Sudah 10 menit, Jeno berdiam disana sembari memandangi raut adiknya yang pucat tanpa rona. Masker oksigen itu kembali terpasang di wajah Eric, sementara keduanya matanya memejam dengan damai, tidak ada lagi kerutan halus yang biasanya selalu ada di sana ketika Eric sedang memejamkan matanya.
Itu artinya, Eric sudah tidak merasakan sakit lagi, kan?
Wajah Jeno mengeras, dia mati-matian menahan tangisnya. Dadanya terasa sesak bukan main.
Dokter Jisoo mengatakan kondisi Eric yang sempat gagal nafas menyebabkan seluruh tubuhnya kekurangan oksigen termasuk otaknya, sehingga organ tubuhnya itu tidak bisa bekerja dengan maksimal dan kesadarannya menurun drastis karena hal tersebut mempengaruhi semua bagian tubuhnya. Belum lagi banyak organ lainnya yang meradang karena lupusnya, benar-benar bukan dua kombinasi yang bagus.
Jeno tidak bisa membayangkan seperti apa rasa sakit yang ditanggung adiknya itu. Pasti sakit sekali. Dokter Jisoo memintanya untuk berdoa berulang kali, padahal tanpa diminta pun, Jeno melakukannya setiap hari.
"Heh, lo capek ya?" Akhirnya suara Jeno keluar. Entah, dari sekian banyak kata-kata yang ada di otaknya, Jeno malah menanyakan hal yang tidak mungkin dijawab tersebut. Ruangan tempatnya kini tetap hening. Hanya ada bunyi alat pendeteksi jantung disana, itupun berbunyi dengan tempo yang lambat.
"Mom sama Ayah diluar. Mereka nangis. Udah ngerasa keren banget belum, bikin semua orang nangis?" Jeno bertanya dengan getir.
"Liat, gue juga nangis" Lirih Jeno saat merasakan matanya yang panas dan berair. "Gue nangis, Shall. Gue nggak bahagia, gue nggak tepatin janji gue ke lo. Ayo tagih janji itu lagi ke gue, ayo tagih janji gue buat bahagia. Marshall, bangun..." Mohonnya yang tampaknya sia-sia.
Jeno sudah tidak dapat menahan luapan emosinya lagi. Air mata anak itu menangis dengan deras, namun sebisa mungkin Jeno menahan untuk tidak mengeluarkan isakannya. Jeno hanya tidak ingin, bukan sekarang waktunya untuk menangisi Eric, 'kan?
"Nggak usah lagi lo dateng ke mimpi gue kalo cuma mau pamitan, anjing. Lo nggak boleh kemana-mana, Marshall. Lo nggak boleh ninggalin gue"
Sekarang Jeno paham makna dari kehadiran Eric di kedua mimpinya. Mimpi yang pertama itu karena Eric ingin memberitahu ke Jeno bahwa anak itu akan selalu menemani Jeno bahkan ketika kakaknya itu berada di titik terendahnya. Dan mimpi yang kedua karena Eric ingin Jeno tidak melupakan janjinya untuk terus bahagia.
Di akhir kedua mimpi tersebut Eric sama-sama memeluknya, dan Jeno benar-benar takut itu adalah salam perpisahan untuknya.
"Nggak sekarang Marshall. Berjuang dulu ya? Gue bakal terus nemenin lo, gue janji"
"We have a lot of things that we bever felt before as a twin. Gue pengen kita bahagia bareng-bareng, jadi bangun ya? Gue nggak akan pernah ninggalin lo sendirian lagi, gue bersumpah"
"Marshall, bangun-
Jeno menoleh ketika mendengar teguran suster yang mengatakan waktu jenguk sudah habis. Dengan terpaksa Jeno pun menyudahi monolognya dan berdiri dari duduknya. Dia memandangi Eric yang masih memejam dengan tatapan trenyuh, entah kenapa hatinya terasa berat sekali meninggalkan adiknya itu sendirian.
"Inget, jangan dulu. Gue tunggu lo bangun, ya?" Jeno berucap lirih, sebelum ia benar-benar keluar dari ruang rawat tersebut. Meninggalkan Eric yang masih memejam dengan berbagai alat di tubuhnya, terombang-ambing diantara hidup dan mati.
•••
Jeno baru saja selesai berdoa dengan Tuhannya ketika ia mendapati suasana di depan ruang rawat adiknya yang sedikit rusuh. Banyak perawat yang masuk ke dalam dengan berbagai peralatan yang mereka bawa. Jantung Jeno rasanya mencelos, segera saja anak itu berlari dan menghampiri kedua orang tuanya yang terduduk dengan tangisan di wajah mereka.