21. Jangan Pergi Lagi

3.2K 477 70
                                    

Jeno berjalan keluar dari kantin rumah sakit dengan senyuman yang tak berhenti mengembang di wajahnya. Di tangan kanannya terdapat sebungkus roti berisi vanilla dan susu yang baru saja ia beli tadi.Tentu semua itu hanya untuk adiknya tercinta.

Eric mengeluh bosan hanya memakan bubur yang disediakan rumah sakit, dan tentu saja Jeno dengan senang hati membelikan roti untuk adiknya itu agar perutnya bisa tetap terisi.

Jeno melangkah dengan riang. Beban tak terlihat yang bertahun-tahun membebani pundaknya kini telah hilang.

Adiknya kembali menjadi seseorang yang ia kenal. Eric yang manja dan lucu, Eric yang selalu bergantung pada Jeno akan segala hal. Jeno tidak bisa menahan kebahagiaannya, sesederhana itu memang, namun rasanya melebihi apapun yang ada.

Tangan Jeno membuka pelan pintu ruang rawat adiknya yang tertutup. Baru saja kakinya akan melangkah, ia dikejutkan dengan keberadaan dua orang yang sangat ia kenal ada di dalam sana.

Kedua orang tuanya. Mata Jeno membelalak.

"KAMU ITU UDAH SEKARAT KENAPA MASIH NGEREPOTIN JENO HAH?"

"DAD!" Jeno seketika membuang roti dan susu yang ia bawa dan menarik tubuh Suho tepat setelah ayahnya itu mendorong tubuh Eric. Punggung adiknya itu berbenturan dengan besi brankar cukup keras. Eric meringis sembari menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, memar yang ada di punggungnya berdenyut sakit seketika.

"DAD APA-APAAN SIH HAH? UDAH GILA?" Jeno meninggikan suaranya, sudah cukup Jeno hanya diam menyaksikan adiknya tersiksa karena ayahnya. Peduli setan, Jeno akan membela Eric bahkan sampe ia mati.

PLAK.

Nafas Suho terburu, dia menatap Jeno tajam setelah mendaratkan satu tamparan keras di pipi anak sulungnya itu.

"Kamu berani sama Dad hah?!"

Jeno terkekeh miris, akhirnya dia tahu rasanya menjadi Eric meskipun sedikit. Ini sakit, namun tidak ada apa-apanya dengan apa yang diderita Eric selama bertahun-tahun.

"Tampar aku lagi, Dad. Tampar aku! Kenapa selama ini cuma Eric yang disakitin? Apa karena Dad tau Eric nggak bakal ngelawan? Iya? Dad cupu banget kalo kayak gitu, haha" Jeno tertawa keras, tawa yang dibuat-dibuat. Dia menatap ayahnya dengan tatapan meremehkan.

Suho semakin menatap Jeno sengit, dadanya naik turun dengan hebat karena emosi. "KAMU-

"SUHO UDAH!" Irene dengan segera menahan tangan Suho yang akan menampar Jeno lagi. Tubuh wanita itu bergetar dengan hebat, sirat ketakutan benar-benar terpancar dari tubuhnya. Namun Irene tidak bisa membiarkan Suho lebih lama lagi atau akan ada adegan berdarah-darah disini.

Tangan Irene yang bergetar menggenggam pelan tangan Suho, "U-udah ya? Kamu gamau kan ada yang tahu terus nama kamu jadi tercoret? Udah ya cukup, kita masih di rumah sakit sekarang, please." Kata Irene lirih sembari menunduk, tidak berani menatap wajah Suho sedetik pun.

Suho yang melihat istrinya begitu ketakutan pun dengan perlahan menurunkan tangannya. Kejam-kejam begini, Suho tetap mencintai istrinya sepenuh hati. Suho menghela nafasnya berulang kali, mencoba meredakan emosinya yang masih memuncak.

"Suho..." Panggil Irene lirih.

"Iya." Jawab Suho kemudian membalas rematan tangan Irene padanya.

"Udahan, kita pergi sekarang" Kata Suho yang seketika membuat hati ketiga orang yang disana lega bukan main.

"Tapi inget! Jangan coba-coba kamu jadi anak nggak berguna yang cuma bisa ngerepotin orang lain. Udah sekarat nggak tau malu lagi. Kalau nggak, kamu tau sendiri apa yang bakal terjadi kedepannya, ya kan?" Suho menatap Eric dengan tajam. Ia benar-benar tidak membiarkan anak itu bernafas dengan tenang. Suho telah membayar seluruh bagian dari rumah sakit ini, sehingga ia bisa mematikan CCTV yang ada di ruangan ini seenak jidatnya sendiri.

Irene dengan segera membuka mulutnya sebelum lebih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut suaminya itu. "Suho, ayo..." Cicitnya kemudian.

Suho menghela nafasnya dan mengangguk, "Iya, ayo."

Dan kedua orang itupun keluar dari sana secara bebarengan. Irene sempat menoleh dan berbalik menatap kedua anaknya dengan tatapan trenyuh. Seolah banyak sekali unspoken words yang ingin ia sampaikan pada dua anak kembarnya, namun Irene tidak memiliki kesempatan untuk itu.

Jeno dengan segera menghampiri sang adik yang masih lemas ketika bayangan kedua orang tuanya benar-benar hilang di balik pintu. Tubuh Eric merosot dan hampir jatuh, namun dengan segera Jeno menangkapnya.

Lelehan kental berbau anyir itu keluar perlahan dari hidung Eric. Namun Eric tidak peduli, tangannya memijat kepalanya yang pening luar biasa, seolah-olah akan meledak kapan saja.

Dengan sigap Jeno mengambil sehelai tisu yang memang disediakan disana dan membersihkan darah yang masih saja keluar dari hidung adiknya. Wajah Eric sudah pucat sekali, pias tanpa rona. Tangan Jeno bergetar. Nggak, jangan lagi.

"Maafin gue, gue lalai ngejagain lo lagi. Maaf Eric, maaf, gue emang payah banget. Eric, abang minta maaf..." Lirih Jeno dengan suara parau. Hatinya benar-benar diliputi perasaan bersalah sekarang. Andai saja ia tidak meninggalkan Eric tadi, pasti ia bisa melindungi Eric dari ayahnya sejak awal.

Eric menggeleng, ini semua bukan salah Jeno. Namun ia tak memiliki tenaga sedikitpun untuk menjawab atau membantah permintaan maaf dari kakaknya itu. Rasa sakit yang menjalar dari saraf hidung sampai kepalanya menyita semua fokus dan perhatiannya, tubuhnya benar-benar terasa remuk.

Jeno yang sudah tidak tahan pun memeluk adiknya itu erat. Tidak mempedulikan bajunya yang akan kotor karena mimisan Eric yang belum juga berhenti. Jeno memeluk tubuh ringkih itu erat-erat, menghirup bau rumah sakit yang entah sejak kapan terus menempel pada tubuh adiknya.

"Jangan pergi lagi..." Ujar Jeno sungguh-sungguh, dia benar-benar takut.

"Nggak usah dipikirin ucapannya Dad ya? Lo punya gue sekarang. Jangan kemana-kemana, gue mohon" Suara Jeno bergetar, anak itu benar-benar serius dengan ucapannya.

Eric tertegun, dia tidak menyangka Jeno setakut itu kehilangan dirinya.

"Kalo lo ngerasa sakit, pukul gue Ric biar gue ngerasain sakit juga kayak lo. We're twins, sakitnya lo sakitnya gue juga. Lo kembaran gue, lo adik gue, lo saudara terhebat yang gue punya. Please hang in here gue mohon"

Jeno nganggep gue hebat....

"Hah... i don't know having a twin would be this great."

•••

"Irene, we should tell Jeno the truth. Kita nggak bisa pura-pura terus"

Please jangan rusak kebahagiaan anakku lagi...

•••

a/n: sorry kalo isinya menye-menye mulu n gak seru... 😞

lacuna; jeno eric. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang