Brian?” Nadine mengerutkan dahi saat laki-laki bernama Brian semakin mendekat ke arahnya. Orang yang mendapat pertanyaan darinya tersenyum lebar sembara memandang Nadine dan Nay bergantian.

“Hai.” Dia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Nadine, kemudian berpindah ke Nay. Senyumnya mengembang seiring aroma citrus yang menguar.

“Temenmu?” Mata sipit lelaki bertubuh atletis itu seakan-akan meminta penjelasan kepada Nadine.

“Eh, e-iya. Kenalin, ini Nay, temen aku. Nay, ini Brian.” Nadine tersenyum kaku kepada Nay yang masih tertegun.

“Oh, jadi ini, yang namanya Brian?” ujar Nay sambil mengangguk-angguk. Sementara matanya meyapu habis wajah Brian, bahkan hingga hampir ke seluruh tubuh lelaki yang ada di hadapannya.

“Jadi, kamu, Nay? E-temennya Nadine yang ....” Brian menghentikan ucapannya saat seolah-olah tersadar atas apa yang akan dia katakan.

Nadine mengerutkan dahinya, memandang mereka secara bergantian. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang aneh. Brian menangkap raut wajah Nadine, kemudian berusaha menjelaskan bahwa yang ingin dia katakan tadi adalah, Nay yang waktu itu bersama Nadine di cafe tempat mereka bertemu. Akhirnya, Nadine
bisa mengerti apa yang dimaksudkan oleh Brian.

“O, iya, kamu sendiri, ngapain, di sini? Ngelamar kerja juga?” tanya Nadine ke Brian.

“Oh, aku? E-enggak. Aku, kebetulan, abis bertemu teman yang menginap di sini. Ya, ada teman yang baru datang dari Jakarta dan dia menginap di sini, teman lelaki,” papar Brian lengkap dengan keterangan di kalimat terakhirnya yang membuat Nadine dan Nay saling pandang. Bahkan, suara Brian yang sedikit gugup membuat
Nay mengerutkan keningnya.

“Oh, ya udah, kalo gitu. Kami pulang dulu, ya,” pamit Nadine mengakhiri obrolan mereka.

“Kalian, berdua aja? Kuantar, ya?” Brian menawarkan jasa. “Eh, e-nggak usah. Kami diantar kok, dia ada di luar,” sanggah Nadine, jari telunjuknya mengarah ke pintu utama hotel yang ada di hadapan mereka.

“Oh, gitu? it’s ok.” Air muka Brian tiba-tiba saja berubah.

Nadine dan Nay berjalan keluar menuju area parkir setelah keduanya melambaikan tangan ke Brian yang ternyata juga berjalan ke luar. Langkah laki-laki itu terhenti di depan pintu utama hotel saat mendapati keduanya menuju mobil pajero hitam yang
sudah menunggu tak jauh di halaman depan hotel, sepertinya seseorang yang ada di dalamnya sudah tahu jika penumpang mereka akan segera keluar dari hotel.

Mata Brian menajam saat memindai sosok yang ada di balik kemudi, lalu senyumnya mengembang ketika mobil itu melintas tak jauh di depannya. Dia juga menghela napas lega, setelah
mendapati kaca depan dan belakang mobil terbuka. Tampak Nadine dan Nay melambaikan tangan ke arahnya, dan yang membuatnya tersenyum sambil mengangguk adalah laki-laki yang mengemudi mobil itu. Ternyata, dia sudah lumayan tua. Jadi pikirnya, tidak mungkin jika orang itu adalah pacar Nadine.

“Jadi itu, si Brian yang pernah kamu ceritain ke aku, Nad?” Nay menepuk bahu Nadine yang duduk di sampingnya.

Nadine hanya menoleh ke arah Nay, lalu matanya berpindah ke kaca spion yang ada di depan. Di sana tampak bayangan mata Danar yang bergerak cepat menghindari tatapan Nadine. Lelaki itu berusaha mengembalikan konsentrasinya untuk mengemudi
mobil yang melaju santai membelah ramainya jalan kota.

“Cakep, Nay. Kelihatannya, dia juga terpelajar. Pasti, dia juga mapan secara ekonomi. Kelihatan dari gayanya yang bertanggung jawab.” Nay bergaya seperti orang yang bisa menerawang
kehidupan orang lain meski baru melihatnya kali ini. Dia bahkan
tidak sempat menangkap sikap Nadine yang merasa tidak nyaman untuk membahas soal Brian sekarang.

“Sok tahu kamu, Nay,” bantah Nadine, berharap gadis di sampingnya segera diam dan mengakhiri khotbahnya. Namun, Nay malah terus membicarakan tentang Brian. Bahkan, sahabatnya itu sesekali membandingkan Brian dengan Evans, tanpa peduli pada Nadine yang berusaha menghentikan ucapannya dengan sebuah kode. Hingga akhirnya ....

“Aduh! Nad, apa-apaan sih, kamu. Sakit, tau!” Nay berteriak sambil mengusap bahu kirinya yang baru saja mendapat cubitan kecil dari Nadine.

Nadine hanya mengerjapkan mata saat Nay menatap kesal ke arahnya. Sementara itu, sepasang mata sesekali
menatap tajam ke arah mereka melalui kaca spion yang ada di bagian tengah depan mobil itu.

Nadine dan Nay bergegas turun dari mobil, setelah gadis itu mengucapkan terima kasih kepada Danar yang membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis di bibirnya yang menghitam.

“Nay, kamu ini, apa-apaan, sih?” tegur Nadine saat mereka sudah berada di kamar Nadine. Nay yang sudah menghempaskan tubuhnya di atas kasur dengan posisi tengkurap, segera
membalikkan badannya, lalu duduk di tepinya.

“Nad, kamu ini kenapa, sih? Dari tadi kayak enggak suka, kalau aku ngomongin soal Brian. Oh, aku tau. Kamu takut aku naksir sama Brian, ya?” cecar Nay sambil mengarahkan telunjuknya ke Nadine yang duduk di kursi kecil di depan meja riasnya.

“Sembarangan aja!” sahut Nadine tanpa menoleh ke arah Nay. Gadis itu sibuk melepaskan ujung kerudung yang membebat lehernya.

“Terus, kenapa, tadi kamu sampai nyubit aku segala, di mobil?” Nay menatap serius ke arah Nadine yang sekarang sudah berpindah duduk di sampingnya.

“Nay, kamu lupa, ya. Tadi itu, kita di mobil enggak cuma berdua. Iya, kan?” Mata Nadine melebar saat menatap Nay.

“Hmmm.” Nay mengangguk.“Terus?” lanjutnya tak mengerti dengan maksud perkataan Nadine.

“Terus, Om Danar itu, orang kepercayaan papaku. Kamu tahu
kan, kalau papaku sekarang justru mendukung Evans buat balikan
lagi sama aku? Aku udah pernah ceritain semua ke kamu kan,
Nay?” jelas Nadine sambil menatap serius ke Nay. Gadis itu bahkan
sudah memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Nay yang
sekarang terpaku di depannya. Nay pun menyimak penjelasan Nadine dengan serius, lalu menepuk dahinya sendiri.

“Astagfirullah, Nadine!” teriak Nay sembari membelalakkan
matanya.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang