26. A Blank Space, a Missing Part

3.2K 444 73
                                    

Jeno baru saja keluar dari kamar mandi rumah sakit dengan handuk yang bertengger di pundaknya. Wajah anak itu masih sedikit basah, ia baru selesai mandi karena merasa tubuhnya lengket dan ia butuh sesuatu yang segar.

"Shall? Kenapa??" Jeno berucap panik ketika mendapati Eric yang duduk di brankarnya sembari menunduk dalam. Adiknya itu terlihat mengurut dadanya pelan, sementara mulutnya terbuka sedikit berusaha meraup oksigen yang entah kenapa terasa hampa.

Eric menggeleng mendengar pertanyaan Jeno. Anak itu menghela nafas dengan mulutnya berulang kali sebelum akhirnya nafasnya menjadi lebih tenang. Jeno jelas sangat khawatir, tangannya berada di kedua bahu Eric agar ia bisa melihat wajah adiknya itu dengan jelas. Tidak ada raut selain kekhawatiran di muka tampannya.

"Marshall?"

Eric menarik nafasnya pelan, "A-apa?" Jawabnya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar di telinga Jeno.

"Kenapa? Sesek lagi? Mau pake masker oksigen aja? Gue panggilin dokter ya?" Jeno bertanya dengan panik.

Eric menggeleng tanda menolak, "Gue udah nggak apa-apa, beneran" Ujarnya, jujur. Memang tadi dadanya terasa sedikit sakit, namun bagi Eric itu sudah biasa. Anak itu sudah merasakannya sejak kemarin-kemarin, sejak paru-parunya bermasalah. Dan yang perlu ia lakukan hanyalah menarik nafasnya perlahan, dan mengeluarkannya dengan perlahan juga hingga nafasnya membaik dengan sendirinya.

"Beneran?" Tanya Jeno masih dengan sirat kekhawatiran. Tangannya mengelus pelan punggung sempit adiknya yang begitu kurus dan ringkih.

Eric mengangguk, ia membenarkan letak nasal cannula nya yang sedikit bergeser. Sementara Jeno dengan penuh inisiatif menurunkan letak brankar adiknya itu, sehingga posisi Eric kini menjadi setengah tiduran.

"Seriusan udah nggak sakit?" Tanya Jeno memastikan.

Eric mengangguk, "Beneran. Udah biasa itu mah gapapa"

Dan jawaban tersebut malah membuat Jeno semakin khawatir. "Udah biasa gimana? Emang dari kapan lo kayak gini? Kok gue gak tau? Panggil Dokter Jisoo aja lah ya? Masih sesek nggak sekarang?"

Eric mendecih, mulai kan lebaynya. Pada akhirnya anak itu memilih tidak menjawab pertanyaan Jeno. Jeno yang merasa tidak dianggap pun mendengus kasar. Dia melihat adiknya itu yang sibuk memijat lengannya sendiri, mungkin sendinya sakit lagi atau efek jarum infus? Entahlah.

"Sakit?" Tanya Jeno.

"Hah?" Eric yang semula fokus pada pijatan tangannya menaikkan sebelah alisnya, matanya mengikuti arah pandang Jeno. "Oh, ini. Pegel biasa kok"

"Sini" Jeno meraih tangan Eric dan memijat pelan tangan adiknya itu. Hati Jeno berdesir sakit ketika menyadari ruam kemerahan di tangan Eric semakin banyak. Tanpa bertanya pun, Jeno sudah tahu pasti ruam tersebut terasa perih.

"Salepnya mana?" Tanya Jeno lagi. Karena setahunya ada salep khusus untuk ruamnya ini.

Eric mengendikkan bahunya acuh, "Dirumah"

"Lah, gimana?"

"Ya dirumah. Udah biarin aja sih disini udah kebanyakan obat juga" Kata Eric dengan nada sedikit malas. Jeno yang mengerti pun memilih menutup mulutnya tanpa bertanya lebih lanjut. Ia kembali fokus memijat lengan Eric tanpa berkata apapun lagi.

"Marsel, sini" Eric menarik tangannya yang dipijat Jeno, kemudian menepuk sedikit space kosong di sisi brankarnya.

Alis Jeno naik sebelah, "Hah?"

"Duduk sini" Ujar Eric lagi. Meskipun heran, Jeno tetap menurut dan berdiri dari duduknya, kemudian menempati sedikit sisi kosong di brankar Eric. Sedikit sempit dan tidak nyaman, namun mana bisa sih seorang Jeno menolak Eric? Tentu saja tidak.

lacuna; jeno eric. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang