BEL rumah berbunyi nyaring, membuat sang empu rumah bergegas menuju pintu utama.Adnan memutar kenop pintu sembari menjawab salam. Setelah melihat sosok dari balik pintu, Adnan sedikit terkejut kemudian segera menyalami sosok tersebut.
“Ya Allah ustadz, bagaimana kabarnya? Sudah lama tidak bertemu.” ujar Adnan membuat sang lawan bicara terkekeh pelan sambil menepuk pundak sang murid.
“Alhamdulillah bi khayr. Kebiasaan, selalu saja panggil ustadz, nan.. Adnan.” kekeh Malik membuat Adnan tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya.
Malik Ibrahim, disela sela kesibukannya sebagai seorang CEO, ia selalu menyempatkan diri datang ke pesantren milik teman lamanya, Abidzar.
Entah itu untuk mengajar, atau membersihkan beberapa daerah kawasan pesantren. Ia melakukan semua ini semenjak istrinya wafat, dirinya ingin menghabiskan waktunya untuk mengajar para santri.
Jika ia terus berada di rumah, ia akan teringat dengan Halimah, dan membuatnya semakin berlarut larut dalam kesedihan. Tapi disisi lain, ia gagal menjadi ayah untuk putrinya. Ia sudah berhasil mendidik anak orang lain, tetapi anaknya sendiri ia terlantarkan. Ia benar benar brengsek bukan?
Malik selalu menjadi guru favorit di kalangan santri putra, pasalnya cara mengajar nya yang sangat asik dan tidak membosankan, ditambah lagi pelajaran yang diterangkan dapat mudah dipahami oleh para murid.
Tetapi tak berlangsung lama, tiga tahun kemudian Malik memutuskan untuk berhenti mengajar, ada sesuatu hal yang membuatnya terpaksa mundur dari pekerjaan sampingan yang ia tekuni selama tiga tahun lamanya itu.
“Ustadz masuk dulu kedalam. Biar Adnan panggil kan Ayah.” ujar Adnan mempersilahkan Malik masuk.
Malik membalasnya dengan anggukan dan seulas senyum. Netra nya menjelajah seisi ruang tamu yang di dominasi berwarna hitam putih. Tanpa ia sadari sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil.
“Maa syaa Allah Maaliik..!” teriak seorang pria yang usianya sudah berkepala empat itu.
Malik terkekeh pelan melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Dengan semangat ia menarik Abdizar kedalam pelukannya dan menepuk pundak sang sahabat membuat keduanya tertawa.
“Ya Allah lik, lik. Kamu itu lo, ilang kemana aja tiga tahun ini?” tanya Abidzar sambil memukul pelan lengan sangat sahabat.
Malik tersenyum tipis, “Aku minta maaf ya Dzar. Aku ngga ada maksud kaya gitu, tapi keadaan memaksa, aku ga bisa apa apa selain pasrah.” ujarnya.
“Wes tha, aku ngga masalahin tentang itu. Aku ini khawatir sama keadaanmu. Tiga tahun ngga kasih kabar kan jadi takut ente kenapa napa.”
“Alhamdulillah aku baik Dzar,” ucap Malik, yang berbanding balik dengan kenyataan nya.
“..Dan untuk urusan itu, panjang Dzar, kamu bakal puyeng dengernya.” kekeh Malik disambut senyuman oleh Abidzar.
Seketika Malik tersadar pada sebuah bungkusan yang berada di tangan kanannya.
“Ya Allah, aku sampai lupa. Ini ada sedikit bingkisan buat ente. Maaf ya aku ngga bisa kasih lebih.” ucap Malik sembari menaruh sebuah bungkusan berisi bermacam buah buahan keatas meja.
“Ck. Kamu ini lo kok repot repot bawain ini segala. Udah kaya sama siapa aja.” ujar Abidzar kemudian mengucapkan terimakasih.
“Yaudah yaudah, kalo gitu ayo ke rooftop rumah aja. Disini hawanya panas, haha.” ajak Abidzar dan diangguki oleh Malik.
•••
Alya menyenderkan kepalanya pada rak buku perpustakaan kamar nya. Beberapa menit yang lalu ia baru saja menghubungi Hana, sahabatnya. Ia meminta solusi dan keputusan yang akan ia ambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya Qaisarah [REVISI]
Ficțiune adolescenți"Dunia ini bukanlah tempat untuk beristirahat, tempat istirahat yang sesungguhnya adalah surga." Begitulah kata Abah. Disaat yang lain tengah sibuk membenahi diri dan karir. Aku tengah dituntut untuk mengembalikan imanku yang telah lama hilang. Usia...