Tertipu

1 0 0
                                    

Evans yang pergi dari rumah Nadine dengan penuh amarah, melajukan mobilnya dengan cepat tinggi ke arah gudang Razan. Beberapa kali pemuda itu memukul kemudi sambil menggeretakkan giginya. “Awas kalian!” umpatnya dengan nada
kesal.

Sepuluh menit kemudian, mobil Honda Civic yang dikemudikan oleh Evans memasuki pelataran gudang milik Razan. Lelaki itu turun dari mobilnya, lalu memasuki gudang dengan langkah tergesa-gesa. Raut mukanya tampak kusam, sesekali tangannya mengusap rahang kirinya yang terasa nyeri. “Kurang ajar!” makinya sendiri.

Razan yang duduk di dalam ruangannya, langsung berdiri saat
Evans masuk dan langsung menghempaskan tubuhnya di sofa
yang ada di samping kursi Razan. Manik tajam Razan memindai
laki-laki muda itu. “Kenapa, kamu?” tanya laki-laki itu sembari menautkan alisnya yang tebal.

Dengan perasaan tidak enak, laki-laki berkumis itu mendekat dan duduk di samping Evans. “Ada apa?” tanyanya lagi. Namun, Evans tidak segera menjawabnya.

Pemuda itu memegang rahang kiri sambil membuka mulutnya. “Sialan!” gerutunya seraya memutar maniknya. Razan menatap Evans dari samping.

“Sialan apanya? Mana Nadine?” Razan mengangkat dagunya, lalu melihat keluar ruangan, tetapi tidak mendapati siapapun.

“Om ini, gimana, sih? Bikin aku malu aja!” Evans menggerakkan ekor matanya ke Razan, lalu menarik napas dan membuangnya kasar. Dia membenahi tubuhnya yang bersandar pada punggung sofa berwarna cokelat.

“Gimana apanya? Apa yang terjadi?” desak Razan yang tampak tidak sabar. Lelaki itu menatap lekat pada Evans.

“Dia pukul aku di depan Nadine! Sialan!” Evans melayangkan tinjunya ke udara.

“Lagian, anak Om juga, sih! Kenapa bisa kenal ama dia, sih?” Evans mengernyitkan dahinya saat menoleh ke arah Razan yang duduk di sampingnya.

Mendengar cerita Evans, muka Razan berubah menjadi merah. Mata lelaki itu menatap tajam ke luar. Apa yang direncanakannya telah gagal, yang terjadi, justru sebaliknya.

Saat hendak ke gudang tadi, Razan menelpon Evans dan menyuruh datang ke rumahnya. Maksudnya ingin membuat Brian pergi dengan kehadiran Evans di sana. Namun, kedatangan Evans ke gudangnya, adalah jawaban dari semua rencananya yang gagal.

“Kurang ajar! Anak itu emang kurang ajar! Enggak ada kapoknya, dia. Mau jadi pahlawan kesiangan?” Razan bangkit dari duduknya, lalu berdiri sambil berkacak pinggang.

“Maksud, Om? Om udah pernah ketemu dia? Kapan, Om? Di mana? Apa yang dia lakuin?” cecar Evans sambil menatap Razan penuh tanya. Razan memindai pemuda itu dengan ekor matanya, lalu dia beranjak dan duduk di kursinya.

“Kemarin, dia juga yang bawa Nadine pergi dari rumah, waktu kamu bilang Nadine kabur.” Razan membuang tatapannya keluar melalui pintu yang terbuka di depannya.

“Apa? Serius, Om?” Evans sontak berdiri, lalu mendekat ke Razan.

“Kok, Om baru cerita sekarang, sih? Kalo tau gitu kan, langsung kuhajar aja dia, tadi!” Evans memukul meja Razan yang ada di depannya, dengan tinjunya. Sementara Razan hanya melirik ke arah pemuda kaya itu.

“Emang, ada hubungan apa dia sama Nadine? Jangan-jangan ....”

“Enggak ada hubungan apa-apa, enggak akan pernah! Kamu tenang aja,” sergah Razan seakan bisa membaca kegusaran yang dirasakan oleh Evans.

“Om akan cari tau tentang dia, dan om jamin, dia enggak akan berani datang lagi ke rumah om.” Tangan kanan Razan meninju telapak tangan kirinya. Sementara Evans yang masih berdiri di samping mejanya, hanya menyeringai.

Razan bergegas keluar ruangan dan berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Kepalanya menoleh ke sana-kemari seperti mencari seseorang. “Danar!” teriaknya setelah melihat laki-laki yang dicarinya sedang duduk di dekat pintu gudang.

Lelaki yang dipanggil oleh Razan segera bangkit, lalu berlari kecil menuju bosnya. “Iya, Bos!” serunya setelah berdiri tegak di hadapan Razan.

“Kamu cari tau tentang ....” Razan menggaruk kening.

“Brian, Om,” sahut Evans saat melihat Razan mengerutkan dahi, karena belum juga bisa menemukan nama yang dimaksud, dalam ingatannya.

“Ya, Brian,” pungkas Razan sambil mengacungkan telunjuknya ke Danar.
“Brian ... Brian yang mana, Bos?” Danar menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Razan bergeming. Sementara Evans memindai Razan dan Danar dengan ekor matanya.

“Biar aku aja, Om. Mungkin, Om Danar belum pernah liat Brian. Kebetulan, tadi aku sempet baca plat mobilnya,” sergah Evans mengatasi kebingungan Danar. Akhirnya, Danar pun setuju
dengan apa yang diusulkan oleh Evans.

Menjelang pukul dua belas, Razan pulang untuk makan siang. Dia sempat mengajak Evans untuk ikut ke rumahnya, tapi Evans langsung menolak dengan tegas. Akhirnya, Razan meninggalkan Evans yang masih ingin beristirahat. Laki-laki muda itu meminta izin kepada Razan untuk tinggal sebentar di ruangannya dengan alasan, badannya terasa sakit semua usai berkelahi dengan Brian,
tadi.

Karena merasa bersalah atas apa yang dialami oleh Evans, akhirnya Razan mengizinkan pemuda itu beristirahat di sofa yang ada di ruangannya. Pemilik mebel itu juga menyuruh Danar untuk menemani Evans selama dirinya pulang.

Sepeninggal Razan, Evans menyuruh Danar untuk membeli minuman keras. Awalnya Danar menolak dengan alasan takut dimarahi oleh Razan, bosnya. Namun, Evans terus memaksa
dengan alasan untuk mengobati rasa lelah di tubuhnya. Dia juga berani menjamin bahwa Razan tidak akan tau apa yang mereka lakukan.

“Nih, beli satu botol aja, sisanya buat Om.” Evans menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan kepada Danar.

Melihat jumlah uang yang disodorkan Evans padanya, Danar segera menyambar lembaran kertas berwarna merah itu. Lelaki yang selalu mengenakan topi itu bergegas pamit kepada Evans yang kemudian hanya menyeringai melihat tingkahnya.

“Dasar! Bos sama anak buah sama-sama mata duitan!” umpat Evans sembari tersenyum sinis menatap punggung Danar yang semakin menjauh.

Tidak berapa lama kemudian, Danar pulang dengan sebotol minuman yang dia selipkan di bawah lengannya untuk menghindari kecurigaan karyawan mebel yang kebetulan tidak pulang siang itu. Lelaki bertato itu segera masuk ke ruangan bosnya, lalu menyerahkan minuman itu ke Evans.

Setelah membuka tutup botol dengan giginya, Evans langsung menenggaknya beberapa kali hingga isi botol itu tinggal setengahnya. Dia lantas menyodorkan botol itu kepada Danar.
Danar menggeleng, tapi Evans semakin mendekatkan botol itu padanya. Tatapan tajam Evans, membuat Danar akhirnya menerima, lalu menenggak beberapa kali isi botol tersebut.

“Om ... Om. Lo itu ya, enggak bakalan pernah bisa nolak kemauan gue. Apa pun itu. Ingetkan, waktu gue suruh Om buat ngibulin bos Om sendiri? Awalnya, Om bisa aja nolak, tapi, mata Om, mana bisa nolak duit? Iya, kan?” Evans tertawa keras sambil menunjuk ke arah Danar yang kemudian juga ikut tertawa. Setelah itu, dia kembali menenggak isi botol yang dipegangnya.

“Bos muda bisa aja,” kilahnya sambil sambil tertawa.

“Bos muda emang hebat. Si bos aja bisa dikibulin, apa lagi saya yang Cuma anak buahnya. Iya, kan?” sanjung Danar kepada Evans. Laki-laki itu menaikkan alisnya saat menatap pemuda yang berbaring di sofa cokelat milik majikannya.

“Iya lah! Gue emang hebat. Apa pun yang gue mau, pasti bisa gue dapetin. Apa lagi cuma cewek macam Nadine.” Evans menepuk dada, lalu kembali tertawa.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang