18

453 175 23
                                    

"A-apa kita akan masuk?"

"Itu pertanyaan apa, Ai? Sudah jelas kita masuk. Kita harus mencari petunjuk mengapa hotel ini ditutup."

Deon memimpin langkah. Jeremy menamengi Erika dan Hellen. Grim berjalan di depan Aiden yang ketakutan sejak berdiri di pintu hotel. Lalu tertinggal Watson, memandang datar bangunan hotel Martenpuce.

Baiklah, mereka sudah sampai di garis finis. Kasus ini hampir menuju ending. Dari mana semua ini berawal?

Musim panas menyenangkan, tetapi tidak untuk klub detektif Madoka. Berniat ingin berlibur ke Pantai Hedgelea, dua karakter lama yang dikabarkan pergi tanpa pemberitahuan membawa akhir penyelidikan kasus sulit kembali datang.

Pelaku dari kasus terbengkalai menghantui Moufrobi setelah istirahat dari insiden penculikan anak kecil. Satu per satu remaja menghilang dan tewas. Mutilasi dan menempeli anggota badan korban ke boneka, ciri khas pembunuhan Mupsi.

Watson tersenyum miring. "Ini akan jadi akhir yang menarik. Tugasku selesai dan bisa tenang setelahnya."

"Apa-apaan kalimat patriotik itu?" celetuk Grim. Kepalanya mengintip dari pintu, menatap malas pada Watson. "Ayo buruan masuk."

Watson memutar mata. "Baiklah." Perlahan namun pasti, Watson melangkah masuk ke hotel.

Tapi datang masalah baru.

"Jadi, dari mana kita mulai menyisirnya? Kamar di hotel ini berjumlah belasan. Kita bagi kelompok atau tetap mencari bersama-sama?" Jeremy membuka pembicaraan. Sekalinya bicara, topiknya langsung serius.

"Aku rasa kita harus tetap bergerombolan. Merujuk tempat ini sudah ditandai oleh Mupsi, pasti dia memasang sesuatu. Perangkap misalnya? Bisa gawat kalau kita terpisah-pisah." Usulan Grim masuk akal.

"Aku 50:50, antara setuju dengan Grim dan tidak." Erika ogah-ogahan mengangkat tangan. "Malah bagus kalau kita berpencar, jika ada yang disekap, yang lain bisa datang membantu. Aku tak yakin Mupsi langsung membunuh kita. Dia membutuhkan banyak waktu."

"Rika tidak sepenuhnya salah," Hellen si Ahli Medis ikut bersuara. "Tapi kita tidak bisa mengambil resiko membiarkan salah satu dari kita terluka oleh Mupsi. Atau bagaimana Mupsi tahu kita akan berpencar dan memancing kita ke satu titik mencolok?"

"Kita kan punya Inspektur Deon, berarti jumlah kita bertujuh. Bagaimana kalau 2-2-3? Atau Inspektur tunggu di atrium hotel sembari menunggu sinyal dari kita?"

"Tidak, itu berbahaya, Aiden." Deon menggeleng. "Hellen benar, tidak seharusnya kita membiarkan anggota kelompok kita terluka. Di sisi lain, kita juga tidak bisa bersama-sama menelusuri."

Bagus. Diskusi mereka buntu. Lantas satu menit berlalu hening, mereka berenam menoleh serempak ke Watson. Tanda jengkel hinggap di kepalanya.

Watson menggerutu. "Kalian ini punya pemikiran picik. Sesekali jangan terlalu mengandalkanku. Apa tidak ada ide lain? Aku sedang malas menyusun rencana."

Aiden dan yang lain menggeleng. "Tidak ada rencana, Dan. Kamu ketuanya."

"Jangan menyalahgunakan jabatanku deh." Watson mengembuskan napas panjang, menatap lorong koridor. "Baiklah, aku memilih tetap bersama. Sepertinya kita harus lewat sini."

Grim dan Erika bersitatap. Ya sudahlah, percaya saja sama Watson. Tempat ini terlihat angker bagi manusia, tapi bagi Watson mungkin tampak seperti wahana permainan. Dia seolah sudah tahu ke mana arah seliweran lorong hotel.

"Liftnya tak menyala. Kupikir listriknya masih berfungsi. Kita terpaksa lewat tangga darurat." Kali ini Watson yang menggantikan Deon memimpin jalan, melangkah pelan. "Hati-hati, tangganya goyah. Besinya terlampau berkarat. Saling pegangan. Jangan pegang susurannya."

"I-iya." Teman-temannya patah-patah mengikuti langkah Watson.

Mereka kira Watson pergi ke lantai tiga secara random, rupanya tidak. Mu adalah huruf ke-12 dalam abjad Yunani, jadi Watson memeriksa kamar 12. Cerdik. Dia tahu kamar hotel tidak banyak.

Kriet! Pintu berdecit begitu Deon mendorongnya. Jaring laba-laba menyambut kepala dan wajah Deon membuatnya mendengus jengkel.

"Tempat ini..." Aiden menoleh ke sekeliling yang temaram. "Biasa saja tuh. Tidak ada hal istimewa. Kamu yakin tidak salah kamar, Dan? Tidak ada apa-apa di sini," ujarnya polos.

"Benarkah?" Watson memeriksa sekeliling. Mereka tak menduga Watson sama polosnya. "Berarti perhitunganku salah. Bukan dari Mu melainkan Psi."

"Itu di kamar dan di lantai berapa?" tanya Erika, gemas kepolosan dua sejoli itu.

"Kabar buruk, Watson," seru Hellen menunjukkan peta yang ditemukan di ponsel. "Total kamar hotel hanya ada 19."

"Serius?" Jeremy manyun.

"Yang benar saja." Grim menepuk dahi. Buntu petunjuk untuk kedua kalinya.

"Kalau begitu kita pikir logika saja, mungkin kamar 23 bukanlah kamar yang sebenarnya. Maksudku, mungkin saja ruangan paling atas."

"Boleh juga. Ayo kita pergi."

Tujuan baru berkat Watson. Mereka melangkah ke titik tertinggi hotel Martenpuce seraya terus berhati-hati terhadap kemungkinan jebakan yang dipasang Mupsi. Mana tahu kan.

Setibanya di bilik outdoor guna melihat keindahan pantai, klub detektif Madoka dikejutkan oleh boneka marionette puppeteer tersandar di sudut ruangan.

"Sudah kuduga..." Watson meringis.

"Apa yang kamu duga?"

"Kak Anlow akrab dengan Mupsi," simpulnya bersedekap. "Ini yang membuatku bingung. Aku tak bisa menarik deduksiku, jelas sekali bahwa Mupsi itu pria, tapi mengapa petunjuk yang ditinggalkan Anlow mengarahkan sosok Mupsi pada perempuan? Aku tak mengerti."

"Masuk akal kenapa Mupsi membuat korban terlihat seperti boneka marionette, tidak masuk akal seorang perempuan melakukan aksi pembunuhan seorang diri. Apa kalian pikir Mupsi punya komplotan?" Grim menoleh ke Erika.

"Apanya yang tak masuk akal? Mupsi kan bisa menghipnotis, kalian lupa? Dia hanya perlu melakukan sisanya. Memutilasi korban, menarik tubuhnya, kemudian mendorongnya."

"Lalu, apa sebenarnya maksud marionette dan puppeteer? Aku tak menemukan titik cerahnya!" Grim menyerah.

"Mungkin Watson tahu jawabannya?"

Watson mendengus. Dasar Jeremy. Selain suka menggoda, dia juga suka mengoper ketidaktahuan mereka pada Watson. Pengen deh Watson menendang muka tak berdosanya itu.

"Dan, apa kamu sudah tahu arti simbol yang Mupsi lukis di setiap tubuh korban?"

"Maksudmu dua tiang dengan bendera segitiga yang kedua ujungnya saling bertemu? Itu artinya lambang Madoka, kan?"

"Aku mencarinya dan itu alfabet kuno Scandinavian. Apa mungkin ada hubungannya dengan arti Mupsi?"

Deon menghela napas panjang. "Aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan, namun ini pelik sekali."

"Inspektur bantu kita gih. Jangan modal kehadiran doang." Jeremy berkacak.

"Karena kita di Distrik Uinate, aku kepikiran satu hal. Anak itu pasti marah sudah kuabaikan, tapi aku tak sengaja melakukannya." Deon mengusap wajah. Udara dingin tak membuat mereka bertujuh gerah di tempat sempit.

"Siapa yang Inspektur maksud?"

"Kalian tahu klub detektif Uinate? Taran, Valentine, dan Candy. Kalian pernah bentrok pada kasus yang sama."

Aiden ber-huh keras. "Oh, si trio detektif labil sok pintar itu toh. Memangnya ada apa dengan mereka?"

"Mereka menemukan seseorang dengan keadaan ganjil dan bilang aku mungkin mengenalinya, tapi karena Watson diculik, aku jadi lupa tentang itu."

[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan MupsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang