Mama, I Love You

2 0 0
                                    

Nadine terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu mengusap dada yang berdebar sembari menarik napas dalam, kemudian megembuskanya perlahan. Setelah degup jantungnya kembali normal, dia mendekat ke arah Danar yang duduk di sofa warna merah tua.

“Maaf, Pa. Tadi, ada sedikit acara di sana,” jawab Nadine sembari duduk samping papanya.

“Harusnya tadi langsung pulang aja, kalau enggak bisa kasih kabar ke mamamu. Bikin orang sibuk aja!” sergah Razan ketus. Ekor matanya yang bergerak ke arah Nadine segera kembali televisi. 

“Iya, Pa. Maaf.” Nadine bangkit, lalu beranjak tanpa menunggu tanggapan laki-laki yang kemudian hanya memandang punggungnya dengan pandangan sengit. Sementara itu, anak gadisnya terus melangkah menuju kamarnya tanpa menoleh.

Baru saja Nadine hendak menutup pintu kamar, Danita muncul di hadapannya.

“Nadine, udah pulang?” sapa Danita yang berdiri di ambang pintu.

“Eh, Mama. Udah, Ma. Barusan, aja,” jawab Nadine. Kemudian mereka melangkah masuk.

“Maaf ya, Ma. Nadine telat, pulangnya,” pinta Nadine. Mata bulatnya memandang penuh harap ke perempuan yang duduk di sampingnya. Perempuan hampir paruh baya itu memutar badan hingga mereka yang duduk di tepi ranjang, saling berhadapan. 

“Memangnya, ada acara apa, di sana? Enggak langsung pulang? Atau karena di jalan macet?” cecar Danita yang menatap lekat anak semata wayangnya.

“Enggak apa-apa, sih. Mama cuma khawatir aja,” lanjutnya.

Nadine yang tidak menjawab, malah mengulas senyum, membuat mamanya mengerutkan dahi. “Kok, malah senyum-senyum?”

“Emmm, iya, Ma. Maaf, tadi ada temen yang kasih kejutan kecil.” Nadine tersenyum malu-malu saat menjawab pertanyaan mamanya.

Mata Danita melebar. “O, iya? Alhamdulillah. Wah, hari pertama kerja, udah langsung dapet kejutan? Asyik, dong. Hebat, anak mama.” Dua tangan Danita terulur, lalu mengusap lembut pipi Nadine yang bersih.

“Dari siapa, Sayang? Nay?” tebak Danita. Mata perempuan itu berbinar sembari dua alisnya naik. 

“Sayang, jangan bikin mama penasaran gitu, dong,” pinta Danita setelah beberapa detik menunggu jawaban, tapi Nadine hanya memutar maniknya sambil menahan senyum.

“Brian, Ma,” cetus Nadine. Alis Danita bertaut mendengar nama yang disebut oleh putrinya.

“Brian? Dia itu ....” Perempuan bersuara lembut itu sengaja menggantung kalimatnya. Kemudian Nadine menceritakan semua tentang Brian kepada Danita. Tentang pertemuan mereka semasa SMA hingga Brian menolongnya saat ada seseorang yang hendak berlaku kurang ajar padanya. Termasuk, tentang kejutan kecil yang dihadiahkan oleh Brian untuknya. 

Selama Nadine bercerita tentang Brian, mata Danita menyapu wajah cantik di hadapannya. Sesekali, maniknya menatap bibir Nadine yang mengulum senyum, lalu kembali menelisik mata
bulat putrinya yang tampak berbinar. Kemudian, senyum lebar mengembang di bibir perempuan ayu itu, seiring berakhirnya cerita Nadine tentang Brian. 

Danita menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Brian, kayaknya, orangnya asyik juga ya,” simpulnya kemudian, yang hanya dijawab dengan senyum yang dikulum oleh putrinya.

“Kapan-kapan, boleh, dong, dikenalin ke mama,” usul Danita sembari melirik genit ke Nadine.

“Emmm ....” manik Nadine beputar ke atas, lalu gadis itu bangkit dan melangkah ke meja rias. Tangannya menarik kursi bulat dari dari bagian bawah meja yang dipenuhi berbagai kosmetik dan aneka bros kecil koleksi gadis penyuka warna ungu itu.

Danita bergeming, hanya maniknya yang bergerak mengikuti tangan Nadine yang sedang melepas kerudung setelah mendaratkan tubuhnya di kursi kayu berwarna coklat. Dari posisi
duduknya, Danita bisa melihat wajah Nadine dari samping, karena
posisi ranjang yang bersebelahan dengan meja rias. Sesekali,
gadis yang masih mengenakan pakaian kerjanya itu, menatap bayangannya di kaca sembari mengulum senyum. Kemudian, tangannya tampak memegang sesuatu yang menggantung di lehernya. Danita bangkit dan menuju ke arahnya.

“Nak, bagus sekali.” Pujian dari mamanya membuat senyum Nadine mengembang, kemudian gadis itu menoleh ke mamanya yang sudah berdiri di sampingnya sambil menatap liontin yang tampak berkilau terkena cahaya.

“Ini, dari mana? Kamu, beli sendiri? Ma-maksudnya, mama baru tau kalo kamu punya kalung dengan liontin sebagus ini.”

Tubuh Danita setengah membungkuk, mendekat ke leher Nadine. Kemudian, tangannya terulur, ikut menyentuh benda berwarna perak itu.

“Emmm, ini ... Nadine dikasih temen, Ma,” pungkas Nadine yang kemudian menunduk sembari menggigit bibir.

“O, iya? Sebagus ini, dari temen? Apa mama boleh tau, dari siapa?” ekor mata Danita memindai wajah Nadine yang tampak memerah. Sementara itu, gadisnya hanya bergeming tanpa suara.

“Ya, udah,” pungkas Danita kemudian.

“Brian, Ma, dari Brian,” sergah Nadine saat mamanya kembali berdiri tegak di sampingnya.

Kedua alis Danita naik hingga matanya yang tertuju ke bayangan Nadine di kaca, ikut melebar. “Brian?” tanyanya kemudian.

Nadine mengangguk ragu, lalu gadis itu berdiri dan memutar tubuhnya ke samping hingga menghadap ke mamanya. Kemudian, gadis bermata bulat itu menggenggam tangan mamanya yang masih terpaku.

“Maaf, Ma. Mungkin, Nadine terlalu ceroboh dan buru-buru menerima Brian sebagai teman. Sebenernya tadi, Nadine udah berusaha menolak, tapi dia bersikukuh. Katanya, ini hanya tanda pertemanan. Jadi, Nadine enggak enak, mau terus nolak. Apalagi, waktu itu, dia sempet menolong Nadine. Lagian, ini juga cuma mainan, kok, Ma, bukan beneran,” papar Nadine sembari mata bulatnya menelisik ke wajah mama. Kemudian, hingga beberapa
detik, mereka saling diam.

Danita menatap lekat manik cokelat milik putrinya. Perempuan penyabar itu menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Sedetik kemudian, dia tersenyum sembari mengulurkan tangan kanannya, membelai anak rambut Nadine yang menari tertiup angin. Lantas, sebuah senyum mengembang di bibirnya.

“Sayang, kamu memang punya pilihan untuk jadi dirimu sendiri. Memilih jati diri sesuai dengan keinginanmu, serta
berhak menjadi seseorang seperti gambaran apa yang ingin kamu tanamkan pada orang lain mengenai dirimu sendiri. Kamu bahkan enggak perlu melupakan apa yang pernah kamu alami dulu, hanya untuk menjalin hubungan baru. Karena, dengan tidak melupakannya, semoga, kejadian itu tidak akan terjadi
lagi di masa depan. Hal yang perlu diperhatikan adalah, tidak menjadikan pengalaman sebagai pusat dari duniamu. Akan tetapi, menempatkan hubungan tersebut sebagai salah satu peristiwa yang patut dijadikan pelajaran.” Penjelasan Danita membuat air muka Nadine berubah semangat.

“Mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk mengganti pemikiran kamu. Jika selama ini kamu berpikiran bahwa kamu adalah seorang korban perkosaan, maka sekarang, berpikirlah bahwa meskipun kamu pernah menjadi korban perkosaan, tapi kamu tetaplah kamu. Menjadi korban perkosaan hanyalah satu bagian dalam hidup yang harus kamu ambil hikmahnya. Bukan lagi menjadi penghalang untuk menjalin hubungan baru dengan orang lain.” Danita menahan panas di pelupuk matanya, merasakan genggaman putrinya yang semakin erat. Kemudian, tangan lembut itu pun, membalasnya.

Nadine menggigit bibir, menahan butiran bening yang hampir luruh dari pelupuk matanya yang bulat. Kemudian, gadis itu menghambur ke tubuh mamanya. Tangannya mendekap erat tubuh di hadapannya, hingga sebuah suara memaksa mereka untuk saling melepaskan pelukan yang selalu menguatkan keduanya.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang