ALYA menyesap teh hangatnya. Pakaiannya sedikit berantakan akibat berlari begitu jauh. Kakinya mati rasa, badannya begitu pegal dan sekarang ditambah kepalanya pening. Ah, komplit sudah permasalahan Alya.Rasanya ia ingin pulang dan merebahkan diri di kasur empuknya, jika saja dirinya tak ingat bahwa sedang marah pada Abahnya.
Dari kejauhan seorang waiters dengan nampan ditangannya menghampiri meja Alya. Alya yang menyadari kehadiran waiters tersebut kemudian menoleh.
"Maaf Mbak, ini sudah jam dua belas lebih.. sebentar lagi cafe nya akan segera ditutup." Ucapnya sambil mengulum senyum.
Alya tersenyum kikuk kemudian mengambil sling bag nya dan berjalan menuju meja kasir.
Pikirannya berkecamuk memikirkan bagaimana cara dirinya tuk pulang, sedangkan uangnya hanya tersisa lima puluh ribu, dan itupun sudah ludes digunakan untuk membayar makanannya tadi.
Alya menghela nafas panjang, saat ini suasana jalanan sudah lenggang dari kendaraan. Gelap dan sunyi menemani kesendirian Alya. Hanya ada remang remang cahaya dari lampu jalanan.
Alya semakin mengeratkan blouse nya ketika hawa dingin menusuk pori pori kulitnya. Kakinya sudah sangat lelah setelah berlarian begitu jauh. Kepalanya juga terasa sangat pusing, badannya remuk dan pikirannya kacau. Ia sudah pasrah, jikalau memang takdir memihak nya, dengan cara apapun ia pasti dapat kembali pulang.
Alya mendongakkan kepalanya ketika merasa ada setetes air jatuh tepat diatas wajahnya. Sedetik kemudian hujan lebat tiba tiba kembali datang, membuat dirinya kalang kabut mencari tempat berteduh.
Alya menyandarkan tubuhnya dibawah pohon mangga. Badannya menggigil menahan rasa dingin yang menggerogoti seluruh tubuhnya. Sesekali ia mengusap kedua tangannya yang hampir membeku. Alya memejamkan matanya kuat kuat, ia tak bisa menahan hawa dingin ini lebih lama lagi. Ia berharap Rabb nya mendengarkan rintihan kecilnya ini.
Sepuluh menit lamanya Alya terjebak hujan lebat. Badannya sudah membeku, bibirnya pucat dan sorot matanya sudah mulai redup. Ia benar benar seperti mayat hidup.
Tepat Alya memejamkan matanya, tiba tiba dari arah depannya suara bariton mengagetkannya, membuatnya terpaksa membuka matanya kembali.
"Mbak nya tidak apa apa?"
Seorang remaja laki laki kisaran usia enam belas tahun itu menatap gadis disampingnya ini khawatir. Pasalnya wajah Alya pucat pasi, dan tubuhnya menggigil hebat.
Ia baru saja pulang dari pasar untuk membeli perlengkapan memasak. Tetapi ia terpaksa menepi karena hujan lebat tiba tiba turun. Ketika melihat kondisi Alya seperti ini, ia merasa iba, bagaimana pun juga ia memiliki saudari perempuan.
Alya mendengus dalam hatinya, apa laki laki itu buta? Sudah jelas jika dirinya sedang kedinginan, kenapa laki laki itu masih bertanya juga?
Laki laki jangkung bernama Adnan itu melepaskan jaket kulit yang melekat di tubuhnya, kemudian menyodorkan nya pada Alya.
"Kamu pakai, ini." Ujarnya sembari menyodorkan jaketnya.
Alya menghela nafas panjang, tangannya terulur untuk mengambil jaket yang diberikan laki laki itu, kemudian mengenakannya. Syukur, jaket itu memiliki bulu-bulu halus didalamnya, sehingga dapat sedikit menghangatkan tubuh Alya.
Dua puluh menit berlalu, kedua insan itu larut dalam keheningan dalam derasnya hujan. Keduanya tak ada yang mulai membuka percakapan. Baik Adnan maupun Alya. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing masing.
"Kamu rumahnya dimana? Biar saya antar pulang. Nggak baik tengah malam gadis masih diluar rumah, sendirian lagi." Ucap Adnan sedikit berteriak mencoba menyaingi derasnya gemuruh suara hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alya Qaisarah [REVISI]
Ficção Adolescente"Dunia ini bukanlah tempat untuk beristirahat, tempat istirahat yang sesungguhnya adalah surga." Begitulah kata Abah. Disaat yang lain tengah sibuk membenahi diri dan karir. Aku tengah dituntut untuk mengembalikan imanku yang telah lama hilang. Usia...