Diakah Orangnya?

1 0 0
                                    

“Saya mau pulang ya, Bu, Mba,” pamit Bude Sum sembari sesekali menyeka matanya. Perempuan itu menyalami Danita dan Nadine.

“Bude Sum, omongan Bapak jangan diambil hati ya, Bude. Tau sendiri kan, Bapak orangnya gimana.” Danita berusaha meminta pengertian dari perempuan yang sudah cukup lama membantu di rumah itu.

Bude Sum berusaha tersenyum kepada Danita. “Iya, Bu. Saya tau, kok, tapi sepertinya, apa yang dikatakan Bapak benar. Lebih baik saya pulang dan jangan ke sini lagi. Mau istirahat dulu di rumah, Bu, pengen ngadem.”

Penuturan Bude Sum membuat Danita dan Nadine terkejut. Tatapan mereka kepada Bude Sum seolah meminta penjelasan. Namun, mereka juga berharap bahwa Bude Sum sedang tidak serius. Selama ini, Bude Sum selalu bisa memaklumi sikap Razan
yang kaku. Perempuan itu bisa bersikap tak acuh dengan kata-kata
Razan yang memang sering kasar kepadanya. Sebenarnya, bukan
hanya kepada Bude Sum, tapi juga kepada Danita, apa lagi kepada
Nadine.

“Besok, entah kapan, kalau Bapak sudah benar-benar bisa menerima saya lagi, dan saya masih diberi hidup oleh Allah, mungkin kita bisa bertemu lagi, Bu, Mbak Nadine. Namun, untuk
sekarang ini, saya benar-benar ingin istirahat dulu di rumah. Rasanya saya capek sekali. Jadi, silahkan Ibu cari pengganti buat saya.” Rupanya Bude Sum benar-benar ingin pamit untuk tidak bekerja di rumah Nadine lagi.

Danita menatap Bude Sum dengan mata berkaca-kaca. Sementara Nadine menghambur ke dalam pelukan Bude Sum yang masih duduk di karpet. “Bude, Bude jangan berhenti, ya. Bude tetap di sini, jangan pergi. Kalau Bude pergi, siapa yang bakal nemenin Nadine?”

Nadine tergugu sembari mendekap erat tubuh perempuan yang juga tersedu. Danita yang masih duduk di sofa juga berkali-kali mengusap matanya yang basah menggunakan ujung kerudung
yang dikenakannya.

“Bude minta maaf ya, Mbak Nadine. Karena bude enggak bisa bantu Mbak Nadine lagi. Mbak Nadine yang kuat, tetap semangat. Insya Allah, doa Mbak Nadine pasti dikabulkan sama Allah.” Bude Sum mengusap lembut kepala Nadine yang semakin menggugu,
mendengar ucapan Bude Sum.

“Mbak Nadine anak baik, pasti akan ditemukan dengan orang baik juga seperti Mas Brian ....” Bude Sum menghentikan ucapannya saat tersadar tentang apa yang baru saja dia ucapkan. Sepertinya, perempuan itu tidak sengaja menyebut nama Brian.

Mendengar nama Brian, Nadine menarik kepalanya dari dada Bude Sum. Gadis itu menatap Bude Sum penuh tanya. Danita juga tampak terkesiap mendengar penuturan Bude Sum.

“Ma- maaf, Mbak. Bude keceplosan. Maksudnya, Mas Brian itu orangnya baik, ya.” lanjut Bude Sum tampak canggung.

Nadine dan Danita saling pandang. Bude Sum bangkit kemudian mendekat pada Danita untuk berpamitan. Dia juga minta maaf atas segala kesalahannya dan mengucapkan terima kasih karena selama ini sudah dijadikan bagian dari keluarga Danita.

Bude Sum menitip pesan kepada
Danita agar menjaga Nadine dan membantu gadis itu untuk mendapatkan kebahagiaannya. Danita mengangguk dan berjanji akan berusaha untuk melakukan apa yang Bude Sum pesankan padanya.

Setelah menerima amplop berisi uang gaji yang ditambah uang saku dari Danita, Bude Sum pulang menaiki grab yang dipesan oleh Nadine melalui aplikasi online. Biasanya, suaminya
yang menjemput atau dia naik angkot jika hari masih sore.

Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau, membuat ponsel Nadine yang tergeletak di nakas, bergetar. Ponsel Nadine kembali diam setelah bergetar empat kali dan tetap tergeletak di nakas. Sementara di atas ranjang berbalut sprei putih, Nadine tampak lelap tertidur setelah salat isya tadi.

Keesokan harinya, pukul 10.00 WIB. sebuah mobil HRV warna abu-abu memasuki halaman rumah Nadine, lalu parkir di sisi kiri halaman yang cukup luas itu. Pintu depan sebelah kanan mobil itu terbuka, lalu seorang laki-laki bertubuh tinggi turun dan melangkah ke arah pintu rumah Nadine yang terbuka. Lelaki itu berdiri di samping kiri pintu, lalu menekan tombol yang menempel pada dinding di hadapannya.

Setelah menunggu sekitar satu menit, Danita muncul dari dalam. Laki-laki itu menyapa dengan senyuman sembari
membungkukkan badan.

“Maaf, Mas ini, siapa, ya? Ada perlu dengan siapa?” tanya Danita setelah membalas senyum lelaki itu.

“Saya Brian, Tante. Temannya Nadine,” jawab Brian sambil tersenyum. Mendengar nama Brian, Danita menaikkan alisnya. Sementara matanya memindai sosok yang berdiri di depannya.

‘Oh, jadi ini yang namanya Brian’ batin Danita. Danita menyilakan Brian masuk dan duduk, lalu perempuan itu melangkah ke kamar Nadine.

“Sayang, ada Brian di depan, Nak,” serunya setelah mengetuk pintu beberapa kali.

Dua menit kemudian, Nadine keluar. Wajah gadis itu tampak kusut dan masih mengenakan baju kerja. “Brian? Dia ....”

“Kamu temuin aja dulu, ya,” sahut Danita sambil tersenyum, lalu berlalu dari hadapan putrinya setelah Nadine pamit untuk mengganti bajunya lebih dahulu.

Saat Danita kembali ke ruang tamu untuk menemui Brian, ternyata Razan sudah berada di sana. Danita lantas mengurungkan niatnya untuk ke ruang tamu. Perempuan itu berdiri di balik pintu ruang tengah.

“Bukan, Om. Saya orang biasa aja, Om.” Terdengar suara Brian yang sedang menjawab pertanyaan dari Razan, tetapi Danita tidak sempat mendengar pertanyaan apa yang dilontarkan suaminya kepada pemuda yang oleh Bude Sum dibilang baik itu.

“Kalo gitu, jangan pernah temui Nadine lagi!” tegas Razan menanggapi jawaban dari Brian. Mendengar ucapan dari suaminya, Danita menarik napas berat, lalu mengembuskannya kuat.

“Ma, ngapain, di sini?” pertanyaan Nadine membuat Danita yang tidak menyadari kehadirannya, terkesiap kaget. Dia mengusap dadanya yang berdebar, beberapa kali.

“Husssttt,” Danita menyilangkan telunjuk di bibirnya, membuat Nadine mengerutkan dahi.

“Ngapain, kalian?” Suara keras Razan memotong kalimat Danita. Keduanya lantas saling pandang tanpa bicara.

“Kamu, enggak perlu nemuin dia!” Razan menunjuk kepada Nadine.

“Tapi kenapa, Pa? Dia Cuma temen Nadine, kok. Temen biasa,” sanggah Danita dengan suara sedikit ditahan.

“Pokoknya, enggak boleh. Titik!” Razan membentak Danita sambil membelalakkan matanya. Perempuan itu saling pandang dengan putrinya hingga kemudian ponsel Razan berdering tanda ada panggilan masuk.

Danar, anak buah kepercayaannya menelpon untuk mengabari bahwa ada seseorang yang menunggunya di gudang.

Setelah menutup telepon dari orang kepercayaannya itu, Razan berlalu meninggalkan Danita dan Nadine yang masih berdiri di tempatnya. Setelah Razan pergi dengan mobilnya, Danita
menyuruh Nadine untuk menemui Brian.

Lelaki yang mengenakan kaus oblong putih digabungkan dengan jaket hoodie bahan baby terry berwarna hitam itu
menyambut Nadine dengan senyum khasnya. Nadine pun menarik
dua sudut bibirnya untuk membalas senyum lelaki itu kemudian
duduk di kursi yang berseberangan dengan pemuda bermata sipit
tersebut.

“Gimana sekarang, udah lebih baik dari kemarin, kan?” Pertanyaan Brian hanya dijawab dengan senyum dan anggukan oleh Nadine.

“Maaf, aku enggak bisa antar kamu kemarin.” Sorot mata Brian tampak merasa bersalah.

“Enggak apa-apa. Makasih banyak atas bantuan dan pertolongannya kemarin.” Nadine mengangguk untuk memberi pemakluman.

“Kenapa enggak berangkat kerja? Ini baru hari kedua kamu kerja, lo. Kamu bisa diberhentikan dengan alasan ketidaksiplinan di awal kerja.” Brian mengingatkan Nadine tentang peraturan yang harus ditaati oleh pegawai baru.

“Tau dari mana?” Nadine menaikkan kedua alisnya yang tebal dan hampir bertaut.

“Ini, masih di rumah. Kalo kerja, kan, jam segini harusnya udah duduk cantik di belakang meja resepsionis hotel.” Brian ikut menaikkan alisnya.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang