23

538 191 28
                                    

"Tidak ada penolakan. Aku akan mengajarimu bela diri. Latihannya akan dimulai setelah musim panas berakhir."

"Lho?" Watson mengernyit. "Kok Paman ngatur? Aku menolak! Paman kan tahu sendiri aku tak suka perkelahian."

"Dan membuat dirimu dalam bahaya? Kamu beruntung tekadmu lebih kuat daripada kendali hipnotis si penipu itu." Beaufrot menggeleng tegas. "Pokoknya aku tidak mau tahu. Kamu harus pandai bertarung. Ayahmu menitipkanmu padaku supaya aman, tetapi apa yang terjadi, huh? Kamu hampir dibunuh."

"Yeh Paman, aku sudah terbiasa." Watson tersenyum nakal. "Lagian ya, alasan aku tak mau berkelahi karena karakterku bisa tambah kuat. Overpower sebutannya. Makanya supaya adil, mending tidak usah. Aku kan jago pakai senjata. Paman tidak usah khawatir."

"Kamu keras kepala sekali, ya." Kening Beaufort berkedut jengkel.

"Sudahlah, sudahlah. Aku sudah terbiasa. Namanya juga profesi detektif. Mending Paman liburan ke pantai sama Tante tuh, kan lagi musim panas. Aku mau ke sekolah." Cowok itu tanpa mendengarkan kalimat lanjutan Beaufrot, bergegas keluar dari rumah.

Beaufrot mengembuskan napas panjang. "Apa dia akan baik-baik saja?"

"Hahaha, kamu terlalu khawatir dengan keponakanmu, Sayang." Tante Watson alias Istri Beaufrot, muncul dari dapur sambil membawakan kopi, tersenyum menggoda.

"Tidak. Ini hanya tanggung jawabku."

"Masih saja menyangkal. Ya sudahlah. Sifat tidak mau kalah itu turun dari kakakmu, jadi aku maklum." Beliau tersenyum apa adanya.

"Apa aku harus mengirim pengawal untuknya?" Beaufrot berkata lagi. "Toh, pekerjaanku kan melindungi. Aku punya rekan yang lagi nganggur."

"Hus! Jangan. Tidak ada yang suka dikawal, apalagi remaja. Masa-masa pertumbuhan. Kamu bisa membuat perang ketiga dengan Watson."

"Tapi aku khawatir dengannya. Kamu juga, kan? Bagaimana kalau waktu itu Mupsi berubah pikiran dan betulan membunuhnya?"

"Kamu sedetik yang lalu bilang tidak..."

Beaufrot terdiam. "Ah."

-

"Untuk apa kamu datang kemari?" Momo tak sudi melihat wajah Aiden. "Menertawakan kekalahanku dan merayakan kemenanganmu berhasil menangkap Mupsi? Selamat, klub detektif Madoka lagi-lagi mendapat penghargaan."

Aiden menggeleng, dia menyodorkan sebuah buku album milik Anlow. Rambutnya terkuncir setengah, memakai pita kain dengan hiasan permata biru, terlihat elegan.

"Aku hendak memberikan ini padamu. Kakakku sangat mencintai kakakmu, aku tahu itu. Makanya dia rela mati menyusul Kak Nola."

"Dengar, aku sangat membenci Anlow. Pantaskah kamu menunjukkan benda ini kepadaku?" Momo mendesis.

"Karena kakakku juga menyayangimu, aku rasa kamu pantas melihat album ini."

"Pergi. Aku tidak mau melihat wajahmu."

Aiden memejamkan mata. "Aku paham perasaanmu sebab kita sesama adik. Kamu hanya menginginkan keadilan untuk kakakmu, namun kenyataannya kakakmu pergi dalam damai."

"Kamu tidak tahu, kamu takkan mengerti. Perasaanku selama ini..."

"Aku paham rasanya. Kesepian, bukan? Tidak ada yang peduli padamu selain sang kakak? Aku juga merasakannya. Tak sepertimu memilih jalan dendam, aku memilih melupakan Mupsi agar tidak mengingat luka masa lalu."

"Kamu pengecut."

"Benar, aku pengecut. Aku hanya bergantung pada kakakku, tidak bisa melakukan apa pun tanpa dia. Makanya aku bagai sebatang kara ketika tahu dia meninggal."

[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan MupsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang