Jodoh Masa Depan

240 18 0
                                    

Jangan menoleh, kata hatiku.

Saat ini aku sedang duduk dekat jendela di kafe pustaka, membaca novel Hitman Anders and the Meaning of It All karya Jonas Jonasson. Aku tak boleh menatap gadis di luar sana, karena dia adalah istriku. Sekarang belum, tapi nanti sepuluh tahun lagi.

Aku mampu melihat masa depan seseorang. Jika aku tak terlibat dengan orang tersebut, maka masa depan yang kulihat akan terjadi dengan sewajarnya. Tapi jika aku ikut mencampuri garis takdir, maka masa depan orang tersebut—dan juga masa depanku—akan berubah.

Bukan sekali dua aku mengalami peristiwa ganjil, terpaku bengong dimaki-maki gadis yang tak kukenal. Sekarang aku menyadari apa yang telah terjadi: dalam peristiwa-peristiwa tersebut, aku melihat jodohku—atau seharusnya menjadi jodohku—di masa depan dan berkata jujur pada mereka. Gadis normal manapun akan menganggap seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami masa depannya sebagai orang sinting.

Maka gadis di seberang jalan kafe pustaka itu tak boleh mengenalku sekarang. Belum waktunya. Tapi aku bisa melihat dia menyeberang jalan dan menuju mejaku. Terjadi empat menit sembilan belas detik kemudian.

"Hai," sapanya.

Aku membenamkan kepalaku dalam halaman-halaman novel. Tapi aku segera sadar, dia akan menganggapku orang sombong, dan kesempatan untuk mengenalnya di masa depan akan hilang. Padahal kami berdua menikmati bulan madu yang menyenangkan—

"Maaf, aku telah mengganggumu. Aku memperhatikanmu dari seberang jalan dan ingin tahu buku apa yang kamu baca dengan begitu serius," katanya sembari beranjak pergi.

"Maya, tunggu! Hitman Anders and the Meaning of It All karya Jonas—"

"Dari mana kamu tahu namaku?" Dia berbalik. Keningnya berkerut.

Aku menatap wajahnya. Wajah pertama yang selalu kulihat setiap bangun pagi dan wajah terakhir yang kutatap sebelum terlelap malam hari. Bukan wajah gadis remaja yang berdiri mendelik saat ini, tapi versi wanita dewasa hingga rentanya.

Aku bukan pembohong. Aku tak pintar berbohong.

Bahkan saat ini dadaku sakit melihat dia terbaring di ranjang rumah sakit, dikelilingi anak-anak, menantu dan cucu-cucu. Aku menggenggam tangannya—

"Aku bisa melihat masa depan. Kita akan menjadi pasangan kelak. Kau dan aku akan menikah, mempunyai dua orang anak—"

"Kau sakit! Kukira kamu cowok yang tidak akan menggombali gadis dengan kata-kata seperti itu!"

Siapa gadis ini? Mengapa dia marah-marah padaku? Kenalpun tidak!

"Apa maksudmu, nona?"

"Tadi kamu mengatakan sesuatu yang membuatku marah!" Dia masih mendelik.

"Maaf, nona. Aku sedang membaca buku ini dan tiba-tiba Anda marah-marah. Saya tidak mengenal Anda."

"Kamu tidak tahu namaku?"

"Siapa Anda?" tanyaku penasaran. Rasanya aku pernah melihatnya, tapi lupa di mana. Ada sesuatu tentang dia yang seakan melekat dalam benakku.

"Maaf telah mengganggu," kata si gadis aneh tapi cantik itu. Dia melangkah menuju pintu. Tiba tiba dia berbalik.

"Siapa nama anak-anak kita?"

Gelombang masa depan membanjiri memoriku. Istriku bernama Maya. Kami menjalani hidup dalam suka dan duka. Perjalanan hidup yang kami lakukan bersama. Klinik Bersalin. Dokter ahli kandungan—

"Prana dan Citra. Kembar laki-laki perempuan," jawabku pasti.

Maya tersenyum.

"Sampai bertemu pada saatnya, nanti," katanya sambil terkekeh kecil dan berlalu.

Dan aku yakin: meski tak bisa berenang, suatu saat nanti aku akan melompat ke danau yang dingin demi dia.


Bandung, 20 Oktober 2016

2045 (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang