9. This Won't Do

3K 473 9
                                    

"Marsel, sini ikut!"

"Marshall jangan lari-lari teruss!"

"Hahaha, ayo tangkep aku!"

"Shall, tungguin kakak!"

"Bleee, Marsel lemot!"

"Marshall, awas-

BRAK!!!

•••

Eric tersentak dalam tidurnya, matanya membelalak dengan kaget. Dilihatnya sekitar, sepi. Hanya ada suasana kamarnya yang gelap.

Hah. Mimpi yang buruk.

Eric bisa merasakan seluruh tubuhnya kini basah oleh keringat, bahkan tangan dan kakinya juga bergetar dengan hebat. Nafas Eric tersengal, dadanya terasa sesak. Kenapa mimpi itu terus menghantuinya?

Kepala Eric terasa panas, telinganya berdeging dengan menyakitkan. Pemuda itu memejamkan matanya, dia tidak bisa membiarkan tubuhnya melemah karena mimpi tersebut secara terus-terusan.

Maka dengan segala upayanya, Eric pun mencoba bangun dari tidurnya perlahan-lahan. Tangannya yang bergetar meraih ujung nakas untuk dijadikan tumpuan badannya yang lemas bukan main.

Setelah berhasil, dilangkahkannya kedua kakinya menuju sebuah lemari besar di pojok ruangan. Tubuh lemasnya itu ia paksakan berjalan meskipun terhuyung-huyung.

Eric tidak peduli, yang penting dia segera sampai.

Maka dengan segera setelah ia sampai tepat di depan lemari besar tersebut, cepat-cepat ia membuka pintunya yang kokoh. Kemudian tangan kurusnya meraih satu botol kaca berisi puluhan kapsul putih yang cukup kecil dari dalam sana. Bibir pucat Eric tersenyum tipis, finally he found it.

Seolah sudah terbiasa, Eric menelan sebutir kapsul itu tanpa bantuan air sama sekali. Hanya dalam puluhan detik, dadanya yang tadinya terasa sesak, berangsur-angsur pulih. Kedua telinganya juga tak lagi berdengung keras.

Eric melenguh ketika merasakan kepalanya yang masih panas. It's didn't help at all, Eric butuh sesuatu yang lebih.

Maka dilangkahkannya kakinya lagi- lebih tepatnya menyeret- menuju kamar mandi yang terletak bersebrangan dengan posisinya kini. Kamar mandi kecil yang terletak di pojok kamarnya.

"Shit" Umpat Eric ketika merasakan persendiannya yang begitu ngilu ketika ia paksakan untuk berjalan. Lupus tidak pernah bermain-main dengannya.

Setelah hampir 2 menit berjalan, pemuda itu akhirnya tiba di depan kamar mandi. Tentu saja dengan segera Eric masuk ke dalam dan menutup pintunya kembali. Tangannya kemudian dengan handal menyalakan shower yang berada beberapa centi di atasnya.

Kemudian tubuh kurus pemuda itu meluruh di lantai begitu saja. Entah apa yang ada di otak anak itu.

Guyuran air dingin yang segar membuat kepala Eric yang semula panas terasa plong seketika. Dadanya yang sejak tadi terasa penat juga perlahan sejuk kembali. Tidak mempedulikan tubuhnya yang mulai bergetar karena kedinginan, Eric malah semakin mendekatkan tubuhnya ke dinding, menyenderkan punggungnya di sana.

Ditengah guyuran air shower yang dingin tersebut, air mata Eric perlahan menetes, membuat sensasi hangat yang menggelitik di antara air shower yang membasahi wajahnya.

Eric terkekeh pahit, "Marsel, gue payah banget" Lirihnya dengan bibir yang bergetar.

•••

"Pegel banget bangsat" Eric bergumam pelan, dia memijat-mijat bahunya yang terasa akan patah. Ini pasti efek lupusnya dan efek tidur di kamar mandi semalam.

Iya, Eric ketiduran di bawah shower sampai pukul 5 pagi tadi.

Eric tertegun dan menghentikan langkahnya begitu saja saat melihat punggung Jeno yang kini sedang sibuk di pantry dapur, entah memasak apa. Tapi satu hal yang bisa Eric tahu ketika melihat punggung kakaknya itu adalah- mom udah berangkat kerja, masaknya digantiin sama Jeno.

Entah kenapa tiba-tiba kepala Eric memutar mimpi buruk yang semalam dialaminya perihal Jeno, membuat Eric menahan nafasnya selama beberapa detik. This won't do.

Akhirnya Eric melengos, berniat melewati sarapannya dan langsung berangkat ke sekolah saja. Namun baru 3 langkah ia berjalan, langkahnya terpaksa terhenti ketika suara berat Jeno menginterupsi.

"Ric? Mau kemana? Sini sarapan dulu, gue bikin sup nih"

Eric menelan salivanya, meskipun hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja, dia masih harus tetap menghargai usaha Jeno kan?

Pada akhirnya Eric mengalah, anak itu berbalik dan duduk di salah satu kursi di meja makan tanpa mengatakan apapun. Jeno tersenyum puas melihatnya.

Dengan handal Jeno meletakkan berbagai masakan yang telah ia siapkan di atas meja. Eric memalingkan wajahnya, melihat wajah Jeno membuat hatinya terasa sakit.

"Lo beneran udah sembuh? Kalo belum, gausah masuk dulu Ric" Titah Jeno ketika selesai menyiapkan semuanya. Tangannya secara spontan mengambilkan nasi dan lauk untuk Eric tanpa adiknya itu minta.

Eric menghela nafas, kapan Jeno akan merasa capek? Eric bahkan sudah lelah melihatnya.

"Kalo badan lo masih hangat, izin dulu aja. Gue izinin nanti" Kata Jeno lagi sembari meletakkan seporsi nasi di depan Eric.

Eric menghela nafasnya, kemudian menggeleng.

"Nggak usah" Tolaknya singkat sembari mulai menyendok nasinya.

Jeno tersenyum pahit, pemuda di depannya ini tetaplah Eric, adiknya yang jutek dan keras kepala.

Melihat wajah Eric yang pucat tiba-tiba membuat Jeno teringat kejadian tidak mengenakkan kemarin, dimana dirinya terlibat adu argumen dengan Keyra, mantan kekasihnya.

Jeno jadi merasa bersalah.

"Dek, maafin gue ya" Ujar Jeno pada akhirnya.

Eric menautkan alisnya, Jeno minta maaf kenapa?

"I'm a suck brother, maafin gue yang nggak bisa jagain lo"

Eric tidak menjawab, masih bingung karena Jeno yang tiba-tiba berkata seperti itu.

"Kalo ada apa-apa, cerita ke gue, dek. Gue kakak lo, kita kembar. Meskipun lo nyembunyiin sesuatu dari gue, gue tetep bisa ngerasain itu"

"We're twins for 18 damn years, kalo lo lupa"

Eric tertegun di tempatnya, entah kenapa hatinya berdesir aneh mendengarnya. Padahal nada bicara dan raut muka Jeno tenang-tenang saja.

"Lo punya gue, Eric. Lo nggak sendiri"

•••

a/n: jangan lupa vote dan komen, teman. krisar juga boleh banget. 🙇🏼‍♀️

lacuna; jeno eric. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang