Senja membuka-buka lembar demi lembar buku Rindu yang Pilu itu. Entah siapa penulisnya, tidak ada di bagian cover buku itu, atau di halaman belakang bukunya.Tidak masalah, Senja lebih tertarik pada isinya, bukan penulisnya, jadi Senja merasa baik-baik saja saat tidak mengetahui siapa penulisnya.
"Jatuh cinta itu membingungkan,
Lebih rumit dari matematika,
Ataupun konspirasi alam semesta,
Tapi banyak orang telah jatuh cinta,
Walau mereka tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan."Senja teringat Fajar saat membaca itu, walaupun melewati lika-liku yang menyakitkan, banyak orang memilih terus berjuang. Aneh.
"Cinta itu bentuk candu,
Yang ditelisik semakin indah,
Dan ditinggalkan semakin rindu,
Walau tahu semua itu semu."Menarik, cinta itu semu. Senja terkekeh pelan saat membacanya, hujan di luar menambah kesan spesial saat membaca buku.
"Senja!" Suara Mama mengganggu acara membaca Senja, namun Senja memilih untuk turun ke bawah dan menghampiri sang Mama.
"Ada apa, Ma?" Senja bertanya dengan malas, padahal mereka sudah selesai makan malam tadi, harusnya Mama mengerti bahwa ini waktunya Senja untuk sendiri.
"Ada telfon tuh, dari Charmine katanya." Mama menunjuk telfon rumah, memberikannya pada Senja.
"Halo?" sapa Senja, mendengar suara hening di seberang sana.
"Ja...."
"Iya, Char. Ini gue, lo kenapa?" Tiba-tiba Senja merasa panik, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Inara, Ja. Inara...."
"Iya, Inara kenapa?" Senja makin was-was.
"Inara kehujanan, Ja. Gue gak tau kenapa dia bisa sampai basah kuyup kayak gitu. Dia pingsan di deket tukang buah yang gak jauh dari rumah Zhiva. Gue sama Zhiva udah di rumah sakit, lo harus liat Inara, Ja."
Suara Charmine di seberang sana terdengar bergetar, entah kedinginan atau kondisi Inara memang sangat menyayat hati.
Setelah meminta alamat rumah sakit, Senja langsung berlari ke kamarnya, berganti baju secepat kilat.
"Mau ke mana, Sayang? Ini sudah malam, hujan lagi, kamu mau sakit?" Papa bertanya, melihat anak gadisnya sudah memakai jaket tebal.
"Temen Senja masuk rumah sakit, Pa. Senja harus ke sana," jelas Senja sambil memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas.
"Kamu di anter supir saja, ya?" tawar Mama.
"Nggak, nggak usah. Senja berangkat sendiri aja ya, Ma, Pa." Senja memohon, menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Ya sudah, jangan ngebut," peringat Papa, "ini kuncinya."
Senja mengangguk, secepat kilat salam kepada kedua orangtuanya itu, lalu berjalan cepat menuju mobil.
Senja memakai mobil BMW milik sang Papa, dan tidak menaati perintah papanya untuk tidak ngebut. Nyatanya Senja mengendarai mobilnya dengan kecepatan lebih cepat dari biasanya, rasa panik itu membuat Senja seperti ini.
Setelah sampai di rumah sakit, Senja langsung mencari nomor kamar Inara. Dia langsung menemukan kamar Inara dan melihat Charmine dan Zhiva juga sudah ada di sana.
"Inara gimana?" tanya Senja dengan khawatir.
"Kehujanan," bisik Zhiva, "gue lagi beli buah sama kakak gue, terus lihat kerumunan orang banyak. Setelah gue liat, ternyata Inara."

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Langit Tiga Rona
Dla nastolatków[COMPLETED] "Kalau memang dia bukan peran utamanya, lalu kenapa dia harus hadir? kenapa harus memporak-porandakan hatiku, dan ternyata... dia bukan sang pemeran utama?" "Begitu cara semesta mempermainkan para tokohnya, Senja." Bagi Fajar, Senja ada...