Angin pagi hari Jakarta di tahun itu memang sudah mulai rusak. Maksudnya, sudah mulai banyak aktivitas menggunakan mobil atau motor di sana, membuat polusi semakin menjadi.Tapi menurut Fajar Surya Bumantara, udara pagi ini sangat-sangat pengap. Dimulai dari Senja yang terus menghantui Fajar dengan pertanyaan, "Mau ya jadi calon anggota lomba puisi?"
Fajar bingung harus menghindar ke mana lagi, Senja benar-benar nekat.
"Jar! Mau ya?" Senja tiba-tiba muncul di depan Fajar sambil memelas. Bahkan Fajar yakin bahwa Senja rela mencium telapak kakinya hanya agar Fajar ikut jadi calon anggota lomba puisi itu.
"Nggak ya, Senja. Maaf." Fajar memilih berjalan pelan sembari menikmati udara yang makin pengap.
"Tolong, Jar. Gue disuruh Bu Elis. Gue udah jungkir balik nyari ke seluruh penjuru sekolah, tapi hasilnya nihil." Senja menghela napas lelah. "Cuma lo harapan gue."
"Senja, nggak ya, makasih." Fajar kembali menyingkirkan Senja dari hadapannya. Lalu kembali berjalan santai, karna jika dia berlari, Senja akan mengejarnya seperti harimau mengejar mangsanya.
Senja memanyunkan bibirnya, menyeret kakinya agar Fajar melihat betapa mengenaskannya Senja sekarang, berharap Fajar sedikit saja peduli dan mengikuti apa kemauannya.
Fajar berbalik, mengikuti kata hatinya, dan melihat Senja yang sudah seperti manusia kehilangan tulangnya.
"Kok lemes gitu?" Tak tega dengan Senja, Fajar memutuskan bertanya.
"Gue lemes karna lo nggak mau ikut lomba," keluh Senja, "padahal gue ngarep banget lo bisa ikut."
Fajar mengerutkan keningnya. "Memangnya penting banget ya?"
"Bagi gue sih, iya. Jelas penting karna mimpi gue ada di sana, tapi gue juga dikasih tanggung jawab sama Bu Elis buat cari tambahan orang. Jadi gue minta lo ikut lomba bukan buat gue, tapi buat Bu Elis, buat SMA Bima Sakti juga, Jar."
Fajar menatap Senja yang loyo, seperti kehabisan tenaga. Ralat, kehabisan tenaga, harapan, serta kepercayaan.
Sebenarnya Fajar kasihan melihat Senja yang benar-benar jungkir balik mencari orang untuk dikirim ke lomba puisi itu, mungkin karna orang dengan bakat itu benar-benar sedikit atau ada alasan lainnya, Fajar tidak tahu.
Fajar mengasihani Senja bukan berarti dia benar-benar ingin membantu Senja yang kesusahan. Jika dirinya mengikuti lomba itu, dirinya akan lebih mengenaskan jika dihadapkan lomba semacam itu.
Fajar tidak terlalu suka menulis, dia hanya melakukannya sebagai selingan, bukan seperti Senja yang melakukannya sebagai rutinitas. Jadi dia rasa, belum ada alasan yang benar-benar tepat untuk dia mengikuti lomba tersebut.
"Gue nggak bisa bantu apa-apa selain doa, semoga ketemu yang mau ikut lomba puisinya, ya."
***
Senja melangkahkan kakinya dengan lunglai, dia akan mengisi perut kosongnya dengan makanan di kantin. Sudah beberapa hari terakhir ini dia merasa benar-benar 3L alias letih, lesu dan lemah.
Mama bahkan geleng-geleng melihat anaknya yang kadang berapi-api, tapi pulang-pulang murung.
Huh, Senja kesal sekali dengan lelaki bernama Fajar itu, ikut saja apa susahnya sih? Tidak akan merugikan pula, itung-itung menambah pengalaman.
Senja tidak mengerti alasan Fajar menolak bergabung, namun yang Senja yakini sebenarnya Fajar mau, Senja yakin itu. Lihat saja mata Fajar, tenang tapi terdapat keraguan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Langit Tiga Rona
Подростковая литература[COMPLETED] "Kalau memang dia bukan peran utamanya, lalu kenapa dia harus hadir? kenapa harus memporak-porandakan hatiku, dan ternyata... dia bukan sang pemeran utama?" "Begitu cara semesta mempermainkan para tokohnya, Senja." Bagi Fajar, Senja ada...