23. It's Not Always be a Good Day

3.2K 455 83
                                    

Now, 2021.

"Marsel..." Eric menggumam lirih, tubuhnya bergetar karena takut.

"Maafin gue. Gue emang pembunuh, gue cuma pembawa sial, gue pantes lo jauhin, lo pasti malu punya kembaran kayak gue.. Maaf, maaf karena gue nutupin hal ini dari lo, maaf karena gue nggak jujur dari awal, maafin gue Marsel... gue pantes lo benci, maaf-

Grep.

Ucapan Eric terhenti. Jeno membawa tubuh bergetar itu ke pelukannya, ia tidak sanggup lagi mendengar suara Eric yang terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Jeno menggeleng pelan, ini semua bukan salah adiknya. Adiknya bukan orang jahat.

"Adek, hey..." Panggil Jeno pelan. Namun Eric tetap terisak dengan hebat, nafas anak itu tersengal karena isakannya sendiri. Eric benar-benar setakut itu.

This must be so hard for Eric.

Jeno mengelus punggung Eric yang masih bergetar itu dengan tangannya, membiarkan Eric menangis sepuasnya. Menyembunyikan hal sebesar itu selama bertahun-tahun pasti bukan hal yang mudah untuk anak itu.

Hah. Sekarang Jeno mengerti kenapa Eric tiba-tiba menjauhinya, kenapa Eric bersifat ketus kepadanya, kenapa Eric terus menerus menjaga jarak darinya, sekarang Jeno mengerti. Semuanya sudah jelas di kepala Jeno. Eric tidak sekejam itu, anak itu melakukannya karena dipaksa oleh keadaan, anak itu melakukannya karena tekanan dari ayahnya sendiri.

Dad brengsek, berani-beraninya dia bikin adik gue jadi kayak gini? Batin Jeno emosi, dia benar-benar benci pada sosok ayahnya itu.

"Marshall, hey udah jangan nangis..." Jeno mencoba membuka suaranya lagi di tengah isakan adiknya, "Gue nggak marah, dan nggak akan pernah marah sama lo..."

Eric semakin terisak. Jeno pantas membencinya, bukan? Dirinya memang pantas untuk dibenci.

Jeno menggigit bibir bawahnya, memikirkan kata yang cocok untuk menghibur adiknya itu. Eric menangis dengan cukup keras, dan Jeno khawatir adiknya itu malah sesak nafas karena isakannya sendiri.

"Setelah denger cerita lo, lo tau gak apa yang gue rasain?" Tanya Jeno setelah berpikir selama beberapa saat, yang dibalas dengan gelengan pelan oleh Eric yang ada di pelukannya.

Jeno tersenyum tipis.

"Heh denger" Ujarnya sembari melepas pelukan Eric padanya, kemudian ia menampung wajah adiknya itu dengan kedua telapak tangannya agar ia bisa leluasa memandanginya.

Jeno tersenyum dalam hati. Wajah Eric yang sembab dan dipenuhi air mata itu memerah, lucu sekali.

"Gue nggak marah, gue nggak benci juga sama lo. Dan nggak akan pernah, dek. Jangan kepikiran hal kayak gitu lagi, because that will never happen. I promise" Jemari Jeno tergerak, menghapus air mata Eric yang masih setia mengalir membasahi kedua pipinya.

"Lo pembunuh? Pembawa celaka? Peduli setan. Nggak ada anak yang dilahirin dengan nasib kayak gitu, semua udah punya takdirnya masing-masing. Marshall, you're not. You're the strongest human that i ever met." Jeno berkata dengan tulus, ditatapnya wajah Eric yang sembab karena tangis. Kemudian senyuman tipis terbit di wajah tampannya.

"Kalo ada yang bilang lo pembawa sial, nggak usah didengerin ya? Karena lo nggak begitu, Marshall. Lo kembaran gue, lo adik gue, lo saudara gue yang paling hebat."

"Setelah denger cerita lo tadi, gue malah jadinya mikir. Adik gue kuat banget ya? Kok dia hebat banget nanggung semuanya sendirian? Kok lo keren banget? Padahal gue yakin itu semuanya nggak mudah, kan?"

"You've been going through so hard, brother. Sekarang lo nggak bakal sendirian lagi. Karena gue udah disini, gue bakal nemenin lo ngadepin apapun. Makasih udah mau jujur, pasti berat banget ya buat lo? Gue hargai kejujuran lo itu. We're twins, dan bakal selalu begitu."

lacuna; jeno eric. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang