Senja melangkahkan kakinya menuju parkiran, sedikit terburu-buru, membuat rambutnya terlihat berantakan.Menginjak kelas 12 memang bukan hal mudah, apalagi pertengahan semester seperti ini. Tugas, les, dan buku-buku persiapan masuk PTN menjadi teman sehari-hari bagi anak kelas 12, begitu pun Senja.
"Hai," sapa Senja pada Fajar yang telah menunggunya di sepeda. Fajar tersenyum, langsung duduk di jok depan, sedangkan Senja duduk di jok belakang.
Rencananya, setelah bertahun-tahun lamanya, Fajar memutuskan untuk datang ke kantor radio Sandhya. Fajar penasaran dengan Sandhya, setelah berdiskusi dengan Senja, akhirnya Senja ikut menemani Fajar.
Senja tersenyum, sedikit lega menghirup udara sore hari setelah semua kegiatannya di hari ini. Matahari terlihat sedang ditutupi oleh awan. Namun, Senja tahu matahari akan muncul lagi nanti.
Fajar mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang, agar angin sepoi-sepoi terasa sangat menenangkan. Di saku celananya tersimpan walkman kesayangannya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Fajar dan Senja akhirnya sampai di kantor cabang stasiun radio tersebut. Fajar tersenyum sumringah, berharap hari ini adalah hari keberuntungannya untuk bertemu sang idola.
"Maaf, Mas. Ada kepentingan apa ya?" Satpam yang berjaga bertanya.
Fajar celingukan, dia sendiri sekarang. Senja tadi izin untuk ke toilet sebentar.
"Saya ... mau bertemu Sandhya." Fajar menjawab dengan jelas, sedikit gugup, takut diusir.
"Sandhya nggak bisa ditemui, Mas. Pertama, hari ini Sandhya nggak siaran. Kedua, Sandhya memang nggak menerima bertemu siapa pun, Mas. Maaf ya," jelas satpam tersebut. Jelas betul, satpam itu mengusir Fajar secara halus.
"Oh, gitu. Makasih ya, Pak." Fajar tersenyum, berbalik badan dan menemukan Senja sudah duduk rapi di kursi belakang sepedanya.
"Kenapa, Jar? Dapet tanda tangan Sandhya-nya?" Senja bertanya antusias. Fajar menggeleng kecewa.
"Yah, kenapa?"
"Sandhya nggak bisa ditemuin, Ja," jawab Fajar.
Senja tersenyum, dia sudah tahu itu. "Ya udah, daripada sedih, mendingan kita cari makanan deh di sekitar sini, aku yang traktir."
Fajar tersenyum. Mereka selalu seperti itu, menyemangati satu sama lain saat satu di antara mereka sedang melewati hal-hal yang buruk.
Fajar mengayuh sepedanya, mengarah ke tukang cendol di dekat kantor bank yang jaraknya tak jauh dari kantor radio.
Senja memesan dua gelas cendol, dan memakannya di tempat bersama Fajar.
"Kamu nggak sedih kalau nggak bisa ketemu Sandhya?" Fajar bertanya, sambil meneguk es cendolnya.
Senja menggeleng. "Sandhya bukan idola aku, ada orang yang lebih pengen aku temui daripada Sandhya."
"Siapa?"
Senja menaruh es cendolnya, lalu membuka tas sekolah dan mengeluarkan buku berjudul 'Rindu yang Pilu'.
"Ini, penulis favorit aku. Buku ini aku temuin di perpustakaan, setelah dibaca, ternyata seru. Aku pengen banget punya buku ini, aku udah cari ke toko buku bekas, nggak ada. Toko buku besar juga nggak jual. Lagi, aku nggak tahu nama penulisnya siapa," adu Senja.
"Kok bisa?"
"Nggak tau, deh. Kayaknya, ini buku cetakan pertama, atau bahkan buku ini koleksi pribadi aja. Yang jelas, aku nggak pernah tau siapa penulisnya." Senja menjelaskan. Memperlihatkan sampul buku itu yang tidak mencantumkan nama penulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Langit Tiga Rona
أدب المراهقين[COMPLETED] "Kalau memang dia bukan peran utamanya, lalu kenapa dia harus hadir? kenapa harus memporak-porandakan hatiku, dan ternyata... dia bukan sang pemeran utama?" "Begitu cara semesta mempermainkan para tokohnya, Senja." Bagi Fajar, Senja ada...