mother's bless

376 52 6
                                    

my point of view

Dua minggu . . .

Semenjak kepergian kapten, aku sendiri yang menjaga ibu di rumah sakit. Syukurlah kondisinya sudah membaik. Diajak bicara pun sudah bisa. Kadang kami berbincang lama untuk melepas rindu. Menjelaskan tentang apa saja hal yang sudah terjadi belakangan ini.

"Maafkan ibu, Y/N--" Tangan rapuh ibu menggenggamku lemah. Kerut keriput karena usia rentan menambah miris dalam dadaku. Ditambah lagi di saat kondisinya seperti ini, ibu justru mengucapkan kata maaf. "Ibu tak bisa menjagamu seperti selayaknya. Terlalu posesif dan tidak memberikanmu kesempatan untuk berbaur dengan dunia luar." Matanya menyiratkan penyesalan. "Tidak akan ada anak di dunia ini yang mau memaafkan orang sepertiku selain dirimu."

"Ibu. Tidak hanya ibu yang salah, aku juga. Bagaimanapun, kita sama-sama salah dalam saling mengerti.. Aku yang keras kepala, dan ibu yang terlalu over karena begitu menyayangiku."

"Aku yang terlalu menyayangimu? Apa kamu sungguh menganggap ibu menyayangimu?"

"Ibu?"

"Kamu tahu bukan, kau ini hanya sekedar benda untuk meyakinkan suamiku agar membatalkan perceraiannya?"

"A-aku ta--"

"Aku fikir, saat dia tahu bahwa aku bisa melahirkan keturunan, ia akan membatalkan perceraiannya."

Bagaimanapun, alasan ibu memungutku bukan karena kasihan padaku. Melainkan karena . . .

"Aku hanya menjadikanmu alat sandiwaraku!"

Nafasku terpatah-patah. Mulutku kaku tak sanggup bicara.

"Ibu?"

"Dan sekarang lihat aku! Aku tak punya siapa-siapa. Disaat aku seperti ini, yang justru menolongku adalah kamu, Y/N. Bocah kecil yang sudah kucuci otaknya!"

Ibu memberontak, menyuarakan tangisan amarah.

"Ibu---"

"Apa yang membuatmu menganggap bahwa aku sayang padamu setelah apa yang kulakukan padamu?!"

"Ibu, tenang!" Aku memeluk paksa tubuh ibu.

Setetes basah membasahi pundakku. Air mata ibu jatuh mengalir deras bersama amarahnya. "Aku ini ibu yang jahat . . ."

Aku tak mengerti, apa yang wanita paruh baya ini tangiskan di pelukanku. Apa yang ia khawatirkan. Apa yang ia cemaskan.

Apa yang ia sesalkan?

"Apa yang ibu fikirkan? Kenapa ibu menganggap seolah tak pernah melakukan hal baik padaku? Padahal ibu sudah memberikan tempat untuk tinggal dan makanan, ibu sudah membelikanku baju-baju bagus dan boneka kuda kesukaanku, apa itu masih belum cukup membuktikan bahwa ibu menyayangiku?" Tidak boleh. Aku tidak boleh menangis di hadapan ibu yang sudah menyalahkan dirinya sendiri atas semua perbuatannya. "Ibu sudah menjagaku, berniat baik melindungiku dari dunia luar. Ibu melakukannya karena menurutku, ibu sayang padaku. Walaupun aku tahu, semua cara yang ibu pakai adalah salah."

Menangis hanya akan membuat ibu menganggap, bahwa aku menangis karena terluka.

Meskipun itu benar . . . aku masih terluka karenanya.

Tanganku mendekap ibu masuk ke dalam pelukan. Mencium aroma khas rumah sakit yang menempel di pakaian ibu. Tulang selangka yang semakin menonjol. Rambut putih yang kian terlihat. Aku semakin tidak tega untuk membenci wanita ini.

"Ibu melakukan semua cara yang salah itu karena . . . ibu sudah melewati hari-hari yang begitu berat."

Ibu sudah kehilangan percaya dengan orang-orang luar. Ibu sudah terlanjur kecewa dengan manusia selain keluarganya yang sudah tiada semenjak dirinya diinjak-injak karena miskin.

OUR DIMENSIONS || LEVI X READERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang