19 : Make it better?

331 84 2
                                    

Malam itu Chan masih ada di studio musiknya bersama teman band-nya yang lain. Moodnya yang tidak begitu baik membuat ia lebih banyak diam ataupum memainkan gitarnya sambil melamun.

Kalian tau tidak sih perasaan sedih yang mendalam seperti apa? Sebab Chan kala itu sedang mengalaminya. Ia sedih, tapi tidak bisa mengekspresikannya dengan baik dan pada akhirnya berakibat pada pikirannya.

Jay duduk di sampingnya kemudian bertanya, "Jia?"

Chan mendongak, "Hah?"

"Lu ngelamunin si Jia?"

"Kaga."

"Terus?"

"Tau dah."

Kean dan Darrel pun ikut mendekati Chan, mereka juga bingung mengapa si jangkung itu sejak tadi sangat diam.

"Jangan terlalu banyak pikiran lah Chan, kita bentar lagi mau ikut ILC nih." Celetuk Darrel yang dihadiahi jitakan oleh Kean.

"ILC Bapaklooo! HITC!" Sewot Kean.

"Beda dikitt elahhh!"

"Bacot bener Upin Ipin!" Hardik Jay.

Disaat teman-temannya adu mulut, Chan melirik Jam dinding yang ada di dekat pintu. Tak terasa kini sudah jam 12 malam, padahal tadi saat mulai latihan masih jam 7.

"Pulang kuy," ajak Chan.

"Kuylah, ini emak gua juga udah nelponin." Kata Darrel.

Mereka pun mulai membereskan alat-alat musiknya.

Oh ya, Abyan dan Kaizan juga sebenarnya termasuk kedalam Band merekaㅡ hanya saja kedua anak itu tidak begitu serius, paling hanya ikut manggung di cafe-cafe ... Tidak seperti Chan, Jay, Kean, dan Darrel yang manggung di acara-acara besar juga.

Setelah selesai beberes, mereka keluar dari studionya dan bergegas pulang. Chan sendiri sejujurnya tidak ingin pulang, ia malas bertemu dengan Papanyaㅡtapi kemana ia harus pergi?

Ke hotel? Tidak. Chan rasa itu bukan keputusan yang bagus sebab Papanya pasti memperhatikan gerak-geriknya, ia tidak ingin hal tersebut nantinya menyebabkan kesalah fahaman. Lalu ia harus kemana?

Ia pun mengeluarkan ponselnya, menelpon Kaizan terlebih dahulu.

"Zan"

"Oit, ngapa?"

"Gua nginep boleh kaga?"

"Ya boleh aja, cuma masalahnya gua sama si Abyan lagi ke Bandung. Di rumah cuma ada ibun sama ekal."

"Ngapain ke Bandung?"

"Nganter si byan monyed, Uminya yang di Bandung sakit terus dia gaada yang nganter."

"Oh, oke deh. Salamin ya Zan, semoga cepet sembuh."

"Yooo, gua tutup ya?"

"Hm."

Kalau begini caranya, mau tidak mau ia pulang ke rumah.

*

"Kenapa baru pulang?"

Chan yang sedang memarkirkan Vespanya itu menoleh, di pintu yang menghubungkan antara dapur dengan garasi itu ada Papanya yang bersidekap dadaㅡ memandang Chan dingin.

"Latihan." Chan lantas mendekat ke arah snag Papa lalu menyalami tangannya, ia hari ini sudah sedikit 'waras'ㅡtidak lagi bersikap tidak sopan seperti hari lalu.

Anak dan Ayah itu pun masuk kedalam rumah, tapi disaat Chan hendak pergi ke kamarnya ia ditahanㅡdisuruh makan terlebih dahulu.

Demi menghargai dan tidak mau mencari keributan, Chan menurut. Ia duduk di meja makan, melahap nasi goreng buatan sang Papa dengan beliau yang duduk di hadapannya.

"Chan," Panggil Papa.

"Hm?"

Papa mengeluarkan empat lembar foto dari saku piyama-nya lalu meletakannya di depan piring Chan, "Kenapa kamu enggak bilang apa-apa?"

Chan menggerinyit heran, perhatiannya pun jatuh pada foto ituㅡyang mana itu adalah foto-fotonya dengan Jia yang ia pajang di kamarnya.

"Percuma, kalaupun Chan bilang apa bakal ngubah keputusan Papa?"

"Setidaknya kamu bilang, memangnya kamu mau kalau nantinya kamu berpacaran sama adik tiri sendiri?"

"Chan udah putus pa, gak ada hubungan apapun lagi."

Papa tersenyum miring, "Oh, lalu apa dengan udah putus kamu bisa lupain dia?"

Chan mengangkat bahunya acuh, tidak menjawab pertanyaan tersebut.

"Kamu maunya bagaimana?"

"Apa yang gimana?"

"Tentang pernikahan Papa sama Mama Jia, haruskah dilanjutkan?"

"Terserah."

Helaan nafas pun keluar dari mulut Papa, Chan itu memang sangat mirip dengannyaㅡkeras kepala dan menyebalkan.

"Kamu masih mau perjuangkan dia atau enggak?"

"Jia have boyfriend, Pa. He's better than me. Gaada alesan buat aku balik lagi ke dia, jadi ya yaudah Papa nikah aja."

Chan sangat munafik ya? Mulutnya berkata seperti itu, hatinya tetaplah menginginkan Jia.

"Menyerah?"

"Hm."

"Gak bakal menyesal?"

"Hm."

"Jangan minta izin Papa buat pacaran sama dia lagi kalau kita udah jadi keluarga nanti, karena Papa enggak akan ngizinin."

"Hmm."

"Chan Azyean, kamu kenapa jadi pengecut begini?"

"Lalu Chan harus apa, Pa?" Chan meletakkan sendok ya ke atas piring, menatap Papanya lelah.

"Perjuangkan?"

"Maksud Papa nikung pacarnya?"

"Why not? u can do that, selagi Jia juga masih punya perasaan ke kamu."

"Aku rasa Jia udah enggak punya perasaan itu, Chan banyak nyakitin dia."

Papa tertawa pelan, "Chan ... Chan ... Kamu itu gak pekaan banget ya? Mama Jia sendiri bilang ke Papa kalau anak gadisnya masih sering curhat tentang kamu ke dia."

"Tapi aku juga enggak mau egois, Mama Jia juga pasti sayang banget sama Papa."

"It's ok, kita sebagai orang tua enggak begitu mikirin soal itu. Lagipula Jihan still love her husband sama kaya Papa yang masih sayang Mama. Kita cuma kesepian Chan, dan Papa juga pengen punya orang yang ngurusin Papa. Se-simple itu, dan Papa bisa ngalah kalau emang kamu mau perjuangin Jia."

Ucapan Papa itu membuat Chan termenung, apa ia bisa membuat hubungannya dengan Jia membaik?

"Chan ragu..."

"Gak usah ragu. Kamu itu Chan Azyean, anak Papa yang paling percaya diri."

***
1 Juni 2021 ; 21:11

Satu chapter lagiii hehehhhhh

ghost - chansoo✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang