Berusaha Menyembuh

3 0 0
                                    

Nadine mengenakan baju model kebaya brokat lengan panjang yang dimodifikasi, yaitu paduan brokat dengan kain satin. Warna soft ungu, membuat gadis penyuka warna itu terlihat fresh dan manis. Brokat pada bagian atas membentuk seperti sayap dan bawahannya yang berbahan satin berbentuk seperti duyung. Badan Nadine yang padat berisi jadi terlihat lebih ramping. Kerudung segi empat berwarna senada, membungkus wajah bulatnya yang di make up minimalis oleh mamanya. Kedua ujungnya dililitkan di leher, sehingga memberikan kesan simple dan rapi.

Siang ini, Nadine diajak oleh Danita untuk menghadiri pesta pernikahan anak pak Agam, seorang pengusaha kayu yang dijuluki sebagai Raja Kayu. Pesta itu diadakan di The Dome of Harvest Bintaro, gedung pernikahan yang biasa digunakan untuk menggelar pesta pernikahan bergaya mewah. 
Konsep pernikahan yang didominasi warna putih itu, terlihat menawan di bawah atap berbentuk lingkaran yang cukup besar menyerupai Dome megah yang berada tepat di tengah ballroom. Tampilan spektakuler bergaya eksklusif dan elegan. Meja-meja bulat bercover putih yang dikelilingi kursi berwarna senada, membuat pesta ini semakin tampak istimewa. 

Hiasan bunga-bunga yang juga berwarna putih diletakkan di lantai dan menjalar pada ranting pohon sintetis, membuat ruang pesta terlihat lebih manis dan hangat. Photo booth unik dengan background blackboard bertuliskan Shinta & Andre, bersandar pada dinding bertirai putih yang dihiasi ranting di kanan kirinya. 
Beberapa nama anggota keluarga dengan ukuran huruf lebih kecil juga tampak menghiasi papan hitam berukuran besar tersebut. Di atasnya tampak lampu tumbler berwarna lavender, ikut meramaikan suasana pesta. 

Setelah mengisi buku tamu dan memasukkan amplop ke kotak sumbangan, mereka mendapatkan souvenir. Setelah itu, mereka menuju pelaminan untuk bersalaman dengan pengantin dan kedua keluarga guna memberikan ucapan selamat. Setelah itu, ketiganya ikut mengantri di meja prasmanan. Set meja di bagian tengah yang masih kosong, menjadi tempat pilihan mereka untuk menikmati hidangan. 

Beberapa saat setelah Razan menghabiskan makan siangnya, dari meja yang ada di bagian depan, tampak seseorang berdiri dan melambaikan tangan kepadanya. Pria itu bangkit, lalu melangkah untuk menghampiri orang tersebut. Sementara Danita dan Nadine memilih tetap berada di tempatnya.

“Hai,” sapa seorang laki-laki kepada Nadine. Dia mengenakan jas warna abu-abu dengan model simpel yang melapisi kaos warna putih berkerah segitiga, dipadu dengan celana katun warna hitam dan sepatu sneaker berwarna abu-abu tua. Penampilannya tampak resmi, tetapi santai dan kekinian. Entah dari mana dia muncul, tetapi tiba-tiba sudah berdiri di samping kursi yang diduduki Nadine.
Nadine mengangkat wajah untuk menatap pemilik suara itu. Beberapa detik tatapan mereka beradu. Bahkan, Nadine sempat menyapu wajah lelaki itu dengan manik cokelatnya. Mata sipit, hidung mancung, manik cokelat tua dan rahang tegas serta rambut ikal yang disisir rapi ke samping, membuat lelaki berbadan atletis itu tampak sempurna. 

Saat tersadar, Nadine buru-buru mengalihkan perhatiannya sambil menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah mencari seseorang. Namun, tidak ada orang lain yang berada meja yang sama dengan Nadine. Satu menit yang lalu, Danita pamit kepada Nadine, hendak ke kamar kecil dan belum kembali hingga sekarang.

     “Aku?” Nadine menunjuk diri sambil melebarkan matanya hingga membulat. Lelaki bermata sipit itu tidak segera menjawab. Dia malah asyik memandangi Nadine yang memang terlihat sangat cantik dengan makeup minimalis polesan mamanya. Gadis itu sampai gugup dan salah tingkah ketika laki-laki berkulit putih itu mengembangkan senyum di bibir tipisnya yang merona.

Di sisi lain, Razan sudah bergabung di meja besar bersama orang yang tadi memanggilnya. Awalnya, setelah sampai di meja itu, Razan ingin berbalik dan kembali ke mejanya. Namun, suasana pesta yang dihadiri banyak tamu undangan, membuat Razan terpaksa tinggal. Beberapa kali, laki-laki yang mengenakan setelan batik berwarna cokelat kombinasi hitam dan kuning itu menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya. 
Edwin, pengusaha kayu yang sudah cukup lama dikenal olehnya, duduk bersama beberapa orang yang salah satunya membuat jantung Razan berdebar. Evans, Pemuda itu sedang asyik berbincang dengan anak laki-laki Edwin yang seumuran dengannya. Akan tetapi, tidak tampak satupun orang tuanya di sana.

“Kenalin, anakku, dan anak Pak Daniel. Pengusaha salah satu taksi terbesar di sini.” Edwin mengenalkan anaknya dan Evans kepada Razan. Kemudian, kedua pemuda itu bergantian menjabat dan mencium tangan Razan. Razan berusaha tersenyum.

“Ah, Om bisa saja,” sangkal Evans berlagak malu-malu. Edwin hanya tertawa melihat tingkah Evans.

“Dia mewakili Ayahnya yang kebetulan tidak bisa datang,” ujar Edwin mewakili Evans. Razan mengangguk-angguk tanda mengerti. Ekor matanya sesekali mengarah ke Evans yang kadang juga melirik ke arahnya.

“O iya, Anak dan istrimu, mana? Apa mereka enggak ikut?” tanya Edwin celingukan, setelah sekian lama mereka mengobrol. 

“Ikut, ada di meja sebelah sana. Tadi, mereka belum selesai makan,” jawab Razan sambil melirik ke arah Evans. Tatapan mereka bertemu karena kebetulan Evans juga sedang melihat ke arahnya. Evans sedikit gugup, lalu mengalihkan pandangannya jauh ke arah lain. 

Lelaki yang mengenakan kemeja batik hampir senada dengan Razan itu menautkan alisnya saat melihat seorang laki-laki duduk bersama Nadine yang kebetulan menghadap ke arahnya. Mereka tampak berbincang-bincang akrab. Sesekali, lelaki yang hanya tampak punggungnya itu menoleh ke arah Nadine sambil tertawa lepas. Sementara gadis yang dicintainya juga memandang ke arah lelaki itu, lalu menunduk. Evans bergeming dengan tatapannya yang semakin dingin. 

Cukup lama mereka mengobrol, lalu lelaki bangkit dan pergi sebelum Danita datang kembali ke meja itu. Razan yang pamit untuk kembali ke mejanya, membuat Evans terkesiap, lalu segera mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang membuat jantungnya berdebar. 

Nadine dan Danita sudah selesai makan saat Razan sampai di san. Lelaki berkumis itu hanya menatap istri dan anaknya bergantian saat menyadari mereka berdua sengaja menghentikan pembicaraan saat dia datang. Kemudian, lelaki itu mengajak mereka untuk pulang. 

Dari salah satu meja besar yang ada di sudut depan dan berjarak beberapa meja dari mereka, tampak sepasang mata mengawasi dan mengikuti punggung Nadine yang menjauh ke arah pintu keluar. 

Pajero hitam melaju dengan kecepatan sedang membelah keramain kota. Lalu lintas di jalan utama mulai mengalami kemacetan di waktu seperti sekarang, pukul 15.00. 

“Tadi papa ketemu Evans.” Suara Razan datar, membuat Nadine dan Danita kaget. Danita menoleh, sengaja ingin mengetahui reaksi Nadine. Gadis itu membalas tatapan mamanya, lalu berusaha tersenyum sambil mengangguk, bermaksud memberi kode kepada wanita itu bahwa dia baik-baik saja. Meskipun, mendadak jantungnya berdebar. 

Razan menatap bayangan putrinya melalui kaca spion yang ada di depannya. Kemudian, lelaki itu melanjutkan ucapannya setelah mendapati Nadine seolah biasa saja.

“Dia datang mewakili ayahnya yang berhalangan. Ternyata, ayahnya pengusaha salah taksi terbesar di sini,” ujar Razan, lalu melirik ke arah istrinya.

Danita menatap ke arah suaminya yang tampak tenang menceritakan pertemuannya dengan laki-laki yang telah menghancurkan hidup putri semata wayang mereka.

Di kursi belakang, Nadine bergeming dengan rahang bulatnya yang tampak kaku. Tangan gadis itu saling bertaut dan memainkan jemarinya. Dada gadis itu bergemuruh dan matanya  tampak memerah.

***

Kamu tidak bisa sembuh kalau kamu masih pura-pura tidak sakit, karena langkah pertama untuk menyembuh adalah mengakui bahwa diri memang merasa sakit membutuhkan bantuan. Meskipun, mengakui kadang memang menyakitkan, tetapi itulah yang perlu dilakukan. Setelah itu, arahkan diri. menuju pemulihan.

NADINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang