“Nad, kok, malah bengong, sih?” Nay mengibaskan tangannya di depan wajah Nadine hingga perempuan berkulit putih itu terkesiap kaget.
“Eh, maaf,” pinta Nadine seraya mengusap wajah dengan tangan kirinya. Kemudian segera dilahapnya mi goreng yang tinggal beberapa sendok, lalu meminum habis ice teh beraroma leci kesukaannya.
Setelah membersihkan mulut dengan tisu, gadis berbadan sintal yang mengenakan celana kulot bahan jeans dengan atasan kaos putih lengan panjang berlapis jaket itu menunggu Nay menghabiskan makanannya, sembari menarikan jempol di layar
ponsel. Dia membuka pesan tanpa nama yang pernah diterimanya.
‘Apa mungkin ….’ Nadine hanya menebak dalam batinnya.
“Si Freya itu, minta no aku, buat apa, katanya?” Nadine beralih menatap Nay penuh selidik.
“Enggak bilang, sih. Cuma bilang apa ya, waktu itu. Ah, lupa, aku. Udah lama juga, sih,” jawab Nay sambil mengelap tangannya yang basah dengan tisu makan.
“Oh,” Nadine manggut-manggut sambil membulatkan bibirnya hingga berbentuk seperti huruf o besar.
“Besok, deh. Kalo ketemu dia, aku tanyain soal itu, sekalian soal lokernya,” imbuh gadis penyuka warna salem dan mustard tersebut.
“Hmmm, ok, deh. Eh, iya, lokernya di hotel, ya?” tukas Nadine dengan nada sedikit protes. Sementara bibirnya sengaja dimonyongkan sedikit.
“Yups! Emang, kenapa? Kamu enggak suka?” Nay menatap Nadine sambil mengerutkan alisnya. Raut wajahnya mendadak berubah masam.
“Enggak, sih. Maksudnya, aku sih, enggak masalah, tapi kenapa ya, kadang, masih ada aja orang yang memandang gimana gitu, sama pekerjaan di hotel?” Pernyataan dan pertanyaan Nadine membuat Nay terkekeh. Gadis itu lantas menggeleng sembari menatap heran ke arah Nadine.
“Nadine, Nadine. Kerja di hotel, apalagi sebagai resepsionis, emangnya kenapa? Apanya yang salah? Hari gini, ketika hotel udah menjadi semacam kebutuhan pokok bagi orang yang bepergian, cuma orang-orang kolot yang masih berpikiran negatif,” kilah Nay antusias. Nadine hanya menyimak dengan saksama.
“Lagian, tugas resepsionis hotel itu kan, menyapa, melayani, memberikan informasi kepada pengunjung, klien atau stakeholder¹ suatu perusahaan terkait dengan tujuan dan informasi yang dikehendaki. Iya, kan? Bukan menemani tamu hotel tidur atau
ngapain?” Nay semakin berapi-api membela isi pikirannya.
“Iya, iya. Aku ngerti kok, maksudmu.” Nadine mengusap tangan Nay yang terulur di meja, untuk menenangkannya.
“Habisnya, kesel sama orang-orang yang terlalu gampang memberikan stigma² terhadap sebuah pekerjaan yang bahkan dia sendiri belum pernah menjalaninya,” hardik mahasiswi semester tujuh itu.
“Tapi, Nay. Walaupun aku berminat, aku kan, enggak pernah kuliah perhotelan?” ujar Nadine ragu.
“Ah, gampang. Lulusan SMA bisa kok, asal sungguh-sungguh dan mau belajar. Pemilik hotel itu katanya masih family sama dia. Jadi, nanti, dia bakal bantu proses masuknya.” Suara Nay berubah pelan.
“Nanti deh, kupikir-pikir dulu. Sekalian izin ke Mama.” pungkas Nadine.
“Eh, Nad. Sebelumnya, maaf nih, ya. Emang, si Evans tuh, setajir apa sih? Sampai-sampai papamu takluk sama dia. Terus, sebenernya, dia udah punya penghasilan sendiri, apa masih dari
orang tuanya?” cecar Nay.
“Enggak tau!” tukas Nadine. “Kalo liat hadiah yang dia kasih, sih ….” Kalimat Nay terputus oleh lirikan mata Nadine.
“Bukan, maksud aku gini, Nad.” Nay menjeda kalimatnya.
“Menurutku nih, ya. Meskipun, misalnya orang tua Evans beneran tajir, harusnya papamu enggak cuma liat Evans sebagai keturunan orang kaya. Karena jadi keturunan orang kaya aja tuh, enggak cukup. Itu menurutku lho, ya.” Nay menaikkan alisnya saat menatap Nadine yang juga menatapnya.
Gadis kelahiran Tangerang berdarah Sunda itu lantas melanjutkan penuturannya. “Karena menurutku nih, sebelum memilih calon pendamping, salah satu aspek yang perlu diketahui
darinya adalah kemandirian dan kemapanannya. Kemandirian
seseorang itu bisa dilihat dari kemampuannya menghidupi diri
sendiri. Enggak cuma bergantung pada pemberian dari orang
tuanya, tapi dari upaya dan kerja kerasnya dalam bekerja. Ini bukan
berarti kita sebagai perempuan tuh, matre atau mata duitan, tapi
kita pun perlu realistis. Iya, kan?"
“Hmmm, terus?” Nadine menaikkan alisnya hingga matanya yang bulat semakin membesar. Kedua tangannya menopang dagu dengan siku yang bertumpu di meja.
“Terus, ya ... siapa sih, yang enggak mau punya pasangan yang bertanggung jawab? Kita semua pasti kepengen punya pasangan yang bertanggung jawab, kan? Nah, salah satu cara untuk melihat atau menakar seberapa besar rasa tanggung jawab yang dimiliki
seseorang adalah dari kemampuannya dalam bekerja keras. Bukan
cuma dari ukuran besarnya gaji atau penghasilan, tapi juga dari
seberapa tangguh dia dalam bekerja dan menekuni pekerjaannya.”
Nay semakin antusias menjelaskan kepada Nadine yang menyimak
kata-katanya dengan penuh saksama.
“It’s ok. Setuju banget sama pendapatmu, tapi Non, yang jadi
pertanyaan, emang siapa yang mau sama Evant lagi?” ujar Nadine geram. Gadis itu sengaja menatap lekat sahabatnya yang langsung tertegun.
Nay meringis sambil menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, saat menyadari sikap Nadine arah pembicaraan Nadine.
Sementara itu, Nadine bergeming menikmati wajah Nay yang memerah dan salah tingkah.
“Aku mau hidupku, Nay. Aku mau memilih jalanku sendiri. Bukan lagi tentang apapun yang Papa putuskan, tapi tentang apa yang bisa membuatku bahagia. Aku bakal berjuang untuk itu.” Ucapan Nadine membuat Nay menganga dengan mata berbinar.
“Setuju! Aku setuju sama keputusan kamu, Nad. Aku janji, bakal selalu dukung kamu.” Nay menggenggang tangan Nadine di meja.
“Kalo gitu, kamu harus segera cari pacar, Nad.”
Nadine terkesiap. “Pacar?”
“Yups! Siapa tau, kalau kamu punya pacar yang lebih dari Evans, papamu enggak akan mengungkit-ungkit Evans lagi. Iya, kan?” Wajah Nay tampak bersemangat.
“Mungkin aja, sih, tapi aku ….” Nadine mengalihkan pandangan ke ponselnya yang tergeletak di meja saat tiba-tiba
benda itu bergetar beberapa kali. Tangannya lantas bergerak cepat
meraih, lalu mengusap layar yang masih tampak terang.
[Sayang, belum mau pulang? Mama mau pergi sebentar sama Papa, ya. Ada bude Sum di rumah.] sebuah pesan WA masuk ke ponsel Nadine.
Jari Nadine lantas bergerak lincah di layar. [Iya, Ma.]
“Nay, pulang, yuk,” ajak Nadine setelah mendapati angka 12.15 di layar ponselnya.
Meski sedikit bersungut, akhirnya Nay mengiyakan ajakan Nadine. Mereka bergegas meninggalkan meja setelah memastikan tidak ada yang tertinggal di sana. Keduanya berpisah di tempat
parkir untuk menuju motor masing-masing. Posisi motor Nay yang ada di tepi, memudahkannya keluar dari area parkir. Sementara
itu, motor Nadine diapit oleh beberapa motor lainnya. Beruntung,
seseorang datang, lalu membantunya. ‘Untung ada tukang parkir,’ Nadine membatin.
Nay sempat menghampiri Nadine dengan motornya, tetapi akhirnya dia pulang lebih dulu, setelah sahabatnya menolak untuk ditunggui.
Nadine bernapas lega setelah beberapa menit lelaki muda yang membantunya berhasil mengeluarkan motor dari area parkir. Gadis itu mengucapkan terima kasih, tapi ucapannya hanya berbalas tatapan tajam ke arahnya. Dada gadis cantik itu langsung berdebar, dia menggigit bibir dan tidak berani lagi memindai mata tajam itu.
Nadine bergegas mengambil alih motornya, lalu bersiap menjalankan. Namun, lelaki itu sengaja menggenggam tangan kirinya yang memegang stang. Dengan cepat, Nadine berusaha menarik tangannya, tetapi lelaki yang tak dikenalnya itu menguatkan genggamannya. Mata liar menyapu wajah Nadine hingga ke bagian dada yang sedikit terbuka jaketnya, kemudian dia menjilat bibirnya sendiri. Nadine bergidik dan menarik tubuh untuk menjauhinya,
tapi lelaki itu malah semakin mendekatkan wajahnya sambil
berbisik, “Boleh juga, pantes, Evans ketagihan.”
Mendengar nama Evans, dada Nadine bergemuruh. Tangan kanannya mengepal dan melayang ke arah perut di sampingnya, tapi si kurus itu berhasil menangkap pergelangan gadis itu dengan tangan kanannya. Sekarang, posisi Nadine terkunci. Wajahnya
memucat, mata memerah dan maniknya bergerak ke sana-kemari.
“Lepaskan!” Nadine hampir saja berteriak jika tidak ada mobil
yang tiba-tiba berhenti di depan mereka. Nadine terbelalak dengan
mulut menganga saat kaca depan mobil itu terbuka.-------------------------------------------------
¹ Individu, kelompok, maupun komunitas yang memiliki kepentingan dalam suatu organisasi atau perusahaan.
² Sebuah pikiran, pandangan, dan juga kepercayaan negatif yang
didapatkan seseorang dari masyarakat ataupun juga lingkungannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADINE
RomanceNadine adalah salah seorang korban perkosaan pacar. Dia sedang berusaha bangkit dari trauma saat bertemu seseorang yang diharapkan dapat menjadi cinta sejati. Namun, ayahnya berkeras menerima Evans, sang pemerkosa yang juga sadistis. Impian Nadine u...