: Mencari

41 14 7
                                    


  Matahari tenggelam memang selalu menakjubkan untuk ditulis, entah kenapa Senja memang sangat fanatik terhadap matahari tenggelam itu, mungkin karna nama adalah doa dan Senja ikut menyukai matahari terbenam.

  Senja kembali memperhatikan tulisannya, sudah hampir jadi, hanya perlu ditambahkan beberapa kalimat lagi.

  Tersenyum senang, itu adalah reaksi yang ditunjukkan Senja saat melihat puisinya sudah selesai, dia tidak berfikir puisi itu paling bagus, tapi setidaknya senja kali ini tak terlewati sia-sia kan?

Sinar jingganya terbakar,
Tuan, tolong ambilkan air,
Sebentar lagi dia tenggelam,
Tuan, tolong dekap dengan damai.

  Senja menyeringai, tidak buruk-buruk amat, sih. Ya, lumayan lah. Prinsip Senja, tidak apa puisi hari ini memalukan, nanti saat kamu sudah sukses, orang akan tahu seberapa tangguh usahamu.

  Goresan pena yang ditulis di atas kertas itu menghasilkan suara lembut yang menjadi sensasi tersendiri bagi Senja. Teras rumahnya menjadi saksi, bagaimana Senja sangat mengagumi matahari. Oh, tidak, Senja tidak menyembahnya, hanya saja, gadis itu terlalu fanatik dengan bola merah raksasa itu.

Bintang besar berdiam di titik tata surya,
Berharap bisa memeluk semua yang mengitarinya,
Barang sekejap,
Lalu... hilang.

  Puisi kali ini sedikit menyentuh hati Senja, sepertinya. Bagaimana kalau nyatanya matahari ingin sekali memeluk Bumi, tapi tidak bisa, sekalinya mereka melakukan itu, hancur. Hancur lebur, tak ada yang tersisa.

  Hei, itu terdengar seperti mengulang masa lalu, saat partikel-partikel saling bertabrakan dan boom! Terciptalah tata surya, dengan matahari sebagai titiknya.

  Memikirkan hal itu hanya membuat Senja makin berpikir bahwa seharusnya dia masuk jurusan IPA saja, tapi tidak, tidak jadi. Senja hanya kepalang senang dengan bintang besar bernama matahari itu.

"Senja, masuk, sudah malam." Mama muncul dari balik pintu. "Berterima kasih pada matahari lagi?"

Senja nyengir. "Nggak, Ma."

"Masuk, sudah malam. Papa kayaknya pulang larut malam hari ini, tidak usah ditunggu," Mama berpesan, kembali masuk ke dalam.

  Senja tersenyum pada langit yang sudah gelap, lalu memejamkan matanya, terima kasih, matahari.

***

"Kalau dari garis tangannya, sih. Kayaknya kamu bakal ada masalah deh."

  Pagi hari Senja sudah disambut dengan Nindy yang meramal seorang perempuan di hadapannya. Zaman itu memang banyak ramalan-ramalan seperti itu, jadi sudah tidak aneh lagi.

"Masalah apa?"

"Ada tambahan uang kalau mau dikasih tau." Nindy memberitahu tarif yang dibutuhkan untuk 'konsultasi' tersebut.

  Senja menggelengkan kepalanya, ada-ada saja.

"Ja, lo mau gue ramal? Hari ini ada diskon khusus, potongan harga." Tampaknya Nindy sudah selesai dengan 'pasien' pertamanya. Nampaknya si pasien tidak berniat melanjutkan konsultasi ramalan itu dengan Nindy, karna harganya terlalu mahal.

"Nggak deh, makasih," tolak Senja. Dia memang tidak terlalu suka ramalan-ramalan seperti itu. Kan sudah dia bilang, dia hanya suka pada matahari tenggelam dan bintang-bintang, itu juga hanya sebagai inspirasi saat dia menulis.

Satu Langit Tiga Rona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang