"Kakak tidak bisa menangkap monster itu seorang diri. Mari kita tunggu paman, ya? Jangan terburu-buru."
"Ada sesuatu yang tidak bisa ditunggu oleh detektif, Aiden, yaitu keselamatan saksi. Hanya dia petunjuk yang tersisa."
"Lawan kita bukanlah manusia, Kak! Kakak tidak bisa melawannya sendirian. Aku akan-"
"Ini bukanlah hal sepele yang bisa kamu urus, Aiden. Serahkan kasus ini pada kakak."
Dan Anlow Eldwers pun tewas.
Aiden membuka mata. Walau mimpinya terkesan buruk, napasnya tidak memburu khas orang tersentak bangun karena kaget. Dia sudah terbiasa mendapatkan mimpi tentang kakaknya.
Aiden mengembuskan napas panjang, mengusap wajah. Sejelas itu dia berdoa agar bermimpi bisa melihat senyum Watson. Yang ada tema mimpinya jadi memeper.
"Kali saja doaku kurang khusyuk." Spontan Aiden menengadah tangan, memejamkan mata. "Kumohon, Tuhan, Dewa, berikan aku senyuman Dan. Hanya itu yang kuinginkan. Dan pasti sangat manis dan ganteng."
"Doa macam apa itu?" celetuk seseorang menangkap basah. "Punya anak lagi kasmaran begini lah."
Aiden menoleh, melotot sebal. "Mama! Kenapa kemari pagi-pagi, hah!" serunya galak. Jangan-jangan beliau mendengar doa barusan. Aduh, malunya.
"Tak perlu malu. Mama tahu kamu, ekhem, lovey-dovey with that boy. Watson Dan, isn't? Tak usah ditutup-tutupi." Beliau justru mendukung, mengacungkan jempol. Kan langka melihat Aiden malu-malu kucing. Bahkan beliau tidak pernah melihat Aiden salah tingkah sebegininya saat berpacaran dengan Grim.
Aiden mengusap wajah yang menghangat, siap-siap menuju kamar mandi, bersungut. "Kebiasaan menggoda anak. Nanti digoda balik ngambek. Mengancam tidak berbicara satu minggu. Menutup akses kredit. Sadar, Ma, sudah 34 tahun. Lagi pula aku tidak suka sama Dan, ah!"
Nyonya Eldwers melipat tangan ke dada, tersenyum, manggut-manggut. "Bagus, bagus. Silakan lanjutkan, sayang, sebelum Mama blokir ATM-mu."
Tuh, kan. Baru juga nebak.
Mengangkat bahu, Aiden pun pergi mandi. Tak tertarik berdebat dengan Mamanya yang suka merajuk.
Padahal Aiden dan Watson tak ada hubungan apa-apa. Mereka hanya sebatas anggota Klub Detektif Madoka. Walau Aiden diam-diam sedikit tertarik pada Watson, namun di sisi lain masih teringat Grim. Mantan sialan yang entah di mana sekarang.
Lima belas menit membersihkan diri, Aiden keluar dari kamar mandi dan segera memakai seragam sekolahnya.
"Dia melarikan diri seperti pengecut setelah menghilangnya kakak. Sungguh lelaki tak bertanggung jawab." Aiden bermonolog muak, meletakkan sisi bundar perak, membuka laci, mengeluarkan perkakas rambut.
Side ponytail. Itulah gaya rambutnya untuk hari ini. Setelah mengikat seluruh helai rambut ke samping dan membiarkan kuncirannya jatuh ke bahu, Aiden memakai bando dengan hiasan tiga love warna-warni. Terlihat manis.
Dia menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin.
Aiden tidak pernah melupakan kasus yang diterima Anlow, kakaknya, si sulung Keluarga Eldwers. Grim yang memberikan kasus pembunuhan Marionette pada Anlow. Kasus sulit yang berakhir tak selesai karena Anlow terbunuh.
Menyambar tas, Aiden mengenakan kedua sepatunya. Lupakan soal mimpi atau Grim. Waktunya berangkat sekolah.
*
Mustahil tidak ada permohonan kasus.
"Selamat pagi, Hellen! Pagi, Jer. Kalian lagi baca apa?" tanya Aiden duduk di kursi, mencomot permen kenyal di mangkok. "Ini enak. Siapa yang membelinya? Jangan bilang hadiah dari fans."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan Mupsi
Misterio / Suspenso'MuPsi' Nama kasus yang mengakhiri nyawa kakak Aiden saat berusaha menguak kebenarannya. Sampai sekarang kasus itu terbengkalai, tidak selesai. Kenapa? Simpel, karena tidak ada yang berniat mengambilnya. Kasus Mupsi sempurna terkubur. Tetapi, klub...