7. Bohong

3.2K 479 11
                                    

"Eric dimana???"

Irene yang sedang membaca sebuah tabloid di ruang keluarga seketika berjengit kaget ketika mendengar suara berat suaminya. Dilihatnya sang suami yang sekarang sudah ada di depannya sembari melepaskan jas kerja yang melilit tubuhnya.

Dari nada bicaranya yang tidak sabar, Irene sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selajutnya.

"Mau ngapain kamu?" Tanya Irene, mengumpulkan segala keberaniannya untuk bertanya.

"Mau nanya aja sama dia. Tadi di grup kelas gurunya nge-forward nilai ulangan harian matematika, dia nilainya di bawah KKM, Ren. Aku nggak bisa diem dong, aku harus ketemu sama dia sekarang juga"

Mata Irene bergetar, dia bisa mendengar sirat emosi yang samar dari nada suara sang suami.

Tanpa bertanya pun, Irene sudah tahu Suho pasti akan memberi 'pelajaran' lagi pada si bungsu. Tenggorokan Irene terasa tercekat, tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada Eric malam ini.

"Kok nggak jawab? Dia ada di kamarnya ya? Yaudah aku kesana sekarang"

Mendengarnya, tentu dengan cepat Irene berdiri, dia menahan tangan Suho sebelum suaminya itu berjalan lebih jauh. Kondisi Eric bisa dibilang buruk saat ini, anak itu demam tinggi dan sempat mimisan berulang kali. Irene tentu akan berupaya sebisa mungkin untuk menahan Suho, ia tidak mau pria itu menyentuh putra bungsunya, barang hanya sejengkal.

Suho yang merasa tangannya ditahan oleh sang istri menoleh, raut wajahnya menyiratkan keheranan.

"Kenapa?"

"J-jangan..." Jawab Irene dengan takut-takut, wajahnya menunduk, tak berani menatap mata sang suami.

"E-Eric lagi sakit, aku gamau-

"Bukannya anak itu emang penyakitan ya?" Potong Suho.

Irene mendongak, dia menggeleng kuat. "Suho, dia anakmu juga..."

Suho terkekeh. "Emang pernah aku bilang dia bukan anakku? Irene, aku cuma mau anakku sukses kedepannya, aku cuma mau mastiin anakku belajar dengan bener. Kamu gamau kan di masa depan ngerasa malu karena punya anak yang udah penyakitan, nggak berguna pula?"

"A-aku..." Mata Irene berkaca-kaca, dia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Irene benar-benar tidak menyangka suaminya akan mengucapkan hal yang sangat menyakitkan tentang putra bungsunya.

Suho tertawa lirih, dia menyetakkan tangannya yang masih ditahan oleh sang istri, sehingga tahanan Irene pada tangannya terlepas begitu saja.

"Aku nggak bakal bunuh putra kita-

"T-tapi kamu nyakitin dia, Suho!" Irene meninggikan suaranya dengan takut, intonasinya bergetar bersamaan dengan aliran bening yang turun membasahi kedua pipinya.

Tangan Suho terangkat, dia mengusap pipi Irene lembut, "He deserve it, aku nggak mau nanggung malu punya anak penyakitan yang nggak berguna, udah jangan nangis. Nggak pantes dia ditangisin sama kamu"

Suho tersenyum tipis, dia mengecup pelan kening Irene sebelum benar-benar beranjak dari sana, menuju kamar Eric yang pintunya sudah tertutup rapat. Jangan heran, Suho memegang semua kunci cadangan yang ada di rumahnya, jadi dia bisa dengan leluasa keluar-masuk sesukanya.

Setelah kepergian Suho, tubuh Irene terjatuh begitu saja di atas sofa, wanita cantik itu menangis hingga nafasnya tersengal dengan hebat. Dada Irene terasa berdesir menyakitkan mendengar suaminya sendiri mengolok-olok darah dagingnya tepat di depan matanya. Ibu mana yang tidak sakit hati mendengar putranya sendiri diolok-olok seperti itu?

Namun bagian yang paling memilukan adalah, Irene yang tidak bisa melakukan apapun untuk menolong putranya.

Irene memegangi dadanya, hatinya terasa sakit sekali. "E-Eric, maafin Mom, nak..."

•••

"Mom?" Panggil Jeno ketika melihat siluet ibunya di pantry dapur mereka.

"Heumm?"

"Tumben belum berangkat?"

"Hehe, mau masakin sarapan dulu. Nggak boleh?"

"B-boleh.."

Meskipun heran, Jeno memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Pemuda itu kemudian duduk di kursi meja makan sembari menunggu masakannya matang. Namun alisnya mengernyit saat ia menyadari sesuatu,

"Mom?" Panggilnya lagi.

"Iyaaa?"

"Eric nggak masuk sekolah?"

Pergerakan Irene terhenti, beberapa saat wanita itu terdiam, bingung mau menjawab seperti apa.

"Mom? Kok diem?"

"E-eh iya, Eric masih sakit. Kemaren demam tinggi kan dia. Ntar mom titip surat izinnya ya?" Jawab Irene gugup.

Jeno memincingkan matanya, sedikit curiga dengan jawaban sang Ibu.

"Eric beneran masih sakit?"

"Iya, Jenoo. Tadi mom baru aja nganterin susu sama obat ke kamarnya"

"Parah banget apa? Aku pengen liat dia dulu, boleh?"

Segera saja Irene menggelengkan kepalanya, "Nggak usah Jen, lagi bobo dia. Daripada keganggu anaknya" Alibinya, berusaha mencari alasan paling masuk akal. "Mendingan kamu sarapan, telat lho ntar" Lanjut Irene sembari meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Jeno.

Meskipun masih curiga, Jeno memilih menurut dan percaya. Anak itu mengangguk dan menyendok nasi gorengnya tanpa mengatakan apapun lagi.

Irene menghela nafas lega. Tidak mungkin kan dirinya membiarkan Jeno melihat tubuh Eric yang penuh luka dan memar karena perlakuan suaminya semalam?

Baru saja Irene akan menyendok porsinya, namun tiba-tiba panggilan Jeno menghentikan pergerakannya.

"Mom?" Panggil Jeno kesekian kalinya.

"Apa Jenooo?"

"Eum, itu... adek beneran gapapa kan? Nggak tau kenapa tapi aku kepikiran...." Tanya Jeno takut-takut.

Pertanyaan Jeno tentu saja membuat Irene tertegun ditempatnya, Irene melupakan fakta bahwa ikatan batin anak kembar memang lebih kuat dari persaudaraan orang biasa.

Namun dengan cepat wanita itu mengangguk, memilih menyembunyikan semuanya. "Iyaa, adek kamu gapapa kok. Ada mom kan disini, biar mom yang nge-rawat dia nanti"

Jeno menghela nafasnya, dia mengangguk dengan pasrah. "Titip adek aku, mom" Pintanya.

Irene terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

•••

a/n: have a nice day errone! 🚶🏻‍♂️

lacuna; jeno eric. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang