•Pengalihan•

38 6 0
                                    

"Daripada nganggur, mending kita ngemil aja." Ella membuka plastik kemasan dari keripik kentang yang sengaja ia bawa dari rumah.

"Makasih, El," balas Gita dan Yuli bersamaan.

"Kamu tadi belum jawab, El. Kenapa kamu sama keluarga kamu tetep tinggal di rumah itu, padahal udah sering digangguin?" Yuli menatap Ella serius.

Ketika istirahat pertama tadi, Ella akhirnya bercerita panjang lebar tentang kejadian-kejadian yang ia alami di rumah barunya. Selain itu, ia juga menceritakan alasan mengapa ia sempat bersikap aneh beberapa hari yang lalu. Namun, cerita itu terputus karena bel masuk membuyarkan. Mereka baru bisa meneruskannya sekarang.

"Pertama, karena harga sewa rumah itu murah. Kata Papa, kalo ada yang murah, kenapa nggak? 'Kan uangnya bisa dipake buat keperluan lainnya." Ella mencoba menirukan gaya bicara Gamal.

"Kedua, kalo misalnya kita pindah sekarang, sayang uangnya. Kata Papa, dari awal nyewa, yang punya rumah udah bilang kalo dia nggak bakalan ngembaliin uangnya semisal kita pindah sebelum enam bulan. Jadi, ya udah. Papa minta kita semua buat bertahan, sebelum nanti cari rumah yang jauh lebih nyaman," lanjut Ella.

"Ada alasan lain lagi?" Gita mengangkat satu alisnya.

Ella menggeleng. "Kayaknya udah, itu doang."

Untuk beberapa saat, tidak ada pembicaraan dari ketiga siswi itu. Hanya terdengar suara gigi yang beradu dengan keripik kentang.

"Oh, iya, El," ucap Yuli sembari mengingat-ingat. "Waktu ke rumah kamu, aku denger suara anak kecil rame banget. Aku mikirnya sih anak-anak tetangga, ya walaupun nggak mungkin juga mereka pada main siang-siang."

Yuli berhenti sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Terus, waktu kamu tidur, aku denger lagi suara rame itu. Bahkan Gita juga denger loh. Satu lagi, Gita juga sempet cerita ke aku kalo dia ngeliat kakek-kakek di kaca lemari ruang tamu."

Ella mendadak merasa bersalah. "Maaf ya. Aku 'kan udah bilang ke kalian, di rumah aku ada penunggunya. Dan mereka suka jail."

"Aku masih nggak habis pikir sih—"

Sebelum Yuli berhasil menyelesaikan kalimatnya, Gita sudah lebih dulu memotong.

"Udah deh, Yul. Ella tuh bentar lagi mau wawancara, jangan sampe dia deg-degan duluan gara-gara ngebahas setan." Gita menatap Yuli tajam.

Yuli cengengesan. "Maaf deh, habisnya aku 'kan kepo. El, maafin aku, ya. Aku nggak bakal ngebahas itu lagi deh."

Ella tertawa geli. "Nggak apa-apa, lagian udah terlanjur ngebahas juga."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tertarik banget jadi OSIS, El?" Gita bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

"Tertarik aja gitu. Waktu SMP dulu, aku juga sempet daftar, tapi belum pernah kepilih. Dulu aku nggak terlalu deket sama anggota-anggota lama ataupun guru-guru yang bakal nentuin siapa aja yang bakalan masuk OSIS, jadi ya gitu lah," terang Ella panjang lebar.

Gita mengangguk paham.

"Yakin tertarik cuma karena itu? Bukan karena seseorang?" Yuli berniat menggoda Ella.

Ella mengibaskan tangannya. "Apa sih, kamu ini. Beneran kok, alasannya yang aku omongin barusan."

"Oke, aku anggep Kak Reza ada di salah satu alesan kamu," tukas Yuli sembari mengangkat jempolnya.

"Ngomong-ngomong soal Kak Reza," ujar Ella menggantung. Ia tidak lagi peduli dengan ledekan Yuli barusan.

"Kenapa?" sahut Gita.

Ella mendekatkan kepalanya dengan wajah dari kedua temannya. "Sabtu kemarin, Kak Reza nembak aku."

"Beneran?" Yuli memekik, membuat Ella dan Gita sama-sama menjauhkan telinga darinya.

Mata Ella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang