19. Jeno, His Brother, and His Fear

3.4K 527 38
                                    

"Uhh"

Jeno menghela nafas gusar, dia menggenggam erat tangan Eric yang terasa panas. Berulang kali Jeno merapal doa dalam hatinya, berharap rasa sakit yang dirasakan sang adik berpindah saja ke tubuhnya.

"Uhh..."

Eric melenguh lagi, kali ini lebih keras. Jeno menelan salivanya pahit, pasti adik kembarnya sekarang sangat kesakitan hingga dibawah alam sadarnya saja ia melenguh tanpa sadar. Jeno semakin mempererat genggamannya, tangannya yang hangat mengusap pelan telapak tangan adiknya yang basah.

"Sssh, sakit banget ya...?" Jeno berucap lirih, dia mengusap pelan keringat dingin yang menetes perlahan di dahi adiknya. Dada Jeno terasa tercekat ketika menyadari suhu tubuh adiknya yang sangat tinggi.

Keadaan Eric kembali memburuk. Setelah anak itu bersenda gurau dengan Sunwoo tadi pagi, tubuhnya kembali drop ketika ia bangun dari tidur siangnya sekitar jam 5 sore. Suhu badannya benar-benar menyengat, tubuhnya tersentak berulang kali membuatnya seolah-olah kejang. Jeno hampir menangis melihatnya.

Dan sekarang sudah pukul 8 malam, itu artinya sudah berjam-jam dan keadaan Eric belum menunjukkan peningkatan sama sekali. Demamnya tak kunjung turun, padahal dokter sudah memberikan berbagai obat yang anak itu butuhkan. Lupusnya kembali menyerang, kali ini lebih ganas daripada sebelumnya.

"Sembuh dong, Ric. Jangan gini, gue takut..." Lirih Jeno menyuarakan isi hatinya. Dia menunduk dan berdoa, genggamannya pada tangan Eric tidak terlepas bahkan sedikitpun.

Sunwoo yang sedang duduk di sofa terdiam menyaksikan itu semua. Tak pernah terbayangkan olehnya Jeno mempunyai sisi yang selemah ini. Seorang Jeno Antares, yang selalu berwajah tegas dan dingin, sekarang sedang menunjukkan sisi terlemahnya di depan adiknya yang sedang terbaring tak berdaya. Kalau Sunwoo tidak salah hitung, sudah 3 jam Jeno duduk disana tanpa beranjak sedikitpun. Hanya berdoa dengan lirihan putus asa, tanpa melepaskan genggaman tangannya dari tangan Eric barang sedetik, benar-benar setakut itu seorang Jeno.

Sunwoo terhenyak, sebegitu sayangnya Jeno kepada Eric.

Sunwoo menatap punggung Jeno yang terlihat sangat rapuh itu dengan trenyuh. Merasa perlu memberikan Jeno dan Eric ruang untuk berdua, Sunwoo pun memilih keluar dengan langkah perlahan, mencari hiburan di sekitar rumah sakit, membiarkan dua anak kembar itu dengan privasi mereka.

"Uuhh..."

Wajah Jeno mendongak ketika mendengar lenguhan lirih Eric terdengar lagi. Bisa Jeno lihat mata Eric yang terbuka dengan perlahan, raut wajah Jeno berubah lega seketika, dia mengusap tangan Eric dengan lembut.

"Hey?" Sapa Jeno selembut mungkin.

Eric tidak menjawab, mata anak itu memejam kembali dengan kening mengernyit, cahaya yang masuk ke matanya membuat kepalanya berdenyut sakit. Terlampau peka, Jeno pun mengelus pelan kepala adiknya itu, memberikan pijatan halus disana.

"Sssh, take it easy okay..."

Merasa denyutan di kepalanya sedikit berkurang, Eric kembali membuka perlahan matanya. Bayang-bayang seseorang yang tidak terlalu jelas menyapa pandangannya. Alis Eric bertaut, matanya mengerjap mencoba memfokuskan penglihatannya, semuanya terlihat berbayang.

"Eric... ini Jeno" Jeno berucap pelan.

Jeno?

"Je... no.." Suara serak Eric yang terhalangi masker oksigen terdengar. Jeno bisa merasakan tangan Eric yang ia genggam meremasnya dengan lemah. Jeno tersenyum kecil, adiknya itu menyadari keberadannya.

"Iya, ini Jeno" Kata Jeno menyebutkan namanya lagi.

Mata Eric yang memerah terbuka sayu, tubuhnya terasa remuk di berbagai bagian. Terlebih lagi persendiannya yang ngilu bukan main. Sementara kedua pipinya terasa perih karena tertekan oleh masker oksigen yang terpasang disana.

lacuna; jeno eric. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang