Menghilang

4 0 0
                                    

Tiga hari setelah kedatangannya ke gudang, Evans mengabari Razan melalui telepon bahwa dia sudah mendapatkan informasi tentang Brian. Mereka lantas sepakat untuk bertemu lagi di gudang.

Sesampainya di gudang, Evans bercerita pada Razan bahwa dari informasi yang didapat oleh orang suruhannya, Brian adalah anak dari pemilik hotel tempat Nadine bekerja, tapi Brian bukan anak kandung pemilik hotel itu. Dia hanya anak tiri bawaan istri mudanya. Razan menyimak cerita Evans dengan saksama.

“Jadi, ternyata, dia itu, gayanya aja yang sok oke, Om. Nyatanya, dia cuma anak tiri yang enggak bakal dapet warisan dari Ayahnya. Kecuali kalo ayahnya enggak punya anak kandung. Iya kan, Om?” Evans mengangkat dagunya. Sementara Razan hanya
mengangguk-angguk sambil memegangi dagu.

“O iya, Om. Om tau enggak, kalo Brian itu keturunan Chinese? Dan agama dia itu Nasrani, Om. Masak iya sih, Nadine mau pacaran sama orang kayak gitu? Om enggak mau kan, anak Om terbawa sama dia?” Ekor mata Evans memindai Razan yang masih tertegun.

“Enggak lah! Bikin malu aja!” hardik Razan kesal. Sementara Evans tampak menyeringai.

“Kalo aku, sih, udah jelas Om. Aku anak tunggal pengusaha taxi terbesar di daerah sini. Jadi, Om udah bisa tebak sendiri kan, warisan dan usaha orang tuaku, bakal jatuh ke tangan siapa.
Makanya, Om enggak perlu khawatir soal lamaran yang bakal aku kasih ke Nadine. Om bisa pesan apa aja sesuai yang Om inginkan. Aku pasti bakal penuhin semuanya, Om.” Evans menatap Razan yang duduk di depannya, penuh selidik.

“Kamu tenang aja. Nadine tidak akan kemana-mana. Dia pasti jadi milikmu.” Pungkas Razan sembari memicingkan mata.

“Makasih, Om.” Evans tersenyum penuh kemenangan, lalu pemuda itu bergegas pamit.

Razan bergegas pulang setelah mobil Evans tak tampak lagi. setelah sampai di rumah, lelaki itu langsung memanggil Danita dan menyuruh istrinya untuk memanggil Nadine juga. Mereka bertiga lantas duduk di ruang tengah.

Razan menceritakan perihal laporan Evans soal Brian. Nadine dan Danita saling mendengarkan cerita Razan dengan Saksama. Sesekali mereka saling pandang. Razan mengakhiri ceritanya dengan melarang Nadine
bertemu Brian lagi.

“Kalo sampai kamu ketemu sama anak itu lagi, aku akan mengurungmu di kamar sampai hari pernikahanmu dengan Evans,” ancam Razan sambil menatap tajam ke arah Nadine.

Nadine terkesiap mendengar ucapan papanya. Dia tau pasti, papanya tidak
pernah main-main denganucapannya.

“Tapi, Pa ....” protes Nadine dan Danita bersamaan.

“Enggak ada tapi-tapian!” bentak Razan.

“Evans adalah pewaris tunggal perusahaan orang tuanya. Dia akan segera melamar kamu dalam waktu dekat ini. Jadi, enggak ada alasan kamu membantah,” tandas Razan.

“Brian itu, siapa? Dia enggak ada apa-apanya. Lagian, apa kamu mau anakmu jadi seperti dia?” Dagu Razan terangkat ke arah Danita seiring tatapan tajamnya.

Danita menatap suaminya, lalu menghela napas dalam. Sementara Nadine hanya diam sambil menggigit bibir. sementara tangannya saling bertaut di atas meja. Nadine sedang duduk di sofa kecil yang ada di dekat jendela kamarnya, matanya memandang ke luar. Sesekali, maniknya memindai layar ponsel yang tergeletak di sampingnya.

Dia lantas mengambil benda pipih itu, lalu menekan tombol kecil di bagian
samping hingga layar menyala. Jempolnya mengusap layar untuk
membuka tombol kunci. Guliran ibu jarinya menuju aplikasi hijau
yang akhir-akhir ini paling sering dia buka.

Setelah menemukan profil yang dicarinya, gadis itu menghela napas. Raut wajahnya tampak kecewa mendapati kontak tersebut masih dalam mode off dari tiga hari yang lalu.

“Kemana, dia? Apa mungkin dia juga sama dengan sebagian orang yang ingin menjauh setelah tau keadaanku yang sebenarnya?” gumamnya.

Gadis itu lantas meraba lehernya. Dia menemukan benda mungil berbentuk bulat yang tergantung pada tali rantai kecil yang melingkar di sana. Tangan gadis itu menggenggamnya erat, lalu
pelupuknya tampak basah oleh bening yang mulai menitik.

Suara ketukan disusul dengan bunyi derit pintu membuyarkan lamunan Nadine. Dia segera mengusap pipinya sebelum menoleh ke arah suara.

“Mama enggak ganggu, kan?” Danita mendekati Nadine yang tampak sibuk merapikan anak rambutnya.

“Enggak kok, Ma,” jawab gadis itu sambil tersenyum.

“Brian, apa kabar?” Danita menghempaskan pinggulnya di
sofa samping anak gadisnya.

“WA-nya masih off, Ma,” keluh Nadine setelah beberapa saat terdiam. Gadis itu lantas menarik napas panjang dan
membuangnya perlahan. Danita pun melakukan hal yang sama.

“Mungkin, dia lagi sibuk,” hibur Danita setelah mendapati mendung pada raut putrinya.

“Tapi, udah tiga hari off lo, Ma, dan itu semenjak Nadine cerita soal masa lalu Nadine ke dia. Apa mungkin ....” Nadine tidak berani melanjutkan ucapannya.

“Sayang, menurut mama, kamu udah melakukan hal yang benar, kok. Kalau Brian pergi setelah tau masa lalu kamu, itu artinya, dia bukan orang yang kamu harapkan. Karena, bukankah kamu ingin diakui dan dihargai sebagai perempuan, meski apa pun yang telah terjadi sama kamu, bukan? Nah, kalau Brian tidak bisa menerima masa lalu kamu, bagaimana mungkin dia bisa
menghargai kamu, Sayang?” Danita menatap lembut putrinya dengan mata mulai berembun. Sementara Nadine sudah mulai terisak sambil menggigit bibir bawahnya.

“Nadine sayang, kamu adalah gadis terhebat yang pernah Mama temui seumur hidup mama. Sejauh ini, kamu udah bisa membuat dirimu jadi berarti bukan hanya bagi dirimu sendiri,
tapi juga bagi banyak orang yang peduli dan sayang sama kamu. Jadi, kamu tinggal bertahan sebentar lagi untuk mendapatkan apa yang kamu impikan. Karena mama sangat yakin bahwa Allah sedang menyiapkan kado terindah untukmu. Hanya saja, kado itu terbungkus rapat, dan perlu sedikit perjuangan untuk membukanya.” Danita mengusap lembut punggung anak gadisnya, lalu merengkuhnya ke dalam pelukan. Isak Nadine pun semakin menjadi.

“Sabar ya, Sayang.” Tangan lembut itu membelai rambut hitam bergelombang milik Nadine. Nadine tapak mengangguk mengiyakan perkataan mamanya.

“Tapi, Ma ....” Gadis itu tiba-tiba menarik tubuhnya dari dekapan mamanya.

“Kata Papa, Evans bakal melamarku dalam waktu dekat. Aku enggak mau menikah sama Evans, Ma. Aku takut. Aku enggak mau.” Nadine menggeleng beberapa kali hingga beberapa butir
bening terjatuh.

“Sayang, inget enggak, apa kata Ustazah Daniyah? Kata beliau, manusia hanya bisa berencana, dan Allah lah pemilik segala keputusan. Jika Evans dan Papa punya kemauan, tapi ternyata Allah punya kemauan yang lain, maka kemauan Allah lah yang pasti akan menang. Jadi, kita hanya perlu menunggu Allah mengambil
keputusan untuk kita sambil terus berusaha dan berdoa agar Allah mengambil keputusan seperti apa yang kita harapkan, dan keputusan Allah sudah pasti yang terbaik buat kita. Begitu kan?”

Nadine mengangguk mendengar penjelasan dari mamanya.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang