Apakah Anda Melihat Kekasihku?

30 4 0
                                    

Maaf, apakah Anda melihat kekasihku?

Badannya tinggi langsing semampai. Dia menelengkan kepalanya ke samping saat memandang wajah Anda. Raut mukanya merupakan mosaik karya seni klasik: mata yang bulat besar, mulut yang mungil kecil. Rambutnya merah saga tergerai ujungnya semakin merah cerah meruncing. Alami, bukan pewarnaan. Aku belum pernah melihat rambutnya jatuh atau panjangnya bertambah. Dia tidak cantik, namun wajahnya tak mungkin Anda lupakan, jenis yang Anda akan menoleh dan mengintip pada saat Anda berpikir bahwa matanya tak melihat Anda. Dia mempesona.

Pertama kali aku bertemu dengannya di lampu merah jalan lingkar luar kota. Roda mobilku mendecit karena terburu-buru untuk segera tiba di rumah. Dia berdiri membungkuk dalam hujan di pinggir jalan, bingung, seakan kehilangan. Aku menurunkan kaca jendela dan bertanya apakah ia membutuhkan tumpangan. Dia mengangkat bahu dan menghenyakkan pantatnya ke kursi penumpang. Dia kembali mengangkat bahu saat kutanya tujuannya.

"Aku baru tiba di sini," jawabnya.

Sesuatu tentang dirinya membuatku berkata:

"Kamu dapat tinggal di tempatku."

Dia tersenyum setuju, seulas senyum yang tak pernah kutemukan di bibir manusia.

Aku meminjamkan t-shirt dan celana yang sedikit kepanjangan untuk menggantikan pakaiannya yang basah. Dia keluar dari kamar mandi, pakaiannya telah berganti. T-shirt yang dikenakannya terbalik, yang justru membuatnya makin menarik. Maka aku diam saja.

Aku mengijinkannya tinggal selama dia mau. Dia hanya mengangkat bahu.

"Aku hanya berkunjung," tuturnya.

Namun dia tinggal bersamaku, dan hadirnya memberi nuansa baru dalam irama hidupku.

Suatu malam kami naik ke atap apartemen dan berbaring di atas selimut, menatap langit malam yang bersih tak ternoda awan. Dia menunjuk bintang-bintang dan memberitahuku nama-namanya: nama-nama asing yang belum pernah kudengar. Dia memberitahuku kisah cinta yang melahirkan penamaan bintang-bintang.

"Di sana ada dunia taman yang mengorbit salah satu bintang. Terdapat bunga berwarna merah sebesar kepala yang melayang menari dibawa angin. Kediaman makhluk kekanak-kanakan yang dijaga para setengah dewa."

Aku mendengarkan dongengnya, telapak tanganku menelusuri kulit pucat lengannya hingga jari-jari rampingnya terjalin dengan milikku.

"Dari mana kamu berasal?" aku bertanya.

"Dari sana."

Dia menunjuk ke bintang lain dan berkisah tentang pengembara resah gelisah yang pernah tinggal di sana.

Dia terus bercerita hingga akhirnya tertidur di sisiku. Harum kulitnya seperti aroma kayu manis menguar ke hidungku, menyegarkan dalam kegelapan.

"Aku menyukai kesederhanaan," igaunya. "Aku berharap bisa tinggal."

Ketika dia terjaga, aku bertanya apa maksud racauannya dalam tidur itu, dia melihatku dengan pupil mata lembayung sempurna dan mengangkat bahu, menutup mata dan tertidur lagi, membiarkanku menikmati denyut nadinya menari perlahan di jenjang lehernya.

Kebiasaannya memukauku. Dia menggigit makanannya seolah-olah setiap rasa akan memberikan sensasi baru. Dia berhenti untuk membaui setiap benda di dalam toko serba ada. Setiap malam memandang langit untuk menemukan, dan tampak sedih ketika awan menghalangi bintang yang jauh. Aku akan menarik kepalanya ke bahu dan mendendangkan perlahan lagu lawas di telinganya sampai dia tertidur.

Dia misteri yang berusaha kupecahkan, selalu berharap untuk membongkar rahasianya. Dia tahu unsur-unsur pembentuk makanan yang sedang dikunyah, udara yang mengisi paru-paru. Dia tahu bagaimana kerjanya televisi, cuaca, pesawat ruang angkasa dan satelit mata-mata. Tapi dia tak ingat nama presiden atau ibukota. Dia akan mengangkat bahu dan bernyanyi mengikuti lagu dari televisi. Dia menambahkan nada di antara nada-nada dengan cara yang menggetarkan sanubari membuat hati menggigil.

Hal-hal kecil mempesonanya, kejadian sehari-hari yang lupa kita perhatikan. Putik bunga putri malu. Rerumputan merunduk mengejar matahari. Kabut turun gunung bergulung memendarkan cahaya lampu jalanan. Orkestra jangrik sumbang menjelang dini hari.

Dia tidak pernah menangis, atau tertawa tergelak-gelak. Aku belajar mengenali emosinya dengan berjalan waktu: merasakan kegembiraan, marah, atau ketika dia lelah.

Seminggu yang lalu, matanya menjadi gelap dan aura suasana hatinya berubah melankolis.

"Ada apa?" Aku menggenggam tangannya.

"Apakah aku membuatmu bersedih?"

Dia mengangkat bahu, tersenyum padaku. Jemarinya lentik dingin menelusuri garis pipiku.

"Kamu adalah alasan mengapa aku ada di sini," bisiknya. Diraihnya tanganku dan menarikku ke luar.

Kami berjalan di taman, bermandikan cahaya bintang. Dia mengumpulkan daun-daun yang jatuh.

"Sebagai kenangan," katanya.

Pagi ini aku terbangun sendirian.

Sebuah T-shirt terbalik terlipat rapi di samping bantal. Aroma kayu manisnya takkan pernah hilang.

Makanya kini aku menyusuri kota, menatap setiap wajah di sepanjang jalan. Tak satu pun adalah dia. Tak satu pun menyerupai dia.

Aku tak ingat bagaimana hidupku sebelum dia. Mungkin dia asing bagi Anda, tapi tidak pernah ada yang membuatku merasa lebih manusiawi dibandingkan dia.

Apakah Anda melihatnya?

Bandung, 29 Januari 2017

2045 (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang