"Selesai sarapan ini, kita langsung berangkat, ya. Nanti kalo ada barang-barang sisa yang belum dipindahin, taruh aja di mobilnya Om Hans. Bentar lagi pasti udah nyanpe." Gamal mengingatkan.
"Siap, Pa," balas Ella dan Galih bersamaan.
Renty hendak memastikan sesuatu juga. "El, kunci rumah ini ada di kamu 'kan, El?"
"Iya, Ma. Tenang aja, aman kok." Ella mengacungkan kedua jempolnya.
Karena sudah selesai dengan sarapannya, Ella segera membuang kertas bekas nasi bungkus dan mencuci tangannya. Selepas itu, ia berjalan menuju kamar miliknya yang tidak lama lagi akan beralih fungsi menjadi ruangan yang penuh dengan meja-meja makan.
Tin! Tin! Tin!
"Baru juga duduk," gumam Ella.
"Ella, itu mobilnya Om Hans udah dateng. Cepetan taruh barang-barang kamu," ucap Gamal dengan setengah berteriak.
"Iya, Pa. Bentar." Ella membalas dengan nada yang kurang lebih sama.
Gadis itu menguncir rambut panjangnya terlebih dahulu sebelum pergi keluar. Setelah selesai, barulah ia meraih sebuah kardus berisi buku-buku pelajaran dan membawanya menuju mobil pick up milik teman papanya.
"Pagi, Om," sapa Ella saat melihat Hans yang sedang bersandar di mobilnya.
Hans menatap putri dari sahabat dekatnya itu sembari tersenyum. "Pagi, Ella. Kamu makin cantik aja."
Mendengar kalimat pujian itu, Ella hanya tersenyum. Ia tidak merasa ada perubahan yang cukup signifikan saat terakhir kali bertemu dengan Hans.
"Oh, iya. Kamu udah pernah masuk ke rumah yang bakalan kamu tinggali?" Hans memperbaiki posisinya menjadi berdiri tegak.
Ella mengarahkan tubuhnya supaya berhadapan dengan Hans. "Kalo masuk belum pernah sih, Om. Tapi kemarin sempet liat-liat dari depan."
"Semoga kamu suka dan betah di sana. Maaf ya, om nggak bisa bantu cariin rumah buat kalian," ujar Hans merasa bersalah.
"Eh, nggak apa-apa kok, Om. Dengan om ngebantuin mindahin barang aja kita udah makasih banget loh. Om nggak perlu minta maaf, aku tau om banyak kerjaan lain," balas Ella pengertian.
Hans tersenyum, tetapi pikirannya menerawang. "Kamu ini masih SMA, tapi pikirannya udah kayak orang dewasa. Pantes Gamal bangga banget sama kamu. Andai aja anak om masih ada, dia pasti seumuran sama kamu sekarang."
"Eh, om 'kan bisa anggep aku anak sendiri," ujar Ella yang tidak ingin pria di depannya ini berlarut dalam kesedihan.
Hans terkekeh. Tangannya terjulur untuk mengusap lengan Ella. "Kamu ini emang paling bisa."
Ella nyengir. Namun, sedetik kemudian ia tersadar bahwa masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. "Om, aku ke dalem dulu, ya? Mau ngambil kardus satu lagi."
Setelah mendapat anggukan dari Hans, gadis itu bergegas kembali ke kamarnya dan membawa kardus terakhir yang belum dipindahkan.
Ella menghela napas panjang. Matanya memutari kamar yang sudah ia tempati selama kurang lebih enam belas tahun. Barang di kamar ini hanya tersisa satu, yakni lemari tua yang sudah sangat usang.
Ella menghela napas panjang sekali lagi. Didekatinya dua sosok "penjaga" rumah almarhum kakeknya ini.
Ella menatap perempuan tua dengan baju kebaya berwarna kuning, serta kain jarik bermotif kawung di depannya. Ia biasa memanggilnya dengan sebutan "Nenek Anti".
"Nek," panggil Ella. "Makasih banyak udah ngejagain keluarga Ella selama ini, ya. Maaf kalo misalnya kita sering nggak sengaja berbuat sesuatu yang bikin Nenek nggak nyaman. Adanya Nenek di sini bikin aku ngerasa punya dua nenek dalam satu rumah. Sekali lagi makasih ya, Nek. Aku pasti bakalan kangen banget sama nenek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Ella [END]
HorrorBagi Ella, gangguan dari sosok-sosok mengerikan bukan merupakan hal yang aneh. Ia selalu memakluminya sebagai konsekuensi dari kelebihan yang ia miliki. Walaupun terkadang, ia masih sangat terganggu dengan hal itu. Apalagi jika pikirannya sedang kac...