Apa yang akan kalian lakukan begitu kalender sudah tiba di minggu-minggu pakansi? Tentu saja pergi berlibur!
Musim panas datang. Salah satu tujuan top rekomendasi di awal-awal liburan tak lain tak bukan pantai. Kalian bisa melihat bibir pantai dibanjiri turis dan kelompok wisata selama dua minggu.
"Tungguin!" Seorang gadis berseru, mematut topi pantai di kepala. Pakaian renangnya tampak menawan. Bagaimanapun dia harus memperhatikan penampilan supaya tidak terlampau mencolok.
Temannya menyahut antusias, menunjuk ombak yang berdebur. "Ayo! Aku tak sabar ingin berenang!"
"Sebentar! Tali sepatuku lepas." Gadis itu berdecak sebal. Ada-ada saja penghalang untuk menyembur ke laut.
Sembari menunggu partner berenang selesai dengan urusannya, sosok itu menoleh ke sekeliling yang sepi. Wajar karena sekarang masih baru pukul delapan pagi, tak wajar jika tidak ada siapa pun (seperti petugas pantai) yang berpatroli dari ujung ke ujung memeriksa air pasang.
Hanya suara debur ombak menghantam bebatuan besar di lidah pantai sejauh telinga mendengar. Kicau burung yang bercengkerama di pohon kelapa. Masa sih baywatch belum datang?
"Hei!" Sang partner menyapa. Pita topi pantai di kepalanya berkelepak oleh angin.
"Terlalu sepi. Tidakkah kamu merasa aneh," kata temannya mengusap kedua lengan secara bersilangan. "Bukankah seharusnya Pantai Hedgelea ramai pengunjung turis? Tempat ini pantai terbaik di Moufrobi."
"Apa yang kamu harapkan? Kita terlalu cepat sampai. Tadi juga sudah kusuruh untuk menunggu sebentar. Kamu lah yang mendesak." Temannya itu mengibaskan tangan santai, tidak paham maksud air muka si partner. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Nanti juga bakal ramai. Ayo kita berenang dulu. Lihat, baju renangku bagus tidak? Cocok dengan proposional tubuhku yang semampai."
"Kamu tidak malu berkata seperti itu di depan laki-laki?" Si Partner memanyun.
"Memangnya kamu cowok?"
Hendak menegur sindiran itu, si partner lebih dulu menangkap keganjilan tak jauh dari mereka. Keningnya bertaut. Tampak banyak burung camar di batu besar.
Burung-burung itu berkerumun, saling mencuit memanggil teman-temannya, lantas terbang mengelilingi batu putih yang sudah berlumut tersebut. Seperti pemburu bersorak senang mendapatkan buruan.
"Eh, eh, mau ke mana? Aku sudah gatal mau lompat ke air nih."
"Di situ ada yang tidak beres," katanya melangkah ke depan. "Kawanan hewan unggas itu seperti merubungi sesuatu."
Temannya menatap tak percaya. "Astaga! Apakah kamu terpincut oleh aksi klub detektif Madoka dan juga ingin jadi detektif?"
"Ayolah, aku hanya penasaran. Janji deh langsung berenang setelah ini. Siapa pula tertarik dengan misteri—Eww! Bau apa ini?" Si partner refleks menutup hidung saat bau pekat tak sedap terhirup oleh indra penciumannya.
Kali ini tidak hanya dia yang penasaran, tetapi juga temannya. Mereka sama-sama menutup hidung. Burung-burung semakin banyak berdatangan, mengganggu langkah.
"Bau apa sih ini? Seperti klorin. Eww!"
"Hati-hati," peringat si partner. Mereka dengan pelan-pelan menjelajahi bebatuan putih. Sesekali membantu temannya supaya tidak tergelincir. "Aduh, harusnya kamu lepasin dulu sepatu hakmu itu."
"Ini bukan sepatu hak. Ini tuh pxelena bohemia buat bepergian. Apalagi ke pantai, bukankah terlihat cocok dengan gaunku? Kenapa model sepatu saja tidak tahu."
"Terserah kamu lah."
Si partner sudah jengah menasehati temannya yang tidak mau mendengarkan, jadilah dia diam dan meneruskan langkah ke batu paling besar di antara bebatuan pantai.
"Tunggu deh." Temannya membungkuk memungut suatu benda.
"Apa lagi? Kalau kamu tidak mau menemaniku, lebih baik tunggu aku di sana."
"Aku menemukan ini." Temannya memberikan sebuah kayu berdiameter dua senti dengan tinggi lima sentimeter dalam kondisi lapuk. "Tampaknya sudah terendam lama oleh air."
Perasaan si partner mendadak aneh. Dari mana kayu itu berasal? Dia meneguk air ludah, kembali lanjut berjalan.
Dua menit melewati anak bebatuan yang licin oleh lumut, akhirnya mereka sampai di jantungnya, spontan menegang di tempat.
"KYAAAA!!!"
Sosok manusia dengan kepala, dua tangan, dua kaki, yang sudah dimutilasi lalu dijahit ke badan boneka manekin. Setiap titik pergelangannya, terdapat tali yang kedang. Tali-tali itu menempel ke sendi-sendi kayu di atas kepala. Muka mayat dipaksa senyum.
Si partner syok, gemetar mengambil ponsel, menekan nomor 911. Temannya terduduk lemas dan memekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan Mupsi
Mystery / Thriller'MuPsi' Nama kasus yang mengakhiri nyawa kakak Aiden saat berusaha menguak kebenarannya. Sampai sekarang kasus itu terbengkalai, tidak selesai. Kenapa? Simpel, karena tidak ada yang berniat mengambilnya. Kasus Mupsi sempurna terkubur. Tetapi, klub...