Planet itu balas menatapku tak berkedip, biru mengapung dengan latar belakang hitam. Setengahnya diterangi oleh bin-tang terdekat.
Mataku menyusuri garis antara terang dan gelap, mencoba membayangkan wajah senja. Atau fajar.
Sungguh memalukan. Aku bisa menggambarkan elemen or-bit setiap planet yang ada dalam setiap sistem di galaksi, tapi aku tak tahu tentang orbitologi planet asalku sendiri....
Baru aku sadari bahwa tanganku gemetar. Kugosok-gosok-kan keduanya berharap rasa hangat akan menghentikan getaran tersebut. Sia-sia. Sia-sia saja.
"Kemal? Kamu di situ?"
"Aku di sini, Bu."
"Ah. Semburan matahari bertambah parah akhir-akhir ini. Ibu sampai mengira sambungan kita terputus."
Layar transparan di sisiku memantulkan bayangan satu-satu-nya dokumen di permukaan meja kerja. Ada tanda tanganku di situ.
"Ibu sungguh gembira kamu pergi sebelum semua ini terja-di," kata ibuku. "Keadaan di sini bertambah buruk sejak karan-tina."
"Aku tahu," jawabku. "Maafkan aku."
Dulu tawanya adalah dering lonceng yang indah di telinga-ku. Kini, dengan penyakit yang ada dalam dirinya, tawa itu se-perti air mendidih dituangkan ke atas balok es.
"Jangan konyol, Nak. Ini bukan salahmu."
Aku ingin membantah, berteriak bahwa semua adalah sa-lahku, namun lidahku kelu. Aku mengalihkan pandanganku dari planet dan menatap layar komunikasi. Ibu sedang meman-dangku. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecantikan masa lalu. Melalui torehan koreng dan luka, aku masih bisa melihat betapa anggunnya dia. Keanggunan yang dicuri oleh teror makhluk pikobiologis. Namun, entah bagaimana, dia masih ter-senyum.
"Aku merindukanmu, Nak," katanya.
"Aku juga rindu Ibu."
Aku hampir tidak bisa melihat bentuk dapur di belakang-nya. Stasiun ini terlalu jauh, dan sinyal yang lemah hanya me-nampilkan garis abu-abu sebagai representasi memori ruang dari masa kecilku. Namun aku masih bisa mencium bau ayam dipanggang di oven. Aku tak tahu kapan terakhir kali ibu ma-kan daging, namun aku tak berani bertanya. Sia-sia belaka.
"Pak Kemal," terdengar suara dari vidkom. "Kita segera siap."
"Baik," jawabku. "Ingatkan saya jika kita akan memulai."
"Ya pak."
Layar vidkom padam setelah aku menekan tombol di meja.
"Siapa itu?" tanya Ibu.
"Asistenku, Ibu," jawabku.
Ibu kembali tertawa, dan aku sekuat tenaga menggigit bibir menahan air mata.
"Anakku, manusia paling berkuasa di alam semesta. Ibu sa-ngat bangga padamu, meski Ibu tak tahu apa yang kamu la-kukan."
Bahuku terangkat.
"Bukan hal yang luar biasa, Bu."
"Itu menurutmu," sanggahnya. "Tapi ibu lebih tahu dari ka-mu."
Aku menelan ludah, melirik peta bintang yang mengapung di atas proyektor di sisi meja. Catatanku berpendar di bawah-nya: daftar nama empat planet lain. Nama yang berputar-putar di benakku setiap malam ketika aku berbaring tak bisa tidur. 'Karantina' telah gagal, dan keempat planet itu telah dibersih-kan. Hanya sumbernya yang belum.
"Jadi, mengapa kamu menghubungi Ibu?" dia bertanya.
"Tidak biasanya kamu mengontak Ibu kecuali siklusmu me-mang dekat. Dan setahu Ibu, orbit terdekat masih tiga bulan lagi."
"Aku hanya ingin melihat wajah Ibu," aku berbohong.
Aku tidak ingin melihat wajahnya. Aku hampir tidak ingin mendengar suaranya. Aku tak ingin diingatkan bahwa aku telah gagal. Aku ingin berada di sisinya, menderita bersamanya. Mungkin aku akan mati terlebih dahulu, karena makhluk piko-organisme memangsa pria lebih cepat. Aku masih hidup kini hanya karena aku lebih dulu pergi.
"Kamu baik sekali, Nak," kata ibu.
"Ibu juga kangen melihatmu. Eh, kamu tahu tetangga kita..."
Aku membiarkan suaranya menghilang tenggelam bersama lamunanku. Ibu hanya akan menyampaikan kabar buruk: si Anu meninggal, sekian orang terinfeksi, persediaan makanan semakin menipis, Kaum Perlawanan membuat kerusuhan di setiap kota besar.
Mungkin mereka yang bertanggung jawab atas penyelun-dupan antar planet. Tapi sudah terlambat untuk mencari siapa yang salah. Semua sia-sia saja.
"Pak Kemal," vidkom menyala. "Sudah waktunya."
Ibuku masih bicara. Kali ini ia tidak mendengar kata-kata asistenku barusan.
Aku meraih berkas otorisasi. Kalimat yang tertulis di atasnya berteriak padaku, menanyakan perihal yang aku tak punya jawabnya. Aku meremas dan melemparnya ke mesin pengurai. Masih ada ribuan kopi tersebar di berbagai direktori.
"Lakukan."
"Lakukan apa?" tanya Ibu. "Kemal, kamu dengar Ibu?"
"Aku mendengarkan, Bu."
"Ibu bertanya, apa yang kamu lakukan untuk ulang tahun-mu?"
Mulutku menganga, namun tak ada bunyi yang terdengar. Aku sudah lupa bahwa hari ini hari ulang tahunku.
Tentu saja Ibu ingat. Ia yang membawaku ke jagat raya ini. Semua yang aku miliki adalah hutangku padanya.
"Tidak ada," jawabku. "Sungguh tidak ada."
Sebuah sinar terang menyala di kegelapan ruang angkasa, menyilaukan mataku. Silaunya menutup planet dari pandang-anku. Aku tidak bisa melihat sinar itu menempuh perjalanan melalui ruang hampa. Sesuatu yang normal saja, namun meng-usik perasaanku.
Planet itu meledak.
"Jangan gitu," kata Ibu. "Kamu harus memberi dirimu sendiri kado yang istimewa. Kamu selalu bekerja keras. Pada-hal kamu manusia paling berkuasa di alam semesta, Nak."
Aku menatap wajah Ibu di layar transparan. Berkat relativ-itas, aku memandang ke masa lalu.
Hantu Ibu menatap ke arahku, masih tersenyum.
"Aku mencintaimu, Ibu," kataku. "Maafkan aku."
Tentu saja Ibu takkan pernah mendengarnya. Ia juga takkan pernah melihat airmata yang mengalir di pipiku.
Wajah ibu menghilang.
Layar menjadi gelap.
Bandung, 18 Januari 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
2045 (telah terbit)
Fiksi IlmiahOffset printing Softcover (emboss) 156 pages (148+viii) Published May 10th, 2017 by Peniti Media ISBN : 978-602-6592-06-4 Fiksi ilmiah adalah literatur ide, menggali keniscayaan sains dan masa depan manusia. Kumpulan cerita pendek ini memuat kisah-k...