Setengah berlari, Brian mendekat ke arah Nadine yang berdiri di depan pintu utama hotel. “Hai, gimana, hari pertama kerja?”
Nadine mengerutkan keningnya. “Kamu, ngapain di sini?”
“Nungguin kamu, lah.” Lelaki berkaus putih dengan jaket jeans warna biru pudar itu menaikkan alisnya.
Nadine ikut menaikkan alis. “Aku?”
“Udah, yuk.” Brian menarik tangan Nadine kembali ke lobi hotel.
Nadine menarik tangannya sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tampak beberapa karyawan dan tamu hotel yang ada di sana, memerhatikan mereka.
“Apa-apaan, sih.” Nadine menghentakkan tangannya hingga
terlepas dari tangan Brian.
“Ok, ok. Sorry sorry.” Brian mengangkat kedua tangannya setinggi bahu, seakan tersadar bahwa apa yang dilakukannya telah membuat Nadine tidak nyaman.
“Tapi, sekarang, kamu mesti ikuti aku, ya,” perintahnya sambil mengacungkan dua telunjuknya ke Nadine yang tampak kebingungan.
“Ikut? Kemana? Mau apa?” Nadine mengerutkan dahinya, lalu mundur beberapa langkah.
“Please, nanti aku jelasin. Sekarang, ikutin aku dulu, kalo kamu enggak mau, terpaksa kugandeng, nih.” Brian mengulurkan tangan kanannya untuk meraih tangan Nadine.
Nadine kembali menyapu ruangan lobi dengan mata bulatnya. Beberapa karyawan segera mengalihkan pandangan mereka. Sebagian, ada yang saling berbisik sambil senyumsenyum. Sementara itu, tamu yang melintas tampak melihat ke arah mereka sambil menahan tawa. Ada juga yang hanya sepintas melihat, kemudian berlalu begitu saja.
Demi mengakhiri rasa malunya, Nadine mengangguk. Anggukan gadis itu membuat senyum Brian mengembang, lalu lelaki itu bergegas meninggalkan lobi. Nadine mengikuti langkah Brian yang ternyata berjalan menuju kafe yang ada di bagian depan samping lobi hotel.
“Tunggu!” Teriakkan Nadine menghentikan langkah panjang
Brian yang telah memasuki cafe.
Brian membalikkan badan, lalu melangkah mendekati Nadine
yang berdiri mematung di depan pintu cafe yang telah terbuka.
“Ini maksudnya, apa?” Nadine bergeming dengan kening
berkerut sembari menggerakkan maniknya menyapu wajah gagah
di hadapannya.
“Aku cuma mau ngajak kamu makan sebagai hadiah di hari pertama kerja. Enggak salah, kan?” sanggah Brian berusaha membela diri.
“Atas dasar apa? Kita, bahkan ….” Kalimat Nadine terhenti oleh tarikan tangan Brian di pergelangan yang memaksa dirinya menghambur ke dalam cafe.
Saat berada di dalam, Nadine tercekat melihat tampilan kafe yang seperti sengaja didesain untuk sebuah pesta kecil. Namun, gadis itu berusaha menyadarkan diri bahwa bisa saja pesta itu milik orang lain. Kebetulan, Brian mengajaknya ke mari untuk
menemaninya minum saja, atau mungkin, hanya untuk suatu
kepentingan.
“Nad, sini.” Panggilan yang menyebut namanya, menyentak kesadaran Nadine. Bukannya beranjak, gadis berpostur sedang itu justru bergeming dengan alis terangkat sambil menggigit bibir. Kemudian, tangan kanannya menggaruk kening yang mendadak gatal.
Lambaian tangan Brian lah, yang akhirnya membuat kakinya
melangkah mendekati sebuah meja bulat dengan dua kursi berwarna putih, senada dengan cover meja dan dua balon yang diikat pada sandaran kursi tersebut.
Beberapa potong karton warna pink muda berukuran sekitar 10 x 15 cm dengan potongan bergelombang di bagian tepinya, berdiri diantara dua gelas tinggi berisi minuman berwarna merah.
Beberapa karton lain dengan warna senada, bertuliskan kata-kata motivasi singkat, doa bahagia dan kesuksesan yang semuanya diperuntukkan kepada satu nama, Nadine.
Sebuah kue ulang tahun tahun yang terdiri dari beberapa pie yang ditata apik di atas nampan putih bulat tingkat dua, dengan tepian berukir menyerupai renda. Di dekatnya, dua lilin putih berdiri tegak, mengapit sebuah karton bertuliskan Nadine 21.
Sementara itu, di belakang karton warna peach tersebut, berdiri
sebuah potongan karton yang lebih besar dengan ucapan Happy
birthday to you.
Dua vas ramping yang di atasnya bertengger rangkaian bunga berwarna pink muda, ikut meramaikan suasana meja. Sementara itu, dua ikat bunga segar yang dibiarkan tergeletak di samping peralatan makan, semakin menambah kesan romantis.
“Duduklah,” pinta Brian pada Nadine yang sedari tadi hanya berdiri di samping kursi yang sudah ditarik ke belakang oleh Brian, sebelum dia duduk di kursinya.
Nadine bergeming, tiba-tiba dadanya berdebar, matanya terasa panas dan penglihatannya sedikit kabur. Gadis itu memijat kening dengan dua jari kirinya. Brian yang dari tadi mengawasi, segera bangkit, lalu mendekat ke Nadine. Nadine mundur beberapa langkah. Namun, tubuhnya sedikit terhuyung, hingga tangannya
spontan meraih sandaran kursi yang ada di samping kanannya.
“Nad, kamu, kenapa?” Tangan Brian sudah bersiap hendak menangkap tubuh Nadine, tetapi cepat ditepis oleh gadis itu.
Rasa berat di kepala membuat Nadine terpaksa duduk, agar tubuhnya tidak terjatuh. Kedua tangan gadis itu menelungkup ke wajahnya. Brian yang masih berdiri di sampingnya, tampak panik.
“Nad, kamu, sakit? Kita ke dokter, ya.”
Gelengan Nadine membuat wajah Brian semakin bingung.
Lelaki itu beberapa kali hendak menyentuh bahu Nadine, tetapi
diurungkan. Sesekali dia mengusap rambutnya kasar, menghela
napas, dan kakinya bergerak maju mundur.
“Ok, kalo gitu, kamu minum aja dulu, ya.” Brian menyodorkan gelas berisi air putih kepada Nadine. Namun, gadis itu belum juga mengangkat wajahnya dari telapak tangan yang menutupinya.
“Nad, please, jangan bikin aku panik gini, dong. Kamu, kenapa, sih? Aku panggil bantuan, ya.” Brian membungkukkan badannya
yang tinggi dan masih berdiri di samping Nadine.
“A- aku, aku, enggak apa-apa, kok,” kilah Nadine yang kemudian mengangkat wajahnya. Sementara itu, tangannya mengusap kepalanya yang berbalut kerudung hitam.
“Yakin, kamu enggak apa-apa?” tanya Brian yang masih berdiri dengan posisi membungkuk sambil menatap lekat wajah Nadine.
“Yakin! Kamu, duduk aja,” pinta Nadine sambil memiringkan tubuhnya menjauhi Brian.
Brian segera menuju ke kursinya. Beberapa kali dia mengusap
rambutnya. “Maaf, kalo ini bikin kamu kaget dan … enggak nyaman,” ujarnya kemudian.
“Aku, cuma pengen kasih surprise buat kamu, itu aja, dan tadinya, ku pikir, kamu bakal seneng,” lanjut Brian yang lantas menaikkan alisnya.
Di seberang meja, manik coklat Nadine menatap Brian penuh selidik. Bahkan, sikap Nadine yang biasanya lembut, berubah menjadi seolah-olah sedang bersama orang yang asing baginya. ‘Ingat, Nadine. Ulang tahun ke-19 adalah awal dari sebuah malapetaka yang menimpamu,’ batin Nadine berbisik.
‘Tapi, kamu masih punya banyak potensi yang bisa diperbaiki. Tak ada alasan untuk takut lagi. Karena bisa jadi, yang kamu takutkan itu, masih berupa kemungkinan-kemungkinan. Hanya ketakutan yang berada dalam pikiranmu sendiri,’ sisi lain pada
benak Nadine ikut membisik.
‘Tapi, kamu belum tau siapa Brian yang sebenarnya. Jangan sampai kamu hancur untuk kedua kalinya, Nadine.’ Sisi lemah Nadine kembali mengingatkan.
“Kamu tidak bisa sembuh, kalau kamu masih pura-pura tidak sakit. Langkah pertama untuk menyembuh, adalah mengakui kalau diri ini butuh bantuan. Mengakui kadang menyakitkan,
tetapi perlu dilakukan. Kemudian, arahkan diri menuju pemulihan.”
Kata-kata DR. Jiemi Ardian ikut membayang di Benak Nadine.
‘Ok, ok. Aku akan hadapi ini dengan penuh kehati-hatian.’ Batin gadis itu memutuskan.
Akhirnya, Gadis itu beringsut membenahi posisi duduknya.
Sekarang ia duduk dengan posisi tegak dan wajah yang tampak serius. Gadis itu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Brian yang tengah memerhatikan gadis cantik di hadapannya, ikut menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
“Udah baikan? Syukurlah,” tanya lelaki itu yang langsung dijawabnya sendiri.
Nadine berusaha menarik dua sudut bibirnya ke belakang. Kemudian, dia meminum air putih di gelasnya hingga habis, lalu melipat kedua tangannya di atas meja.
Untuk beberapa saat, mereka saling diam. “Dari mana kamu tau kalau hari ini, aku ulang tahun?” tanya Nadine kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADINE
RomanceNadine adalah salah seorang korban perkosaan pacar. Dia sedang berusaha bangkit dari trauma saat bertemu seseorang yang diharapkan dapat menjadi cinta sejati. Namun, ayahnya berkeras menerima Evans, sang pemerkosa yang juga sadistis. Impian Nadine u...