•Keputusan Akhir•

27 4 0
                                    

Saat ini, Ella dan keluarganya sedang berada di rumah Hans. Hans sengaja mengundang tiga teman dekatnya ke rumah, karena istrinya memang memasak banyak makanan hari ini.

Dua teman Hans sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tersisa Gamal dan keluarganya. Keheningan melanda mereka berempat, karena Hans beserta istrinya pamit ke dalam dan belum juga kembali.

"Aku mau ngomong sesuatu," ujar Ella memecah keheningan.

Melihat kedua orang tua dan kakaknya hanya menatapnya dalam diam, Ella melanjutkan kalimatnya. "Sebelumnya, aku mau minta maaf dulu kalo aku sering ngeselin kalian. Terutama Mama."

Renty sedikit terkejut saat putrinya menyebut dirinya.

"Aku mau bilang, kalo aku bener-bener nggak nyaman tinggal di rumah kita yang sekarang. Masalahnya, penunggu di sana beda banget sama penunggu di rumahnya nenek dulu. Kalo misalnya mereka nggak gangguin, sebenernya aku juga nggak apa-apa. Tapi ini udah keterlaluan. Mereka udah bikin hubungan kita semua jadi renggang," lanjut Ella.

Hening kembali. Gamal, Galih, dan Renty tampak merenungkan apa yang dibicarakan oleh Ella.

"Sebenernya aku juga nggak nyaman banget tinggal di situ. Akhir-akhir ini, aku juga ngerasa lebih banyak marah-marah. Ya, walaupun emang lagi banyak kerjaan, tapi nggak seharusnya aku marah cuma karena hal-hal kecil. Aku minta maaf," ucap Galih dengan kepala tertunduk.

"Kalian bener. Akhir-akhir ini, di rumah jadi makin nggak nyaman. Kita juga jarang ngobrol bareng, nggak kayak dulu." Gamal menyahut. "Dan, ya. Soal penghuni, Papa sendiri juga digangguin sama mereka, bahkan sering."

Ella mengangkat sebelah alisnya. "Papa juga digangguin? Kirain cuma aku sama Kak Galih aja."

Gamal mengangkat bahu. "Papa minta maaf ya, kalo hubungan kita jadi renggang kayak gini," ujar Gamal.

"Nggak, Pa." Renty yang sedari tadi hanya diam, akhirnya turut mengeluarkan isi pikirannya. Namun, kata-katanya membuat ketiga orang di dekatnya menatapnya bingung.

"Papa nggak salah apa-apa. Harusnya mama yang minta maaf sama kalian. Di antara kita, yang paling suka marah-marah 'kan mama. Nggak tau kenapa, mama bawaannya pengen marah aja gitu. Maaf ya, Pa. Maaf, El. Maaf, Gal," sambung Renty.

Ella menggeleng. "Aku rasa, kita semua emang lagi capek. Ditambah aura-aura negatif dari 'mereka', jadinya gini deh."

Renty menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. "Mama sering banget dapet gangguan. Mulai dari suara-suara yang nggak jelas datangnya dari mana, suara tangisan yang selalu kedenger tengah malem, barang-barang yang suka melayang, saklar lampu yang suka nyala-mati sendiri, pokoknya banyak deh."

"Oh, iya. Yang cairan kuning di depan kamar Ella waktu itu, juga termasuk, Ma?" tanya Ella yang tiba-tiba teringat kejadian beberapa minggu lalu.

"Nah, iya. Itu salah satunya, El. Nggak tau asalnya dari mana, tiba-tiba cairan kuning kentel itu udah ada di depan kamar Ella. Dua kali loh. Pertama udah dibersihin, terus siangnya ada lagi," ungkap Renty.

"Ada satu yang paling mama inget." Renty kembali mengambil jeda sebelum melanjutkan.

"Jadi, waktu itu masih pagi. Nggak lama sehabis Ella sama Galih berangkat pokoknya. Itu, yang waktu sarapan, mama denger ada suara gelas sama piring dimainin di dapur. Kalian denger juga, nggak?"

Baik Gamal, Galih, maupun Ella mengangguk samar. Reaksi itu membuat Renty yakin bahwa dirinya tidak sedang berhalusinasi saat itu.

"Terus, mama 'kan nyuci piring. Nah, udah selesai nih. Tiba-tiba ada gelas yang jatuh. Mama cuma mikir, palingan kena angin. Ya udah, langsung mama ambil. Eh, pas berdiri lagi, mama ngerasa ada yang lewat di kaki mama. Mama pikir kecoa atau apa, tapi kok nggak ada apa-apa waktu diliat. Rasanya tuh kayak kaki, kaki anak kecil lebih tepatnya. Karena mama harus berangkat kerja, mama nyoba ngeyakinin diri sendiri kalo itu cuma kecoa. Ya, walaupun hati mama sendiri ragu."

Mata Ella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang