Fajar tiba-tiba duduk di depan Senja dengan muka murung, Senja pura-pura tidak tahu apa yang terjadi langsung memasang muka keheranan."Kamu kenapa?"
"Kecewa."
Senja memasang muka penasaran yang meyakinkan. "Kecewa kenapa?"
"Bulan nyobek puisi yang aku kasih buat dia," jawab Fajar dengan muka tertekuk.
"Ya ampun." Senja berlagak kaget, lalu meminum teh panasnya. "Kok bisa?"
"Dia minta aku buat berhenti deketin dia," jelas Fajar, "aku nggak bisa."
"Tapi yang namanya mencintai harus bisa merelakan dia bahagia, 'kan? Kalau kebahagiaan Bulan bukan kamu, ya lebih baik kamu nurut aja, iya 'kan?"
"Senja!" kesal Fajar lalu menatap Senja dengan tatapan tidak bersahabat.
"Oke, oke." Senja mengalah, menghadapi orang jatuh cinta memang selalu rumit. "Kamu mau apa?"
"Bantu aku buat deket sama Bulan, dong. Minimal jadi temen."
Senja memutar bola matanya malas. "Nggak bisa."
"Kok gitu?" protes Fajar.
"Kalau cuma jadi temen, Bulan pasti nggak mau. Dia tau kamu punya perasaan lebih ke dia." Senja berkata dengan malas, sebenarnya Fajar dan Bulan itu cocok, hanya saja Fajar terlalu takut, mungkin karena Bulan terlalu galak atau apalah, Senja tidak mengerti.
"Intinya, bikin Bulan nggak benci lagi sama aku, dong," pinta Fajar, "itu aja lebih dari cukup."
"Oke," final Senja, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kantin. "Tapi kamu tau, 'kan, kalau di dunia ini nggak ada yang gratis?"
Fajar menatap Senja dengan malas. "Jangan yang mahal-mahal!"
"Sip!" Senja tertawa lebar. "Beliin permen, nanti soal strategi, kita bahas di perpustakaan!"
Fajar menghela napas pasrah, tapi tetap mengikuti perintah Senja. Sebenarnya, Fajar tidak ingin meminta bantuan Senja karna menilai bisa sendiri, tapi semakin ke sini, Fajar membutuhkan seorang perempuan untuk mengerti perasaan perempuan lainnya.
Sesuai yang diinstruksikan Senja, Fajar datang ke perpustakaan saat jam sepulang sekolah, jam belajar puisi. Bu Elis sudah memberitahukan bahwa kemungkinan dia akan datang lebih telat dari biasanya karna ada keperluan lain.
"Nih." Fajar menyerahkan permen sebanyak 10 bungkus pada Senja. "Jangan lupa makannya di rumah, gak boleh makan di perpustakaan."
"Siap, Pak Bos!" Senja tersenyum sumringah lalu memasukkan permen pemberian Fajar ke dalam tas.
"Jadi, gimana?"
"Nanti aku bakal ngobrol sama Bulan, dia pasti kurang tahu kalau aku deket sama kamu, Jar." Senja mulai menjelaskan rencananya, menatap Fajar serius. "Terus ya gitu, ngobrol yang agak menyangkut kamu."
"Aku nggak yakin bisa berhasil. Bulan jutek banget, Senja."
"Yakin, bisa. Aku jamin," ujar Senja meyakinkan.
"Terserah, deh." Fajar mengeluarkan buku tulisnya, memilih untuk percaya saja pada rencana Senja.
Tak lama kemudian Bu Elis datang, memulai latihan seperti biasa. Senja dan Fajar, seperti biasa, larut dalam tugas masing-masing.
"Saya izin ke air dulu, Bu." Fajar berdiri, izin keluar perpustakaan.
Senja menatap Fajar sebentar, lalu menyerahkan puisinya ke Bu Elis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Langit Tiga Rona
Fiksi Remaja[COMPLETED] "Kalau memang dia bukan peran utamanya, lalu kenapa dia harus hadir? kenapa harus memporak-porandakan hatiku, dan ternyata... dia bukan sang pemeran utama?" "Begitu cara semesta mempermainkan para tokohnya, Senja." Bagi Fajar, Senja ada...