•Sosok yang Mengawasi•

51 8 7
                                    

Kring! Kring!

"Akhirnya kenikmatan yang ditunggu-tunggu dateng juga," ujar Yuli tepat setelah guru matematika keluar dari kelas.

"Nikmat banget, sampe aku udah kenyang makanin angka-angka," sahut Ella. "Aku makan nanti siang aja, ah."

Gita meneguk sedikit air mineralnya. "Aku kebalikannya. Kalo Ella kenyang, aku jadi nggak nafsu makan gara-gara kebanyakan mikir rumus. Aku juga makan nanti siang aja deh."

Yuli berkacak pinggang. "Aneh kalian!"

"Tapi ... aku juga lagi nggak pengen makan sih, ini perut masih rewel dari kemarin sore," lanjut Yuli.

Hening beberapa saat.

"Eh, aku ada ide bagus. Gimana kalo kita jalan-jalan keliling sekolah? Waktu MPLS kemarin, waktunya terlalu singkat sih menurutku. Kayak cuma lewat-lewat doang. Masih bingung juga jadinya. Gimana, kalian mau nggak?" Sebuah senyuman terukir di wajah Gita.

Pertama melewati deretan kelas sepuluh IPS, bahasa, IPA, lalu deretan kelas dua belas IPA, ruang seni, ruang musik, bangunan-bangunan di sisi depan, dan terakhir deretan kelas dua belas IPS. Itulah rute yang dipikirkan oleh Gita.

"Boleh aja sih," jawab Yuli.

Ella tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memutuskan. "Boleh deh, aku ikut juga."

Setelah Gita menjelaskan ruangan mana saja yang akan mereka lihat-lihat, ketiga siswi tersebut memulai perjalanannya.

"Hai, El," sapa seorang laki-laki.

Ella tersenyum sembari melambaikan tangan. Ia berhenti sejenak untuk menghormati.

"Mau ke mana?" tanya laki-laki itu.

Ella menunjuk ke depan. "Jalan-jalan aja."

Laki-laki itu membulatkan bibirnya. Karena Ella merasa jika percakapan sudah berakhir, Ella memutuskan untuk segera berpamitan.

"Itu tadi siapa sih, El?" tanya Yuli setelah mereka berlalu dari kelas 10 IPA 6.

"Temen SMP dulu. Namanya Ardi," jawab Ella singkat.

Yuli membulatkan bibir. "Temen ternyata."

"Anak IPA beda banget sama anak-anak IPS, ya? Sepi banget, jarang ada yang nongkrong di depan kelas waktu istirahat gini," celetuk Gita.

"Mereka 'kan kebanyakan kutu buku. Waktu istirahat aja dipake buat belajar," balas Ella setelah mengintip ke salah satu pintu kelas yang terbuka.

"Nggak kayak kita yang kelewat santai." Yuli mengimbuhkan.

Ella meringis karena apa yang dikatakan temannya itu memang benar.

Ketiga siswi itu mulai berbelok ke deretan kelas dua belas IPA.

"Kak Aul!" sapa Yuli.

Siswi kelas dua belas yang baru saja dipanggil itu menoleh. "Halo!"

"Ternyata kakak-kakak kelas di sini ramah semua, ya? Kukira pada jutek, apalagi yang barusan Yuli sapa," ujar Gita setelah berjalan cukup jauh dari posisi Aul berdiri.

"Makanya, jangan suka menilai orang cuma dari 'keliatannya'." Ella menyahuti.

"Awalnya juga aku ngira gitu. Habisnya dia marah-marah mulu waktu jadi MC. Tapi ternyata dia baik banget, cuma emang rada emosian," tambah Yuli.

Gita meringis. "Ya maaf, namanya juga belum tau."

Mata Gita terarah menuju ruang seni yang tertutup rapat. Meski begitu, siapapun bisa melihat bagian dalamnya karena jendela kaca transparan itu gordennya hampir selalu terbuka.

Mata Ella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang