underground (3)

359 47 4
                                    

AKHIRNYA UPLOAD DENGAN BENAR JUGAAA😭

-
-
-

my point of view

Suara parauku tak bisa lagi berteriak meminta tolong.

Kakiku tak bisa lagi untuk beranjak berjalan.

Tanganku tak bisa melawan untuk lepas.

Seluruh tubuhku sampah, tak berguna.

Hanya mata yang mampu menangkap dinding kumuh yang telah lama ditinggalkan.

Bayang-bayang buram itu-- sebuah celana hitam panjang yang siap menerkam wajahku.

"Sayang, sampai dimana kita tadi?"



Hanya sedikit yang mampu kuingat--

Aku menghembuskan nafas panik. Memainkan jari-jemari dengan gerakan tangan bersilih ganti. Kaki bergoyang-goyang cemas. Memutar mata, melirik jam yang terpajang di dinding. Berdetik seirama dengan kepala yang berdenyut pusing. Sesak dada tiba-tiba merambat. Aku masih teringat dengan satu hal yang harus segera kuketahui.

Haruskah aku menemui Rebecca lagi?

Sedangkan di dalam ingatanku hanya terngiang-ngiang kalimat- "Jangan kemana-mana, tunggu aku pulang!" yang selalu berdengung di telinga. Dengan iringan bantingan pintu yang begitu keras, menandakan ia sedang tergesa-gesa. Mau kemana ia sebenarnya pergi?

Padahal kami baru saja sampai kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Aku bukannya marah, tidak. Hanya saja, bisakah ia diam disini untuk waktu yang lama? Jangan hanya mengajakku pergi, lalu meninggalkanku dengan iming-iming pesan tidak boleh kemana-mana sebelum ia pulang.

Kurogoh sebuah kertas kecil di kantongku. Alamat Rebecca. Tidak jauh dari sini. Mungkin untuk beberapa saat berjalan kaki, aku akan sampai ke kediamannya.

Cih. Memangnya apa yang dikhawatirkan oleh Kapten Levi? Apakah mentang-mentang karena satu kakiku sakit, aku harus diam disini tidak boleh berbaur dengan lingkungan luar?

Tali rambut terikat kuat di rambutku. Kubiarkan baris-barisnya berantakan di atas sana. Tak ada waktu untuk berbenah. Yang harus kulakukan adalah segera pergi, lalu pulang sebelum Kapten Levi datang.

"Kau mengada-ada!"

"Aku tidak mengada-ada, Y/N!" Wanita cantik yang duduk di hadapanku kini terlihat semakin marah. Kernyitan dahi mengerut jelas disana. "Harus kukatakan apa lagi padamu?!"

Bibir bawah kugigit dalam-dalam. Melampiaskan rasa cemas disana. Aku masih tak percaya satu kata pun yang terlontar dari mulutnya. Aku masih meragukannya. Tapi anehnya--semakin ia berbicara, semakin terlihat meyakinkan kebenarannya.

Rebecca beranjak dari duduknya. Berjalan, berdiri memunggungiku.

Aroma wangi tubuhnya menyebar ke seluruh ruangan. Sesaat, ia memutar tubuh, membuka resleting yang ada di punggung putihnya.

Bodoh. Ia ingin melepas bajunya.

"R-rebecca! Apa yang kau laku--"

"--aku sudah pernah mengaku pada orang-orang di atas sana, Y/N. Sebagian, ada yang menganggapku gila. Dan sebagiannya lagi percaya. Parahnya, mereka justru percaya, jika aku bisa berubah menjadi raksasa. Mereka menghakimiku secara sepihak. Aku kabur. Tak ingin nanti dieksekusi layaknya pemuda pemilik Attack Titan itu. Dan pada akhirnya, aku menemukan tempat ini. Walaupun kumuh dan jorok, setidaknya aku bisa kabur dari jeratan mereka." Rebecca memasamkan wajahnya. "Aku tak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, karena memang di luar sana banyak kekhawatiran yang harus mereka hadapi. Tentunya masalah dunia luar dan raksasa."

OUR DIMENSIONS || LEVI X READERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang