4

569 183 8
                                    

Besoknya.

"Lho?" Aiden mengernyit. Dia mencepol seluruh helai rambut ke atas dan memakai bando kawat bunny berwarna biru polos. "Dan belum datang? Inspektur Deon sudah menunggu di gerbang. Jangan-jangan dia betulan menolak ikut."

Hellen menyikut lengannya. "Hus! Jangan asal menyimpulkan. Kita kan tidak tahu pikiran Watson. Semoga dia datang."

Gadis Penghias Rambut itu cengengesan. Mereka beralih menatap ke lapangan, menatap Grim dan Erika yang sedang berkenalan dengan Deon. Jeremy ogah-ogahan memperkenalkan.

"Kamu yakin kamu akan baik-baik saja?"

Aiden paham maksud pertanyaan Hellen. Kalau saja tidak menuruti Watson, dia mana sudi bekerja sama dengan dua orang menjengkelkan seperti Grim dan Erika. Mantan sialannya itu...!

Aiden memejamkan mata. "Setidaknya kita punya Dan, jadi kita tidak perlu banyak berkomunikasi terhadap mereka," Bola matanya memandang dingin ke Grim. "Aku tidak merasakan apa pun lagi pada orang itu. Yang tersisa hanyalah rasa benci."

"Watson bilang kita harus mendengar penjelasannya dulu lho," gumam Hellen mendesah pelan. "Yah, aku paham perasaanmu. Sosok yang penting bagimu pergi meninggalkanmu dan kembali begitu saja. Siapa yang tidak geram."

Aiden mengangkat bahu.

"Tapi, Aiden… bagaimana jika mereka benar-benar berhasil memecahkan misteri kasus itu? Bukankah kamu bisa menangkap penjahat yang membunuh Kak Anlow?"

Aiden menghela napas. Jujur, dia juga penasaran. Namun cara Erika menyampaikannya kasar hingga Aiden tidak peduli poin utama kepulangan mereka. Tentu dia senang akhirnya kasus yang diambil kakaknya punya lanjutan akhir.

"Kita harus menangkapnya."

"Ah, dia datang." Hellen menunjuk.

Senyuman langsung merekah di bibir Aiden kala melihat Watson berlarian kecil bergabung dengan Deon. Sudah waktunya pergi ke TKP.

"Ayo pergi."

*

Jeremy berkacak. "Kamu telat, Wat! Tidak biasa-biasanya. Aku tahu kamu tak suka pada mereka, tapi kemarin kamu juga yang mengatakan kita butuh bantuan. Walau dari rekan masa lalu menyebalkan sekali pun."

Watson mendengus. Apa Jeremy baru saja menggunakan dia sebagai subjek untuk menyindir Grim dan Erika? Kurang asem. Mana Watson baru datang lagi.

Empunya nama menukas geli. "Kamu ketularan siapa jadi pengecut begitu, Jeri. Kalau kamu punya dendam padaku, bilang. Jangan sindir-sindiran."

Muka Jeremy spontan memerah, menatap galak Erika. "Kuperingatkan, jangan panggil aku dengan nama itu."

Erika tersenyum jahil, perlahan mendekat. "Kenapa? Hahaha, ternyata kamu tidak banyak berubah. Masih malu-malu kucing ketika kupanggil demikian. Bisakah kubilang 'betapa lucunya'?"

Jeremy gregetan.

Ada apa dengan dua orang ini? Watson menyaksikan dengan letoy interaksi keduanya. Terlebih, astaga, Jeremy bisa malu rupanya. Syaratnya cuman memanggilnya 'Jeri'? Kependekan dari Jeremy Bari. Simpel heh.

Hellen menyela ke tengah-tengah Jeremy dan Erika. "Cukup sampai di sana," katanya menatap tajam.

Erika tertawa panjang, mundur tiga langkah. Dia memainkan sejumput anak rambut. "Hahaha. Kamu tertebak banget, Hellen. Aku tak niat dengan Jeri kok."

"Oh, benarkah?" Hellen tidak mau kalah. "Berarti kamu sama denganku, sama-sama mudah ditebak. Kamu tak bisa menipuku, Rika. Kamu selalu memegang rambutmu saat berbohong. Aku tahu perasaanmu."

[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan MupsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang