MALIK mendesah frustasi, ia sudah mencari putrinya kemana saja, tetapi hasilnya nihil. Ia tak mendapati satupun tanda tanda keberadaan Alya. Sudah berulangkali ia menelfon putri semata wayangnya itu, tetapi tetap saja ujung ujungnya tidak diangkat.Ia tahu ia melakukan kesalahan besar, tetapi ini semua untuk kebaikan Alya, ia tak mau melihat Alya menjadi gadis yang jauh dari syari'at-Nya. Semua ini adalah salahnya, ia adalah pemimpin keluarga, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Lantas apa yang akan ia katakan kepada Rabb-Nya bila dirinya lalai mendidik Alya?
"Pak, maaf saya sudah cari di rumah teman non Alya.. tetapi mereka tidak tahu." Pria yang usianya sudah setengah abad itu menghampiri tuan nya.
Malik menoleh menatap Pak Ojan, supir pribadi putrinya selama enam tahun terakhir. Ia memang tak becus mendidik Alya, selama ini ia hanya sibuk dengan dirinya sendiri.
Kini Alya sudah remaja, dan masa kanak-kanaknya terlewatkan begitu saja tanpa ia dampingi. Ia amat menyesal, andai saja waktu dapat diputar kembali. Ia akan meninggalkan seluruh pekerjaan nya dan menemani putri kecilnya seharian. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, putrinya tumbuh begitu cepat tanpa dampingan darinya.
Malik menghela nafas panjang kemudian beralih menatap Pak Ojan yang masih setia disampingnya. "Tidak apa apa pak. Biar saya sendiri yang cari." ujarnya kemudian bangkit dari duduknya dan menuju mobil.
Di lain tempat, seorang gadis berbaju navy itu menunduk sembari memeluk lututnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup terkena guyuran air hujan. Matanya memerah, wajahnya pucat pasi, badannya terus menggigil menahan rasa dingin yang menusuk pori pori kulitnya.
Hatinya hancur, pikirannya kacau, ia ingin berteriak sekencang kencangnya, kenapa semesta mempermainkannya? Apa dirinya tak berhak bahagia sebentar saja?
Seperti nya jalan satu-satunya adalah mengikuti keinginan Abahnya. Ya, masuk pesantren. Mungkin dengan cara seperti ini ia bisa melupakan semua masalahnya. Biarkan ia terkekang di balik jeruji besi tak kasat mata, yang terpenting hidupnya bebas dari semua masalah.
Seorang gadis lain dari arah belakang berlari menghampiri Alya yang tengah berteriak frustasi. Hana, gadis itu menyelimuti tubuh sahabatnya yang sudah membeku.
"Alya.. udah! Gue mohon, ayo turun. Badan lo udah dingin banget ini. Nanti lo bisa sakit Al." Titahnya seraya mencoba menarik Alya dari duduknya.
Alya menepis kasar tangan Hana. Bukan, bukan ia membenci sahabatnya ini, hanya saja saat ini ia ingin sendiri, meluapkan semua esmosi nya.
"Pergi, Na! Gue mau sendiri." teriaknya menyaingi derasnya hujan.
"Lo bukan Alya yang gue kenal. Alya yang gue kenal dia kuat, dia bijak ngadepin masalah, dia tangguh!!
Al.. gue mohon, gue gamau lo kenapa napa. Gue janji gue bakal cari pelaku penyebar foto itu. Lo wanita kuat Al. Lebih kuat dari siapapun, lo yang gue kenal ga mudah putus asa."
"Gue cuma pura pura kuat Na!!" sahut Alya memotong ucapan Hana.
"Engga Al, lo kuat!! Gue tahu itu. Jangan mudah menyerah! Gue yakin foto itu ga bener, jangan langsung mudah tertipu Al!"
Keduanya kini terdiam dibawah derasnya hujan, sibuk dengan pikirannya sendiri yang kacau, petir menyambar nyambar seolah mewakili hati kedua insan dibawahnya.
Dengan sangat terpaksa, Alya berdiri dari duduknya, kakinya mulai melangkah walaupun berat, badannya menggigil hebat menahan dinginnya hujan, matanya sayup sayup menatap Hana yang jaraknya kurang lebih satu meter di depannya.
"Ha..na-"
Badannya ambruk begitu saja, pandangannya kian memburam, Hanya lengkingan suara Hana yang menggema di telinganya sebelum ia benar-benar tak dapat merasakan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya Qaisarah [REVISI]
Teen Fiction"Dunia ini bukanlah tempat untuk beristirahat, tempat istirahat yang sesungguhnya adalah surga." Begitulah kata Abah. Disaat yang lain tengah sibuk membenahi diri dan karir. Aku tengah dituntut untuk mengembalikan imanku yang telah lama hilang. Usia...