Amarah

0 0 0
                                    

Usai salat, Nadine dan Bude Sum kembali ke ruang tamu. Kemudian Bude Sum menceritakan semua kejadian yang baru saja dialami olehnya bersama Nadine, kepada Brian.

Bude Sum juga menceritakan tentang papanya Nadine yang tadi menyuruhnya pergi dan melarang Bude Sum kembali sebelum Evans pergi dari rumah mereka. Mamanya Nadine menyuruh Bude Sum untuk mengikuti perintah suaminya, tetapi memintanya segera kembali setelah dia dan papanya Nadine pergi. Danita juga berpesan kepada Bude Sum agar mengawasi Evans dan Nadine karena dia khawatir Evans berbuat sesuatu terhadap putri semata wayangnya itu.

Akhirnya, bude Sum hanya pergi ke warung dekat rumah Nadine. Waktu Bude Sum kembali ke rumah Nadine dan hendak masuk melalui garasi yang ada di samping rumah, dia mendengar jeritan Nadine yang berasal dari ruang tamu. Kemudian, Bude Sum mengintip melalui kaca jendela samping dan melihat Evans sedang membekap Nadine di dinding samping pintu.

Bude Sum lantas mencari benda apa saja yang bisa digunakan untuk memukul. Setelah menemukan sebuah balok yang tergeletak di samping garasi, Bude Sum segera masuk melalui pintu samping, lalu menuju ruang tamu. Kemudian dia memukul punggung Evans dari belakang dengan balok tersebut.

Nadine terkesiap mendengar penuturan Bude Sum tentang papanya yang menyuruh perempuan paruh baya itu pergi dan melarangnya kembali sebelum Evans pergi dari rumahnya. Alis gadis itu bertaut seiring terdengar bunyi gemeretak dari giginya. Sementara itu, Brian berkali-kali menyipitkan matanya. Sesekali lelaki itu menggelengkan kepala sembari mendecih, lalu menarik napas berat yang kemudian dibuangnya kasar.

Sembari mendengarkan cerita Bude Sum, sesekali mata Brian memindai Nadine yang tampak lelah, duduk di samping bude Sum. Dari tadi, Nadine hanya diam dan seperti sengaja menjaga jarak dengannya. Namun, Brian yakin, Nadine tidak hanya lelah,
tetapi juga letih dengan beban jiwanya. Gadis itu menyimpan banyak cerita menyakitkan lain yang belum dia ketahui semuanya. Ada rasa yang membuat tangannya mengepal kuat, dan untuk beberapa saat, mereka semua terdiam.

“Nad, are you ok?” Brian menatap lembut kepada Nadine.

Nadine hanya mengangguk pelan sembari memaksa tersenyum. Melihat pemandangan di depannya, batin Brian meronta ingin memeluk erat gadis itu untuk memberikan kekuatan padanya. Namun, dia merasa belum mempunyai hak untuk itu.

Suara klakson mobil di halaman rumah Bude Sum mengagetkan mereka, terutama Nadine dan Bude Sum. Melihat wajah dua perempuan di depannya mendadak pucat, Brian sigap berdiri, lalu melangkah ke pintu yang setengah terbuka. Sebuah mobil Pajero hitam terparkir di samping mobil Brian, lalu seorang lelaki berbadan tinggi besar melangkah cepat ke arahnya.

“Om,” sapa Brian pada lelaki itu.

“Siapa, kamu? Minggir!” Mata sinis lelaki berkumis itu menatap Brian yang berdiri di ambang pintu. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, dia langsung menerobos masuk.

Nadine dan Bude Sum saling pandang saat mengetahui siapa yang datang. Belum sempat keduanya berpikir apapun, tangan besar Razan sudah menyambar pergelangan Nadine, lalu menarik gadis itu dan menyeretnya keluar. “Pulang, kamu!” bentaknya
penuh amarah.

“Ta- tapi, Pa ....” Nadine menghentakkan tangannya, berusaha melepaskan pegangan Razan. Namun, genggaman Razan terlalu kuat bagi Nadine. Lelaki itu terus menyeret putrinya hingga gadis itu terpaksa mengikuti langkah cepatnya.

Brian yang hendak mendekat langsung mendapat bentakan dari Razan sebelum sempat melakukan apa pun untuk menolong Nadine.

“Jangan ikut campur! Awas kamu, ya!” ancam Razan sembari menunjuk ke arah Brian.

“Udah, Mas. Jangan.” Larangan Bude Sum menghentikan langkah Brian yang hendak menyusul Nadine dan papanya.

Gadis yang baru saja melewatinya itu masih menoleh ke arahnya dengan tatapan sendu.

Brian sangat ingin menolong Nadine, menarik tangan itu untuk mengambilnya dari lelaki kasar yang disebut Papa oleh Nadine. Namun, akhirnya, lelaki berkulit putih itu hanya berdiri mematung sembari menatap ke arah mereka yang berjalan keluar dari rumah Bude Sum.

Langkah Razan terhenti sesaat sebelum melewati pintu, lalu lelaki itu menoleh ke arah Bude Sum. “Kamu juga ikut!” bentaknya kasar.

Bude Sum tergagap, lalu setengah berlari perempuan itu bergegas mengikuti mereka yang sudah berada di luar rumah.

“Masuk!” perintah Razan ke Nadine setelah mereka sampai ke mobil. Bude Sum yang mendapati Razan melirik ke arahnya, segera menyusul Nadine naik ke mobil, kemudian duduk di samping gadis itu.

Brian menutup pintu rumah bude Sum, lalu menguncinya dan meletakkan anak kunci itu di bawah pot, tempat Bude Sum mengambilnya tadi. Mungkin, saking panik dan takutnya,
Bude Sum sampai lupa pada urusan pintu rumahnya. Setelah menyimpan anak kunci, laki-laki bertubuh tinggi itu segera menuju ke mobilnya, lalu menyusul mobil Pajero yang dikendarai Razan.

Selama di perjalanan, tidak ada satu pun suara yang keluar dari ketiganya. Nadine dan Bude Sum yang duduk di kursi tengah, hanya sesekali saling pandang sembari menghela napas berat. Beberapa kali perempuan yang sudah menganggap Nadine seperti anaknya sendiri itu, mengusap lembut bahu di sampingnya.

Rupanya, setelah Nadine pergi dengan Bude Sum, Evans menelpon Razan dan memintanya untuk pulang karena telah terjadi sesuatu di rumah mereka. Razan dan Danita yang saat itu berada di gudang, segera pulang setelah menerima kabar dari Evans.

Setelah Razan dan istrinya sampai di rumah, Evans yang sedang duduk lesu di kursi tamu, lalu menceritakan tentang kejadian sial yang baru saja menimpanya. Dia mengatakan ke Razan dan Danita bahwa Nadine pergi meninggalkannya begitu saja, setelah
menolak cincin pemberiannya. Tidak hanya itu, sebelum pergi, Nadine juga marah-marah dan mencaci maki Evans. Gadis itu bahkan membuang cincin berlian yang Evans hadiahkan padanya sebagai kado ulang tahun. Sewaktu Evans ingin menyematkan cincin itu di jari Nadine, Nadine malah merebutnya, lalu melempar cincin itu hingga hilang entah kemana. Nadine juga membanting gelas yang berisi minuman untuk Evans dengan alasan yang tidak jelas. Kemudian, gadis itu pergi dengan Bude Sum entah kemana.

Berdasarkan cerita Evans itulah, Razan akhirnya memutuskan untuk mencari Nadine ke rumah Bude Sum, dan ternyata benar, mereka ada di sana. Tadinya, Danita bersikukuh ingin ikut mencari Nadine dan Bude Sum, tetapi kemarahan Razan akhirnya membuat
Danita mengalah untuk tetap di rumah.

Sesampainya di rumah, Razan marah besar kepada Nadine dan Bude Sum. Bude Sum memberanikan diri untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya, tetapi malah membuat Razan semakin marah. “Ah, itu hanya akal-akalan kalian saja!” Muka dan mata Razan memerah.

“Enggak, Pak. Saya berani sumpah demi Allah. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Untung tadi ada Mas Brian yang kebetulan lewat dan mau nolongin kita, kalo enggak ada dia, enggak tau deh, nasib kita bakal gimana,” jelas Bude Sum dengan wajah serius.

Razan menatap tajam Bude Sum yang duduk bersimpuh di karpet. Alisnya bertaut saat dia berusaha mengingat pemuda yang ada di rumah Bude Sum. “Oh, jadi anak sok pahlawan itu namanya Brian? Siapa dia Berani-beraninya ikut campur urusanku!” makinya sambil menatap sinis ke Bude Sum dan Nadine.

“Tapi, Pa. Bisa jadi kan, apa yang dikatakan Bude Sum itu benar,” ujar Danita yang duduk di samping suaminya.

“Ah, diam kamu!” Razan membentak Danita yang berusaha membela Bude Sum.

“Lagian, siapa yang menyuruhmu pulang, ha? Siapa?” Danar menatap garang Bude Sum, lalu menggebrak meja kaca yang ada di hadapannya.

“Aku, Pa. Aku yang menyuruh Bude Sum pulang,” sela Danita setelah melihat raut ketakutan di wajah Bude Sum.

Mendengar perkataan istrinya, Razan menoleh cepat ke Danita, lalu mengangkat tangan kemudian menampar istrinya hingga perempuan itu terpental ke sandaran sofa. “Dasar istri tidak tau diri!” makinya.

“Ma!” pekik Nadine sembari bergegas mendekati mamanya. Gadis itu memeluk tubuh perempuan yang sangat disayanginya itu. Bude Sum yang juga ikut berteriak, sontak berdiri sambil menatap khawatir ke arah Danita yang memegangi pipinya yang
memerah.

“Ini salah saya, Pak. Bukan Ibu yang salah. Saya mohon, jangan pukul Ibu.” Bude Sum memohon kepada Razan. Namun, Razan tidak acuh dengan pernyataan perempuan paruh baya yang kemudian duduk bersimpuh di dekat kakinya. Lelaki bertubuh tinggi besar itumenatap sinis Bude Sum yang menangkupkan kedua tangannya di
depan dada seperti orang menyembah.

“Pergi, kamu, dari sini! Pergi!” Razan berdiri angkuh sambil berkacak pinggang.

“Udah, Bude, bangun! Bude enggak salah.” teriak Nadine kepada Bude Sum yang masih bersimpuh di dekat kaki papanya.

“Udah, Pa. Udah! Bude Sum memang enggak salah, karena mama yang menyuruhnya. Jadi, Papa enggak seharusnya mengusir Bude Sum dari sini. Lagian, bude Sum udah lama di sini, enggak semestinya Papa berlaku seperti itu ke Bude Sum.” Suara Danita bercampur dengan tangisan. Perempuan itu bangkit dan berdiri di
samping suaminya.

Razan menoleh ke istrinya, lalu menyeringai. “Oh, udah mulai
berani membantah, kamu, ya?” Danar menaikkan dagu sambil menatap nanar istrinya.

“Kalo enggak suka, kamu bisa ikut pergi dari sini. Kalian bertiga, bisa pergi semua dari sini!” Mata merah Razan melotot saat memindai istrinya, lalu ke Nadine dan juga Bude Sum secara bergantian.

“Hah! Kalian semua bikin pusing, aja!” Lelaki berkulit cokelat itu mengusap kasar rambutnya, kemudian berlalu menuju kamarnya. Danita, Nadine dan Bude Sum hanya saling pandang dalam diam.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang