"Nadine!" Sebuah panggilan menghentikan langkah Nadine. Gadis yang mengenakan kaos panjang warna lilac itu segera menoleh ke arah suara. Seorang perempuan berbadan tinggi, ramping, dan berambut lurus sebahu, tampak cantik dengan tunik biru muda, dipadu celana jeans navy yang sedikit ketat. Dia sedang berjalan cepat ke arah Nadine.
"Nadine, kan?" tanya gadis itu sambil menunjuk ke Nadine, setelah mereka saling berhadapan. Nadine menyipitkan matanya, berusaha mengingat sosok yang kini sudah berdiri di depannya.
"Nay." timpal Nadine yang juga mengacungkan telunjuknya ke gadis yang kemudian memeluk Nadine.
"Kamu, kemana aja?" tanya Nay sambil menarik tubuhnya dari pelukan Nadine, lalu manik gadis itu memindai sosok di hadapannya dari ujung rambut hingga kaki. Nadine hanya tersenyum lebar melihat reaksi Nay.
Siang sesudah zuhur, Danita mengajak Nadine ke mall sekedar jalan-jalan. Sudah lama sekali dia dan putrinya tidak keluar rumah untuk bersantai, sambil melemaskan otot kaki dengan berjalan mengitari mall yang cukup ramai itu.
Kali ini, Danita sengaja mengajak Nadine keluar rumah dan pergi ke tempat ramai. Selain untuk membuang jenuh, ini merupakan salah satu latihan bertahap yang diberikan kepada Nadine untuk memulihkan trauma psikologisnya, yaitu berada di keramaian tanpa perasaan takut dan khawatir yang berlebihan.
Dengan diantar oleh Danar, mereka mengunjungi Bintaro Plaza yang terletak di Jalan Bintaro Utama Kota Tangerang Selatan, Banten. Lokasi ini berjarak sekitar lima kilometer dari rumah mereka.
Bintaro Plaza adalah salah satu pusat perbelanjaan tertua atau yang pertama kali dibangun di kawasan Bintaro Jaya. Mall ini menyediakan berbagai kebutuhan mulai dari fashion, produk kecantikan, kebutuhan sehari-hari, dan lain sebagainya. Untuk yang gemar kulineran, mall di Bintaro ini juga menawarkan tempat kuliner yang cukup lengkap dan bervariasi.
Danita membeli beberapa stel baju harian berbahan katun rayon. Dia sangat menyukai jenis pakaian ini karena bahannya dingin dan nyaman sekali saat dipakai. Perempuan yang menyukai warna mocca ini juga membeli dua stel baju tidur dan tiga pasang pakaian dalam untuk Nadine. Awalnya Nadine menolak, tetapi Danita merayunya dengan alasan bahwa, pakaian dalam perlu diganti dalam kurun waktu tertentu untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pemakainya. Akhirnya, Nadine menyetujui keinginan mamanya.
Saat Danita berada di kasir itulah, seseorang memanggil Nadine yang sedang menunggu mamanya sambil berjalan-jalan di area sekitar kasir."Kenapa kamu berhenti kuliah, Nadine?" Pertanyaan yang tidak segera dijawab oleh Nadine. Gadis itu tertegun hingga sentuhan Nay pada bahunya membuatnya kaget.
"Eh, a- aku lagi ingin istirahat aja, sih," jawab Nadine sedikit gugup. Nay menangkap sesuatu yang tak biasa pada raut wajah Nadine. Saat dia akan bertanya lagi kepada teman yang sering bersamanya di kampus dua tahun lalu, tiba-tiba Danita sudah muncul di hadapan mereka.
"Nadine, ini teman kamu?" tanya Danita sambil tersenyum pada Nay.
"Iya, Ma. Namanya Nay. Nay, ini mama aku," jelas Nadine mengenalkan sembari mendekat ke mamanya.
"Salam kenal, Tante," sapa Nay yang kemudian menjabat dan mencium tangan Danita. Setelah bertukar no WA dan berbasa-basi sebentar, kemudian Nay pamit karena papanya sudah menunggu di area parkir.
Nay, gadis supel dan selalu ceria yang cukup dekat dengan Nadine dua tahun yang lalu. Namun, setelah kejadian yang membuat Nadine berhenti kuliah karena merasa dirinya berbeda dengan yang lain, mereka tidak pernah bertemu lagi. Evans, lelaki itu telah menghanguskan semua mimpi Nadine, termasuk mimpi untuk menunjukkan kepada papanya bahwa dia adalah anak perempuan yang berhak diakui dan dihargai.
Sejak kecil, Nadine bercita-cita menjadi dokter. Menurut dia, profesi itu sangat mulia. Dia ingin membangun rumah sakit gratis untuk orang-orang kurang mampu yang membutuhkan pengobatan. Namun, papanya punya keinginan lain yang harus diikutinya, yaitu sekolah bisnis, agar kelak dia bisa menjadi usahawan sukses dan mampu melanjutkan bisnis papanya.
Dengan begitu, papanya baru akan mengakui bahwa anak perempuan juga layak mendapat pengakuan karena bisa membanggakan orang tuanya.
Nadine mengalahkan mimpinya untuk mimpi papanya. Dia berharap, dengan begitu, kelak papanya akan mengakui keberadaannya sebagai anak yang berbakti dan pantas diakui. Akan tetapi, semua mimpi itu telah menjauh dan pergi dari hidupnya. Keputusannya untuk menerima cinta Evans, telah berujung petaka yang menghancurkan hidupnya. Namun, itu dulu, dua tahun yang lalu. Sekarang, Nadine telah berjanji pada dirinya, bahwa dia akan segera bangkit dan memiliki hidupnya untuk meraih apa yang seharusnya dia dapatkan. Meski sekarang, dia belum mendapatkan pengakuan dari papanya.
***
Sebuah pesan di aplikasi hijau masuk ke ponsel Nadine. Nay mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe. Gadis berhidung mancung itu menagih janji kepada Nadine untuk menceritakan sebab dia berhenti kuliah. Janji Nadine waktu mereka bertemu di Bintaro Plaza.
Nadine meminta Nay untuk datang kerumahnya, melalui balasan pesannya. Dia beralasan kalau dia lebih nyaman jika bercerita di tempat yang tidak banyak dikunjungi oleh orang. Akhirnya, mereka sepakat untuk bertemu di rumah Nadine besok. Nadine segera mengirim lokasi rumahnya melalui aplikasi map kepada Nay.
Sejak dua tahun terakhir, Nadine menonaktifkan semua akun jejaring sosial miliknya dan memutus komunikasi dengan semua temannya, termasuk Nay, hingga teman kuliah Nadine tidak ada yang tahu tentang peristiwa yang menimpanya.
Nadine termasuk orang yang tidak terlalu banyak teman. Sikap posesif papanya, membuat gadis itu jarang keluar rumah untuk sekedar bersenang-senang dengan teman seperti umumnya gadis seusia dia. Gadis itu lebih banyak berdiam diri di rumah jika tidak ada keperluan yang berhubungan dengan kuliah.Keesokan harinya, Nay sampai di rumah Nadine tepat pada waktu yang dia janjikan. Mereka saling bercerita tentang apa yang mereka alami selama dua tahun ini. Termasuk tentang perkosaan yang dialami oleh Nadine. Nay sangat kaget mendengar cerita Nadine. Dia memang belum pernah bertemu dengan Evans, tapi gadis itu ikut mengutuki lelaki yang telah menghancurkan hidup sahabatnya.
Nadine memang pernah bercerita padanya bahwa dia baru menjalin hubungan dengan lelaki bernama Evans. Nay benar-benar tidak menyangka bahwa Evans tega berbuat demikian pada Nadine. Gadis bermanik hitam itu banyak memberikan dukungan untuk Nadine. Dia juga berharap Nadine bisa bangkit dan memulai kehidupan barunya tanpa bayang-bayang Evans lagi.
Nay menyarankan kepada Nadine untuk mengakhiri trauma dan bila sudah memungkinkan, ada baiknya Nadine membuka kembali hatinya untuk laki-laki beruntung yang pantas mendapatkan cintanya. Namun, Nadine merasa belum berani membuka hati untuk siapapun. Meski trauma itu perlahan mulai hilang, tapi keberanian untuk kembali menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, belum muncul dalam dirinya. Dia masih butuh waktu untuk mengakui dan menghargai dirinya lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADINE
RomanceNadine adalah salah seorang korban perkosaan pacar. Dia sedang berusaha bangkit dari trauma saat bertemu seseorang yang diharapkan dapat menjadi cinta sejati. Namun, ayahnya berkeras menerima Evans, sang pemerkosa yang juga sadistis. Impian Nadine u...