: Sandhya

22 4 0
                                    


  Fajar tak berhenti bersiul sepanjang perjalanan ke sekolah. Dia terus mengayuh sepeda merahnya, membuat roda itu berputar dan membuat sepeda itu maju.

  Fajar merasa senang hari ini, selain karna dia sudah selesai membaca buku '1001 Rembulan' yang dipinjami Senja, Fajar senang karna siaran Sandhya kemarin sangat menarik untuk disimak.

  Fajar sudah mendengarkannya, dan kemungkinan besar akan mendengarkannya lagi. Sandhya kemarin membawakan materi yang sangat puitis, lalu menyanyikan sebuah lagu. Ah, mendengar suara Sandhya yang lembut membuat suasana hatinya meningkat drastis.

"Hai, Jar," sapa salah satu teman sekelasnya. Fajar tersenyum, mengangguk.

  Fajar memarkirkan sepedanya, sepeda ini sepeda Fajar saat kelas 10 lalu, pengganti sepeda ontel lamanya. Sebenarnya Fajar tidak terlalu memusingkan soal sepeda karna dia bisa berjalan kaki menuju sekolah, tapi karna orang tuanya ingin memberi hadiah, jadilah Fajar diberi sepeda merah itu.

"Cie, sepeda baru ya?" Senja bertanya sambil menutup dahinya, menghalau sinar matahari, padahal sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan.

Fajar menggeleng. "Ah, bukan. Ini sepeda lama."

"Keren tuh." Senja terkekeh. "Nanti ada latihan ya, jangan lupa. Aku ke kelas duluan ya!"

  Fajar mengangguk, membenarkan tali sepatunya lebih dahulu, lalu berjalan menuju kelasnya. 

"Pagi, Jar." Salah satu temannya menyapa.

"Pagi." Fajar menjawab. "Eh, gimana turnamen lo?"

Ardi mengembuskan napasnya kecewa. "Gagal total. Kalah."

"Yah, belum rezekinya kali, Bro." Fajar menepuk pundak Ardi pelan. "Nanti, kan, bisa coba lagi."

"Tim sekolah kita udah gagal berkali-kali, Jar. Nggak pernah menang." Ardi terlihat kecewa, tim futsal sekolah kalah lagi.

"Mungkin suatu saat nanti akan menang. Inget, Di, pelangi itu indah, tapi nggak selalu muncul. Kalah, hilang, tergantikan, itu biasa." Fajar menggaruk tengkuknya. "Maaf, gak bisa bantu banyak."

"Makasih, Jar." Ardi tersenyum. "Gue denger lo jadi calon anggota lomba puisi?"

"Iya, awalnya sih terpaksa, ya gitu deh," jawab Fajar sambil mengeluarkan bukunya.

"Gue sih yakin, bakal menang." Ardi tertawa. "Senja, kan, selalu menang. Jadi kalau lo bareng Senja, pasti menang."

"Bisa aja lo, amin deh." Fajar terkekeh, lalu kembali menghadap ke depan, siap untuk pelajaran.

***

  Senja sedang membaca koran di kelas, dia membawa koran ke sekolah karna penasaran dengan baris puisi, sajak, dan tulisan lain yang disajikan di baris kiri terbawah halaman 4 itu. Saat Senja membaca puisinya, timbul satu keinginan Senja, yaitu menerbitkan tulisannya di koran.

  Satu prosa senandika terpampang di sana, Senja menyukainya, sangat.

"Setiap bulan Desember, kau selalu menatap bintang jatuh dari kejauhan, entah mengapa, aku selalu ingin menjadi Desember, ingin kau tunggu-tunggu. Katamu, di langit Desember ada wajah seseorang yang terpampang di sana. Sial, siapa dia? Apakah aku? Ah, tidak mungkin, itu suatu kemustahilan. Tetapi jika iya, aku tidak akan menyangkal takdir.

Namun, hari ini kuputuskan untuk tidak akan menjadi Desember, karna kini kamu membencinya, maka biarlah aku menjadi bulan yang lain agar selalu kautunggu, didambamu, dan dicintaimu."

Satu Langit Tiga Rona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang