"Baik, Anak-Anak. Cukup sampai di sini pelajaran kita. Sampai jumpa lagi di pertemuan selanjutnya. Ingat ya, cuma pelajarannya yang usai, bukan kisah kita. Selamat beristirahat bagi jiwa dan raga yang penat," ucap Linda mengakhiri pelajaran geografi pada hari ini.
"Asek," celetuk salah seorang siswi.
"Siap, Bu Guru," sahut yang lainnya.
"Iya, Bunda yang cantik." Kali ini giliran siswa paling tengil yang menyahut.
"Yeee." Hampir seisi kelas menyoraki, termasuk sosok perempuan yang pakaiannya sangat kontras dengan para siswa-berwarna putih.
Mendapati reaksi yang seperti itu dari siswa-siswinya, Linda diam-diam menahan tawa. "Sudah, ya. Assalamualaikum, selamat beristirahat."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Siswa-siswi kelas X IPS 2 menjawab serempak.
"Ah, akhirnya selesai juga. Pusing otakku lama-lama. Apalagi denger ocehan anak-anak cowok yang nggak ada habisnya ngegodain Bunda." Yuli menggerutu di tempat duduknya.
Ella terkekeh kecil. "'Kan biasanya juga gitu."
"Ya udah, daripada puyeng, mending kita makan aja. Sini, Yul," ajak Ella sembari menoleh ke arah Yuli.
Tanpa membalas perkataan Ella, Yuli sudah menyamankan diri di depan meja Ella dan Gita. Mereka bertiga pun menikmati bekalnya masing-masing tanpa ada pembicaraan. Barulah setelah ketiganya menghabiskan makanan, Yuli mulai membuka obrolan.
"Eh, semalem aku udah namatin Negeri 5 Menara."
"Udah selesai? Gimana? Seru, 'kan?" tanya Ella antusias.
Yuli mengangguk beberapa kali.
"Seru banget. Kata-katanya selalu ngena, tapi nggak ngebosenin. Aku jadi tau gimana gaya hidupnya anak-anak yang tinggal di pondok.""Tokoh-tokoh yang ada juga kerasa nyata. Mereka saling ngelengkapi satu sama lain, eaa," tambah Yuli.
"Iya, 'kan? Aku aja masih belum bisa lupa sama cerita itu. Keren banget sih, kakak penulisnya." Ella menimpali dengan pikiran yang mengawang.
"Bener. Jadi pengen bisa nulis kayak gitu juga," sahut Gita. "Tapi ... aku belum punya pengalaman yang sekeren itu buat dibikin cerita."
Ella menatap Gita gemas. "Ya nggak masalah dong. 'Kan nggak harus dari pengalaman, Git. Ayo dong, kita tau imajinasi sama wawasan kamu luas banget. Bener 'kan, Yul?"
Yuli mengangguk tegas. "Bener. Coba aja nulis di aplikasi baca, siapa tau banyak yang suka. Sayang kalo misalnya tulisan-tulisan kamu cuma dipendem di dalem buku terus."
"Nanti kita pasti bantuin promosiin kok. Tenang aja, yang penting kamu mau nyoba," ucap Ella, tidak berhenti memberikan support pada Gita.
Mata Gita sedikit berkaca-kaca. "Insyaallah dicoba. Makasih banyak ya, udah mau ngasih semangat."
"Santai, justru aku yang harusnya makasih karena udah dipinjemin buku. Keren loh, padahal aku bukan orang yang suka banget baca buku," balas Yuli. "Ngomong-ngomong, Yul, kamu ada buku lanjutannya itu nggak? Pasti ada. Pinjem ya?"
"Enak aja pinjem-pinjem. Bayar dulu! Dua ratus ribu per buku." Gita pura-pura memasang wajah jutek.
"Kok mahal banget? Males ah, nggak kawan kita," kesal Yuli.
Gita tertawa geli melihat reaksi temannya itu. "Bercanda, Yuli. Masa iya, itung-itungan sama temen sendiri."
"Gampang lah, besok aku bawain," sambung Gita.
Yuli mengacungkan kedua jempolnya. "Dari tadi, kek."
"Eh, temenin aku ke kelas 10 IPA 6 dong," sela Ella yang sudah bangkit dari tempatnya duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Ella [END]
HorrorBagi Ella, gangguan dari sosok-sosok mengerikan bukan merupakan hal yang aneh. Ia selalu memakluminya sebagai konsekuensi dari kelebihan yang ia miliki. Walaupun terkadang, ia masih sangat terganggu dengan hal itu. Apalagi jika pikirannya sedang kac...