11

482 183 53
                                    

"Kamu peduli sekali dengannya, ya?" celetuk Grim mengisi keheningan, tersenyum miris. Mungkin yang dia maksud adalah Watson.

Mereka berdua tengah duduk bareng di ruang tamu menunggu Watson selesai diobati. Jeremy sih mondar-mandir tepat di depan pintu. Makanya yang tersisa hanyalah Aiden dan Grim.

"Kamu tadi kelihatan hampir menangis." Grim menceletuk lagi, menatap langit-langit koridor.

"Apa hubungannya denganmu?" Aiden menjawab datar, tanpa basa-basi.

Grim meringis mendengar jawaban ketus Aiden. Ampun deh, dia tidak punya kesempatan sedikit pun memperbaiki hubungan antara keduanya. Atau jangan-jangan Aiden...

"Kamu menyukai Watson, ya?"

Akan tetapi Aiden tidak memperhatikan kalimat Grim, terfokus pada sesuatu. Dia melihat noda hitam di telapak tangan. Apa itu? Aiden tak ingat menyentuh benda hitam. Apa karena lantai di pabrik tadi?

Manik Aiden bermain ke kepala Grim—rambut cowok itu juga berwarna hitam. Bedanya Watson hitam berantakan, sementara Grim hitam belah.

Di mana-mana yang kusut lebih tampan! ucap hati Aiden cekikikan tak jelas.

"Kebiasaanmu tidak hilang, ya," kata Grim menjentik bola bulu ikat rambut Aiden. Menopang dagu. "Masih gonta-ganti hiasan rambut tiap hari."

"Kamu pun sama. Masih suka menempel dengan Erika. Jujur saja deh denganku, kalian berpacaran, kan?" Aiden memicing.

Grim manyun. "Kubilang kami hanya berteman. Aku masih tetap menyukaimu."

"Huh, frontal sekali!"

"Bukankah kamu sendiri juga begitu? Aku ingat dulu kamu pernah mengajakku ke tempat sepi dan..." Mulut Grim dibekap Aiden yang menggelepar malu.

"Sudah cukup! Iya, iya! Aku paham. Toh, yang mewarisi sifat blakblakan ini kan Mamaku. Maklumin dong." Aiden memberengut, menatap Grim, lalu mendengus. Grim tertawa.

Hening sesaat. Suara perawat sejauh telinga mendengar dan langkah kaki menuju kamar pasien. Rumah sakit Moufrobi ramai seperti popularitasnya.

"Aku minta maaf telah berteriak-teriak padamu dan Erika sebelum mendengar alasan kepergianmu," kata Aiden teringat nasehat Watson. Dia belum minta maaf dengan baik. "Aku dibutakan amarah."

Grim terkikik. "Fuah, pengaruh Watson hebat juga. Sampai meninggalkan trauma."

Aiden berbinar-binar menyetujui perkataannya. "Hebat! Malahan sangat-sangat hebat! Kode Klub Detektif yang kubuat dengan Hellen dan Jeremy bisa dia jabarkan dalam beberapa menit. Sudah begitu penjelasannya amat sederhana dan tidak berbelit. Kebanyakan kasus kami selesai berkat bantuan Dan. Kalau kamu bertanding..."

"Tentu saja aku kalah telak, Aiden," sanggah Grim mengalah. Dia mengakui kalah potensi dari Watson. "Aku sadar diri. Cowok itu sudah terlalu lama menyelami dunia misteri."

"Tumben 'ngalah. Biasanya ngotot bilang; aku yang paling hebat daripada Kak Anlow! Lalu menangis saat deduksinya salah. Ternyata anak didik Kakak tipe malu-malu kucing."

"Kamu meledekku, ya?"

Mereka berdiam kemudian tertawa bersama. Dasar humor merakyat.

Sayangnya, ada seseorang yang menonton interaksi Aiden dan Grim dari patahan koridor. Memandang datar, menundukkan kepala. Tangannya yang dibebat menutup mulut. Merasa mual.

Adalah Watson.

*

Keesokan harinya. Klub Detektif Madoka kembali melanjutkan penyelidikan kasus Mupsi.

[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan MupsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang