5. Dia calon istriku

7.1K 832 5
                                    

"Masuk," suruh Adnan pada Arumi. Arumi mengikuti perintah Adnan dengan wajah sedihnya. Matanya bengkak karena menangis terus-terusan.

Setelah memastikan Arumi masuk ke dalam mobilnya, Adnan pun masuk ke dalam. Lalu Adnan membawa Arumi pergi menuju rumahnya. Rumah sebenarnya, dimana ia dibesarkan. Bukan apartemen yang menjadi tempat tinggalnya.

Malam sudah larut, tapi entah mengapa Bulan tampak bersinar terang malam ini. Dengan langit gelap yang terbentang luas, terdapat beberapa kerlipan bintang yang menemani sang bulan.

"Kamu bisu dari lahir?" tanya Adnan akhirnya membuka pembicaraan.

Arumi menggeleng pelan, dulu ia bisa bicara hingga suatu tragedi membuatnya kehilangan suaranya.

Adnan diam, tapi tak berselang lama ia kembali bertanya kepada Arumi.

"Apakah kau bisu karena kecelakaan mobil?" tanyanya lagi.

Arumi sedikit kaget saat Adnan tau penyebab utama mengapa ia tak bisa berbicara sekarang. Arumi mengangguk pelan.

Lalu Adnan tersenyum tipis dan percakapan satu pihak itu pun berakhir. Selama tiga puluh menit lamanya, mereka menikmati jalanan dengan pemandangan kota.

Arumi berpikir, kemana dia akan dibawa? Apa yang akan ia lakukan setelah ini? Dan bagaimana dengan ayahnya?

Adnan tampak mengetahui kegelisahan Arumi, Adnan menghela nafasnya perlahan. Sudah lama ia tak berurusan dengan perempuan semenjak uminya meninggal. Bahkan Adnan berubah drastis.

" Aku tak akan meminta apapun darimu," ucapnya. Setidaknya bisa membuat Arumi menghela nafas lega untuk saat ini.

Adnan yang dulunya adalah lulusan terbaik pondok pesantren, dengan hafalan yang mendekati tiga puluh juz berubah menjadi seorang Adnan yang pemabuk. Suka bermain dengan wanita, dan menganggap semua wanita rendah kecuali Uminya. Sampai ia bertemu dengan Arumi, dimalam ini.

Mobil Adnan pun melaju, masuk ke dalam sebuah halaman dimana terdapat rumah mewah disana.

Mobil Adnan berhenti di depan rumah itu. Tampak megah dengan desain kuno membuat rumahnya menjadi elegan. Perpaduan warna coklat muda dan gold yang sangat mewah.

Arumi terpana, tapi ia seperti pernah memiliki memori dengan rumah ini. Tapi tak mungkin, mengingat keluarga mereka miskin.

"Keluarlah dari mobil dan tunggu aku di depan pintu," suruh Adnan. Arumi mengangguk.

Gadis itu keluar dari mobil, berjalan pelan menaiki beberapa anak tangga dan berdiri di depan pintu menunggu Adnan.

Sekitar lima menit, Adnan muncul dari garasi. Berjalan mendekat ke arah Arumi. Adnan pun menekan bel saat ia sudah berdiri di samping Arumi.

Tak lama, keluarlah seorang pembantu yang selalu mengurus rumah ini. Namanya adalah Ria. Adnan memanggilnya Bibi, karena Ria adalah Umi keduanya setelah Uminya pergi. Adnan tetap menghormati Ria sebagaimana ia menghormati Uminya.

"Pulang tuan? Sama siapa?" tanya Bi Ria.

Adnan melirik Arumi sekilas, Bi Ria pun mengangguk paham. Adnan masuk ke dalam rumah, menaiki anak tangga dan langsung masuk ke dalam kamarnya.

Arumi hanya bisa menatap Adnan dari bawah.  Lantas, sekarang apa yang ia lakukan?

"Sini nak, masuk. Bibi tunjukkin kamarnya, non siapa?" tanya Bi Ria yang tidak tau jika Arumi itu seorang tuna wicara.

Arumi pun mengikuti, Bi Ria berbicara dan menjelaskan seluk beluk rumah milik orang-tua Adnan dulu dengan seksama. Telinga gadis itu merekam semuanya dengan cukup jelas dan ia paham dengan cepat.

Kini mereka berdua duduk di atas tempat tidur dimana itu merupakan kamar Arumi. Arumi bingung ia dijadikan apa disini, tapi semoga saja ia tak dijadikan budak pemuas nafsu Adnan.

Bi Ria mengelus puncak kepala Arumi dengan sayang. Arumi terdiam saat sentuhan lembut ini mengelus puncak kepalanya. Sudah berapa tahun ia tak merasa kasih sayang tulus seperti ini?

Mungkin hampir dua belas tahun, dimana ibunya dibunuh oleh ayahnya sendiri. Lantas mengapa dia tak dibunuh juga pada saat itu?

Tak terasa setetes air mata jatuh dipeluk mata Arumi, ia merindukan ibunya. Ibu yang selalu memeluknya disaat kedinginan. Yang selalu menyapanya dengan riang dan selalu memberikan sentuhan halus penuh kasih sayang.

"Nak, kamu kenapa?" tanya Bi Ria heran.

Arumi menggeleng pelan, tapi semua tangisan dalam diam itu pecah saat Bi Ria menawarkan sebuah pelukan hangat.

"Mau Bibi peluk? Kamu butuh pelukan?" tanya Bi Ria yang dibalas anggukan oleh Arumi.

Di dalam dekapan hangat itu, Arumi menangis dalam diamnya. Hatinya menangis dan berteriak keras. Mengapa hidupnya seakan hanyalah sebuah permainan?

Bi Ria mengelus punggung Arumi, dan juga mengelus puncak kepala Arumi. Membiarkan gadis yang sudah lama tak menangis untuk meluapkan emosinya.

Tigapuluh menit berlalu, Arumi terlelap. Bi Ria menutup pintu dengan perlahan. Adnan yang hendak keluar berpapasan dengan Bi Ria di depan kamar Arumi.

" Tuan Ad, saya boleh bertanya?"

Adnan berhenti lalu menatap Bi Ria. " Apa Bi? Ada yang salah atau uang yang saya kasih kurang?" tanya Adnan.

Bi Ria menggeleng, sedikit bingung bagaimana menyusun kata yang tepat untuk menanyakan hal ini.

"Tadi non itu menangis," jelasnya. Kening Adnan mengerut.

"Arumi? Menangis?" tanya Adnan, Bi Ria mengangguk.

Ekspresi Adnan memperlihatkan jika pria iti sedang berpikir. " Kenapa? Apa dia menuliskan sesuatu pada Bibi?"

Bi Ria kembali menggeleng, " Oh iya Tuan, dia menangis tapi tak bersuara. Saya tidak mau berprasangka buruk tapi apakah di–!"

"Iya, dia bisu."

Jawaban langsung dari Adnan membuat Bi Ria kaget. "B– bisu?"

Adnan mengangguk pelan, ia juga bingung mengapa ia melakukan hal bodoh ini. Tapi entah kenapa, ketika melihat Arumi. Ia seperti melihat Uminya. Umi yang telah meninggalkan dirinya kurang lebih delapan tahun lalu.

"Bi, tolong jaga Arum saat aku kerja. Cuma Bibi yang bisa kuminta tolong," ungkapnya.

Bi Ria tersenyum simpul, " Iya Tuan, Tuan pulang ke rumah atau ke apartemen?"

Adnan berpikir sebentar, kemana ia harus pulang? Semenjak Uminya pergi Adnan merasa ia tak pernah punya rumah untuk ia tinggali. Rumah dalam artian berbeda. Ia punya apartemen, tapi itu bukan rumahnya. Ia masih sering berkunjung ke rumah ini tapi ada yang berbeda. Rasa hangatnya. Itu yang tak Adnan temukan.

"Pulang ke rumah, mungkin sementara waktu gak pulang ke apartemen dulu. Bibi nanti masak ya, Adnan kangen masakan Umi."

Bi Ria menepuk pelan pundak Adnan, meski ia terlihat cuek dan menakutkan untuk pesaingnya. Adnan tetaplah seorang manusia yang memiliki perasaan. Lelaki itu hanya kesepian.

Setelah mengatakan itu, Adnan pun mulai berjalan kembali. Ia akan pergi ke kantor untuk mengurus sesuatu. Tapi langkah nya kembali berhenti saat Bi Ria memanggilnya.

"Tuan,"

Adnan berbalik, " Iya?"

Takut untuk mempertanyakan hal ini tapi Bi Ria tidak mau salah memperlakukan Arumi.

"Siapa Arumi? Apa alasan Tuan membawanya ke sini?" tanya Bi Ria heran karena Adnan tidak pernah menunjukkan rumah ini pada siapapun sampai akhirnya Arumi ada disini.

Helaan nafas terdengar begitu berat, " D– dia, dia calon istriku Bi. Aku titip Arumi,"

Percakapan itu terputus, Bi Ria menatap punggung Adnan tak percaya. Apa yang Adnan bilang? Calon istri? Apa bisa seorang Adnan yang selalu bermain dengan wanita, kini mau mengikat dirinya dalam pernikahan?

Tidak, tapi pertanyaannya sekarang. Apa Arumi siap dengan sifat temperamen Adnan?

To be continue...

Jodoh Pilihan Umi [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang