22

528 178 25
                                    

"Apa maksudmu, Watson? Kak Anlow tidak bersalah? Tapi dia sudah membunuh Manola secara tidak langsung..." Sudah pusing fisik, kini pusing di bagian dalam. Ingin Grim berteriak sepuasnya.

"Bukan begitu ceritanya, Skyther. Kita membutuhkan sudut pandang yang berbeda sebelum menyimpulkan orang itu bersalah," kata Watson mengangkat bahu. "Nona Manola menderita sindrom BPD, yaitu Borderline Personality Disorder. Dimana penderita cenderung merasa gelisah dan menganggap dirinya akan ditinggalkan. Atau juga bisa disebut penderita merasa keberadaan dirinya tidak penting."

Momo terdiam. "Hah? Apa katamu?" ujarnya gemetar menahan marah dan rasa sakit sekaligus.

"Dia berpikir Kak Anlow akan meninggalkannya. Terlebih kesibukan Kak Anlow pada klub detektif menambah efek BPD sehingga Nona Perryza jadi hilang akal. Beliau pun membuat rencana itu."

"RENCANA APA MAKSUDMU, HAH?! ANLOW LAH BIANG KELADINYA! DIA MELECEHKAN KAKAKKU! MEMBUATNYA HAMIL DAN MATI ENTAH DI MANA BEGITU SAJA!"

"Sebelum dikonfirmasi meninggal, Kak Anlow sempat dikatakan menghilang selama empat hari. Aku punya saksi untuk mempermudah pertunjukan ini."

Aiden terkesiap. "Ka-kamu bertemu saksi yang dilindungi kakakku?"

"Merepotkan, asal kamu tahu. Aku sampai pergi ke New York diam-diam." Watson menyalakan ponselnya. "Ketika menghilang empat hari, Kak Anlow pernah mengunjungi Rumah Sakit Manate. Aku memeriksa riwayat kesehatannya dan mendapatkan hal menarik. Catatan medis mengatakan bahwa Kak Anlow positif mengonsumsi obat afrodisiak."

Momo terbelalak. Rasanya situasi terbalik secepat yang dia bayangkan.

"Sesuai analisismu, kamu bilang tempat lokasi terakhir mereka berkencan adalah hotel ini, kan? Kakakmu takut Kak Anlow meninggalkannya dan meminumkannya obat perangsang lalu mereka melakukan hal itu. Saksi melihatmu membopong Kak Anlow ke kamar, memilih mengabaikan, tapi siapa sangka insiden yang dia abai justru menjadi prahara besar menutup tempat kerjanya. Dia pun melarikan diri.

"Bagaimana dengan Kak Anlow setelahnya? Massa bilang dia dibunuh, namun sebenarnya tidak. Kak Anlow yang mengetahui Nona Perryza meninggal sia-sia, tak kuasa menanggung penyesalan. Dia merasa amat bersalah, menganggap dirinya penyebab kematian mendiang. Anlow Eldwers bunuh diri dengan membuat publik percaya bahwa dia telah dibunuh. Ironis, bukan?"

Bruk! Momo terduduk. Air matanya bercucuran, menetes ke batang tongkat bisbol di tangan. Apa ini? Hei, apa ini sebenarnya? Bukan Anlow melainkan kakaknya sendiri. Membunuh banyak orang supaya merasakan sakit yang sama, tetapi ternyata Momo hanya membuat dosa?

Apa yang dia perbuat selama ini? Kepada siapa dia membalas dendam? Dengan kata lain kakaknya lah yang mengakhiri hidup atas kemauan sendiri, bukan Anlow. Untuk siapa darah yang berkumpul di tangan Momo?

Momo berteriak keras. Menangis tersedu-sedu. "KENAPA KAMU MELAKUKAN ITU, KAK?! AKU MEMPERCAYAIMU! AKU MEMBUNUH DEMIMU! AKU PIKIR KETIDAKADILAN MENIMPAMU, TETAPI KENAPA? Kenapa bisa jadi begini..."

Sirine polisi mengaung di bawah. Watson melangkah mundur, membiarkan tim patroli lewat, segera memborgol Momo yang tak melawan. Tim medis bergegas mengangkut Aiden dan Grim. Anggota rekan Deon melemparkan tangga, membantu yang jatuh ke dalam lubang.

Yah, sepertinya klub detektif Madoka bisa mengesahkan kasus Mupsi sudah berakhir. Watson bersandar ke tepi jendela, menatap datar Momo yang masuk ke mobil polisi, menopang dagu.

Jika kamu mempunyai kemampuan mengendalikan kesadaran seseorang, seharusnya kamu menggunakannya ke perbuatan baik. Menyadarkan preman dan pembegal atau menghibur anak-anak dengan pentas. Bukan disalahgunakan. Kak Anlow mempercayaimu, tapi kamu membenci dan mendendam tanpa tahu kisah asli kedua orang itu.

Watson mendongak ke langit. Sungguh ironis. Ketidakpercayaan telah membunuh pasangan polos. Anlow yang mulai kurang memberi perhatian dan Manola yang tidak teguh akan perasaannya. Kedua hal itu perlahan merobek rasa cinta mereka.

"Watson!!!" Pemilik nama menoleh. Hellen dan Jeremy menyerbu Watson dengan pelukan. "Hiks! Kamu ke mana saja?! Kenapa kamu membiarkan dirimu dihipnotis sih?! Akhh! Kami benar-benar khawatir padamu!"

"Jangan lebay deh. Kalau aku bodoh membiarkan Mupsi menghipnotisku, maka kalian lebih bodoh lagi percaya Mupsi adalah aku."

Mereka mati kutu. Waduh, ini betulan Watson. "Ha-habisnya...! Kalian berdua benar-benar mirip. Sulit dibedakan."

"Stern, Bari, kalian hati-hati jika nanti ada yang menyamar jadi anggota keluarga kalian. Bisa gawat tuh. Kalian bisa diperas."

Hellen tersenyum, menyeka pipi. "Aku lupa, ciri khas Watson adalah kamu selalu memanggil kami dengan nama depan. Kami teledor tidak menyadari itu."

"Kalian sudah melakukan pekerjaan berat tanpaku. Kerja bagus—bruk! "

"Lho? Watson?!" Jeremy berseru panik.

Hellen tertawa. "Hahaha! Khas kedua Watson, tukang tidur! Dia sepertinya sudah lelah karena deduksi tadi, terlalu banyak memakai energi otak. Biarkan dia tidur."

"Apa Watson kambuh?" Deon mendengus melihat anak yang dia cari sudah digendong Jeremy. "Cih, sialan. Aku terlambat. Ketika dia bangun nanti, baru kuhajar sampai mampus. Kalian ingatkan aku, ya."

Hellen dan Jeremy manyun. Deon punya dendam apa sama Watson...

*

"Aku baik-baik saja." Aiden mengangguk, menolak halus kepala medis yang menyarankan dia pergi ke rumah sakit. Gadis Penata Rambut itu menoleh saat Hellen dan Jeremy bergabung ke lapangan. "Kenapa dengan Dan? Ah, seperti biasa, ya?"

Hellen mengangguk. "Kamu tidak apa-apa kan, Aiden? Bagaimana kepalamu?"

"Aku oke kok." Aiden memandang Watson yang tidur nyenyak di punggung abang Jeremy, tersenyum tipis. "Aku sangat baik. Kukira kakakku seorang pria jahat, tapi syukurlah. Semuanya hanya kesalahpahaman. Aku senang mendengarnya."

"Apa dia sering begini?" tanya Erika menunjuk Watson, keheranan.

"Iya. Watson mengidap narkolepsi. Itu kambuh tiap dia selesai beranalisis," jelas Hellen singkat.

Erika mengembuskan napas panjang. "Hari ini melelahkan. Pinggang dan pantatku sakit karena jatuh."

Hellen terkekeh. "Kamu tidak sendiri. Lihat Jeremy, berjalan pincang kayak kakek-kakek. Dia berlebihan."

Grim melompat duduk di samping Aiden. "Yang asli ternyata seperti itu," celetuknya lamat-lamat memperhatikan Watson. "Aku tertipu penampilan Mupsi. Sehebat apa pun dia menyamar, tetap saja ada sedikit kekurangan."

"Besok, berkenalan lah dengan Dan. Kalian tidak pernah saling memperkenalkan diri, kan? Dan langsung pulang begitu saja lantas digantikan oleh Mupsi. Kenapa aku tidak sadar, ya?"

"Yang penting semuanya berakhir, Aiden. Kita akhirnya tahu, Kak Anlow meninggal dengan motif yang sama seperti Kak Manola."

Aiden tersenyum. "Hmm... Syukurlah, syukurlah. Kakak tidak bersalah."

"Sehabis ini kamu ngapain?"

"Ada banyak yang harus kita lakukan, Grim. Mempertemukan keluarga Eldwers dan keluarga Perryza, menceritakan kisah kakakku dan kakak Momo, mengatakan pada media bahwa kita berhasil menangkap Mupsi, mengunjungi makam mereka serta makam korban Mupsi."

"Hanya itu?"

"Aku juga akan mengunjungi Momo setelah suasananya membaik, lalu berterimakasih pada Dan. Berkat dia... Kebenaran terungkap. Kamu dan Erika sangat membantuku. Terima kasih, Grim. Atas kontribusimu pada kasus Mupsi."

Grim menggaruk tengkuk. "Tidak masalah, Aiden. Aku kan mantan member. Sudah seharusnya aku ikut campur."

"Dan di atas segalanya, kita akan berlibur ke pantai menikmati musim panas!"

Grim tertawa kikuk. "Maaf?"

Pembunuhan Mupsi, case closed!

[END] Aiden Eldwers - Pembunuhan MupsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang