the barudaks (3)
Yang kemaren piket UKS siapa?
Renjun:
Mau ngapain lagi luNtar juga tau
Renjun:
Anjing
Bentar gue liatinThanks
Renjun:
YoiJaemin:
Ada yang gangguin adik lu lagi Jen?Iya, si Hyunjin yang bilang
Anak UKS katanyaJaemin:
Kenapa sih lo gapernah langsung turun tangan aja
Biar pada kapok yang gangguin adik luGabisa, lo tau sendiri kan
Jaemin:
Iya sih...Renjun:
Dapet, bos
Debby Aprilia, anak 11 IPA 1, bareng si Bomin dia piketnya
Ada apa Jen?Kick her, please?
Renjun:
Ah i see, gampang itu mahJeno tersenyum tipis.
•••
"Bangsat gue dari south gate nyariin lo, taunya lo ngedekem di perpus jir"
Jeno yang sedang menulis sesuatu mendongak, melihat Renjun yang sedang mengomel dengan muka galak. Sahabatnya itu bersedekap dada dengan nafasnya yang terengah karena lelah, sepertinya dia habis berlari.
"Wkwk ngoreksi ulangan lo pada nih. Kenapa lo nyariin gue? Tumben amat" Jawab Jeno dengan sedikit heran.
Renjun tidak menjawab, dia malah duduk di sebelah Jeno dan menyambar botol air minum milik sang sahabat, kemudian meneguknya hingga tersisa setengah. Jeno membiarkannya, sudah biasa.
"Nggak sih, gue cuma mau ngabarin aja si Debby yang lo omongin di grup kemaren, dia udah di keluarin dari petugas UKS. Udah diomongin Jaemin belum lo?"
Jeno menggeleng, kemudian tersenyum simpul. "Thanks, gue beneran gatau kalo gaada kalian bakal gimana jadinya"
"Santai aja, kayak sama siapa aja sih"
Renjun dan Jaemin adalah cucu dari kepala sekolah yang Jeno duduki kini. Mereka dekat karena saat lomba matematika, Jeno banyak membantu Renjun dan Jaemin belajar memahami bab yang belum mereka mengerti.
Di lain kesempatan, Jeno juga membantu Renjun dan Jaemin menghabisi preman yang hampir mencuri dompet mereka, karena Jeno memang sangat pandai berkelahi. Mangkannya, baik Renjun maupun Jaemin sangat segan kepada Jeno, karena memang dia sangat berjasa untuk mereka. Apalagi Jeno itu bagaikan 'hidden treasure' nya sekolah mereka karena kepintarannya yang luar biasa.
"Jen, mau sampe kapan lo ngelindungin adik lo diem-diem gini?" Tanya Renjun tiba-tiba, membuat Jeno yang sedang menulis terdiam kaku.
"Greget sendiri gue ngeliat kalian kayak orang nggak kenal, padahal kembar kan, aneh"
"Gue... nggak tau" Jawab Jeno, jujur.
Jeno sediri tidak mengerti alasan kenapa Eric tiba-tiba menjauh darinya seperti ini. Mereka menjadi canggung sejak memasuki sekolah menengah pertama. Eric menjauhinya tanpa alasan. Seberapa banyakpun Jeno mencoba memdekat, Eric tetap jutek padanya, Jeno tidak mengerti.
Adiknya yang awalnya ceria dan berisik itu tiba-tiba menjadi sosok asing yang judes dan galak. Padahal di rumah mereka juga tidak ada masalah sedikitpun. Jeno benar-benar clueless.
"Lo mending nolongin dia secara terang-terangan deh, Jen. Siapa tau atinya kebuka dan nggak judes lagi ke lo" Saran Renjun, Jeno menggeleng pelan.
"Nggak mau, Eric nggak suka sama gue. Bisa-bisa dia makin nggak suka kalo gue ikut campur urusannya kayak gini"
Renjun menghela nafas, sahabatnya ini benar-benar keras kepala. "Yaudah serah lo, gue doain kalian cepet baikan ntar"
Renjun kemudian berdiri dari duduknya, dia menepuk pundak Jeno dua kali, "Gue pergi dulu, mau ke kantin jir laper banget, mau nitip nggak?"
Jeno menggeleng, "Tinggal 5 lembar lagi. Ntar gue nyusul. Btw makasih ya?"
Renjun mengangguk, "Anytime sobat, gue cabut dulu daah"
Jeno mengangguk, kemudian kembali fokus pada lembaran ulangan harian di depannya.
•••
"Mangkannya jangan panas-panasan, jangan bandel gitu, Eric. Kan udah dibilangin kan?"
"Iya ya iyaaa"
Jeno mengernyit ketika mendengar suara yang sangat ia kenal. Suara sang ibu dan adiknya. Dengan cepat Jeno melangkahkan kakinya memasuki rumahnya, dan mendapati sang ibu juga adik yang sedang duduk di sofa depan TV. Sedangkan TV-nya sendiri menyala dengan volume rendah.
Wajah dan lengan Eric terlihat sangat memerah, ruamnya menggila. Dan disampingnya ada Irene sedang mengolesi ruam si bungsu dengan salep yang ada di tangannya.
"Perih nggak?" Tanya Irene dan disambut anggukan pelan dari Eric.
"Iya, tapi gapapa. Udah biasa"
"Mom? Tumben udah pulang?" Jeno menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung telapak tangan sang ibu dengan santun. Sementara Eric hanya meliriknya sebentar sebelum kembali fokus pada tayangan action di depannya.
"Eh, Jeno. Iya tadi Dad-mu ngegantiin Mom mimpin rapat jadi jadwal Mom udah free. Daripada di kantor nggak ngapa-ngapain mendingan pulang kan?"
Jeno mengangguk paham, mulutnya membentuk huruf o.
"Gih, ganti baju sana. Udah makan belum? Tadi Mom beli steak pas mau pulang. Kalo mau ada di dapur, di atas kulkas"
Jeno mengangguk paham, "Aku ganti baju dulu deh. Mom sama Eric udah makan?"
Irene melirik Eric sebentar, anaknya itu hanya diam tanpa menanggapi ucapan sang kakak.
Irene tersenyum miris, "Kita berdua udah makan kok. Jeno makan juga ya?"
Jeno yang menyadari senyuman sang Ibu hanya bisa meringis, "Yaudah Jeno ke atas dulu"
"Iyaa"
Setelah mendengar jawaban Irene, Jeno pun berlalu dari sana, meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya di lantai atas.
Irene kembali fokus pada si bungsu, dia mengoleskan salep di lengan kurus Eric yang memerah.
"Jangan jutek gitu dek sama abangnya, kasian Jeno kan" Gumam Irene, berniat menegur.
Eric menggeleng, "Nggak kok, biasa aja"
Irene menghela nafas, Eric terlalu buruk dalam berbohong. Bahkan dari nada bicaranya pun, Irene mengerti jika hubungan kedua anak kembarnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Mau sampe kapan diem-dieman gini heum?"
Eric mendengus, dia mengambil salep dari genggaman Irene begitu saja. "Aku bisa obatin sendiri, aku ke kamar dulu"
"Eric hey-
Namun Eric tetap berdiri dari duduknya, dia berlalu dari sana dengan langkah tertatih karena persendian kakinya yang masih ngilu bukan main.
Irene memijat pelipisnya, bingung dengan tingkah laku anaknya.
•••