Illuminati

23 3 0
                                    

"Akhirnya aku berhasil menemukan rumus yang meramalkan kapan dan di mana bencana akan terjadi, ma cherie!"

Estelle menghela nafas panjang. Ia membalikkan badannya, menuju meja kabinet besar dan mematikan rokoknya ke dalam asbak.

"Jangan berkhayal, Lucien," ujarnya menatap lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu.

Lucien jelas sedang kacau. Kumis dan jenggotnya tak beraturan seperti semak belukar di musim gugur. Rambut ikal merah tembaga yang biasa tersisir rapi kini kusut masai. Bahkan kancing bajunya meleset satu lubang, dan itupun hanya dua kancing yang masuk ke dalam lubang kancing.

Lucien bangkit dari sofa panjang antik era Louis ke 16 abad 18 yang masih terawat dengan baik. Hampir saja ia terjatuh karena tersandung ujung permadani Persia tebal, tapi segera mendapatkan keseimbangan kembali, dan MacBook titaniumnya masih dipegang erat-erat dengan kedua tangannya.

Mon Dieu! Betapa kikuknya jenius-tersayangku ini, Estelle menggelengkan kepala.

"Lihat lah ini," dia menyorongkan notebook tersebut ke wajah Estelle, nyaris menyodok hidung Estelle yang mancung seperti paruh rajawali. Layar monitor menampilkan bola dunia tiga dimensi yang berputar perlahan. Di permukaan bola dunia beberapa balon dialog warna-warni merah-kuning-hitam bermunculan bertuliskan nama tempat dan tanggal.

"Aku tak mengerti..... Apa maksudnya ini?" Estelle menyentuh sebuah kotak dialog berwarna hitam dengan tulisan warna merah. Paris, Vendredi 13 Novembre 2015.

"Catastrophe, mon amour. Bencana besar!" Lucien menggerak-gerakkan tangannya, kebiasaannya jika sedang bersemangat atau sedang panik. Atau keduanya.

"Bencana seperti apa?"

Nada ragu dari Estelle membuat Lucien makin cepat mengayunkan tangannya kian kemari, tanpa kata-kata kecuali bunyi tanpa makna.

"Tarik nafas dalam-dalam, sayang. Baiklah... Aku percaya akan terjadi bencana, apapun itu. Tapi tenangkan dirimu terlebih dulu," Estelle menggenggam tangan Lucien hingga akhirnya ia tenang dan nafasnya yang tadi menggebu menjadi normal kembali.

"Kita harus melaporkannya ke Préfecture, National Police, DGSE, Perdana Menteri, Uni Ero— "

"Sabar, sayang... Sebaiknya pastikan lagi bahwa kalkulasimu benar."

"Tapi Paris dalam bahaya besar! Kita tak boleh—"

"Masih ada waktu seminggu," potong Estelle tak sabar.

"Pergilah ke pondokku di Magny-le-Hongre. Aku segera menyusul," kata Estelle sambil membuka laci meja cabinet dan mengambil kunci pondoknya.

"Mengapa kita tak pergi bersama?" tanya Lucien bingung.

"Aku harus ke Delphine Manivet, sayang. kamu ingat 'kan, gaun pengantin yang ku pesan? Apapun yang terjadi, aku tak mau pernikahan kita gagal," kata Estelle sambil menyerahkan kunci pondok. Ia memberi Lucien french kiss yang lama dan bergairah.

"Pergilah," katanya setelah berhasil mengendalikan diri. Lucien yang masih bengong menatap wajah Estelle dengan pandangan khawatir penuh cinta.

"Segera susul aku," ujarnya menyerah. Lucien tahu ia tak bisa memaksa Estelle.

Setelah Lucien menghilang dari balik pintu, Estelle menatap jendela besar yang mengarah ke Menara Eiffel yang tegak dengan angkuhnya. Sungai Seine memantulkan kilau cahaya matahari laksana berlian yang mengalir perlahan, tak peduli dengan romansa yang terjadi di tepinya.

Estelle menghela nafas panjang. Satu balon dialog berwarna kuning dengan tulisan hitam pada layar MacBook Lucien tadi tak luput dari matanya. Beirut, Vendredi 13 Novembre 2015. Ia tahu apa yang akan terjadi di Beirut tanggal itu.

2045 (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang