Diriku Milikku

17 0 0
                                    

Beberapa kali Danita mengetuk pintu kamar Nadine, tetapi pintu itu tidak juga terbuka. Si gadis hanya menjawab panggilan mamanya dengan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Akhirnya, Danita membiarkan Nadine sendiri untuk beberapa saat.

Benda pipih di meja yang ada di samping Nadine bergetar beberapa kali. Layar benda itu menyala saat ada notifikasi pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. Tante Elvina, sebuah nama tertera di layar. Nadine mengambil benda itu, lalu mengusap permukaannya untuk membuka kunci layar.

[Hai, Nadine. Apa kabar?] Emot gambar hati berwarna ungu.

[Enggak baik, Tante.] 

[Kebetulan, tante lagi santai, nih. Kalo mau, boleh cerita.] Gif gambar orang berpelukan.

Lincah, jari Nadine menari di atas huruf-huruf kecil berwarna hitam. Sesekali wajahnya tampak marah. Kadang, tatapannya berubah kosong, lalu matanya kembali ke layar gawai yang terus menyala. 

Hampir satu jam, benda pipih berwarna putih itu berada dalam genggamannya hingga pesan terakhir dari si pengirim muncul dan langsung mendapat dua tanda ceklis berwarna biru.

[Orang yang paling mencintai kita adalah diri kita sendiri. Begitupun orang yang paling jahat terhadap kita adalah diri kita sendiri. Tante yakin, kamu adalah pemilik dirimu yang sangat mencintai apa yang kamu miliki, dan kamu tidak akan membiarkan orang lain merampas milikmu. Love you.] Tiga buah gambar hati berwarna ungu.

[Iya, Tante. Thanks for your love and your support. Love you too.]

Nadine menarik napas panjang, menahannya, lalu mengembuskan perlahan. Dia berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, lalu gadis itu berdiri, meregangkan kedua tangannya ke atas dengan jemari saling bertaut. Sekali lagi, dia menghela napas panjang. 

"Ma." Nadine menyentuh bahu Danita yang sedang duduk di kursi makan. Perempuan berhidung mancung itu menoleh, lalu membalas senyum putrinya.

Di seberang meja, Razan sedang menyantap makan malamnya. Pria berkumis itu memandang sekilas ke arah Nadine. 

"Pa," sapa Nadine yang juga menatap papanya. Dia buru-buru berusaha tersenyum, tetapi tak berbalas.

"Hmmm, makan," sahut Razan sembari mengangkat dagunya, kemudian kembali melanjutkan makannya. Nadine tertegun menatap laki-laki berbaju biru yang seperti tidak peduli sama sekali dengan kedatangan Nadine. Dia tetap asyik menyantap makanan yang dihidangkan oleh istrinya. 

"Sayang, kita makan, yuk." Ajakan Danita membuat Nadie terkesiap, lalu gadis itu buru-buru mengangguk untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Mama belum makan?" tanya Nadine sambil menarik kursi di samping mamanya dan segera duduk.

"Tadi, mama belum lapar. Jadi, sekalian nunggu kamu," dalih Danita yang tersenyum sambil terus memandang putrinya semata wayangnya.

Di seberang meja, Razan mengakhiri makan malamnya dengan melahap beberapa buah pisang yang ada di ujung meja, lalu dia melangkah meninggalkan dua perempuan yang baru akan menyantap makan malam mereka. 

"Tadi aku ketemu ...." Nadine menghentikan ucapannya.

Seketika, Danita menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap. Dia menatap lekat manik cokelat putrinya dan sengaja menunggu hingga Nadine melanjutkan kalimatnya. 

"-Evans." sambung Nadine pendek.

Suara denting sendok jatuh ke piring terdengar. Danita yang tersedak segera meraih gelas berisi air putih di dekatnya, lalu meminumnya. Tangan kirinya mengusap dada beberapa kali untuk menenangkan diri sendiri, lalu perempuan itu menajamkan tatapannya kepada Nadine. "Terus?"

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang